Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bocah" itu berusia 36 tahun. Dan dia sudah mencoba membuat sebuah pergelaran berbau "retrospektif" berjudul Parade Karya Emas Boi G. Sakti 1989-2001. Kesannya, untuk seorang koreografer sebelia itu, label "karya emas" tampaknya terlalu dini disandangkan. Tetapi mengapa tidak? Apa kita harus menanti hingga rambut berselimut warna putih dan tubuh sudah mulai digelantungi lemak? Coba kita simak.
Malam itu, hampir dua pekan silam, penonton disambut bau telur mentah yang langsung menyodok hidung. Nomor Abad Adab Nan Sakit karya koreografer Boi G. Sakti diwarnai "kecelakaan" gagalnya para penari menangkap telur yang dilempar-lemparkan. Namun hal ini justru membuat pertunjukan makin menggelitik. Apalagi Boi memang meniatkan telur sebagai simbol kehidupan yang tersia-siakan.
Tiap malam, semangat 13 penari dari grup Gumarang Sakti yang bergantian tampil boleh dipuji. Persiapan mereka cuma satu bulan, dan seorang penari minimal membawakan empat nomor. Karya Boi menghendaki mereka meliuk, melenting, bergulung, dan bergerak patah-patah penuh ledakan yang mengundang risiko cedera. Dan, koreografer ini menabukan improvisasi. Hebatnya, emosi penari tetap mengalir deras sampai hari terakhir. Padahal, mereka tak sempat menyelenggarkan geladi bersih.
Nomor Lost in Space tampil bertenaga. Dari sebuah sangkar, sebaris penari wanita muncul diiringi musik bernuansa Minang gubahan Epi Martison. Para penari pria yang bertelanjang dada menyusul. Tangan terjalin merentang dan senyum mengembang. Kaki mereka menyilang, menendang, menyepak, terangkat, dan mengentak laiknya pendekar silat. Pusaran energi macam ini membuat penonton terkesiap. Gendang ditabuh bertalu, mereka serempak berhenti dengan posisi kuda-kuda. Semuanya mendesis. Penonton bertepuk riuh. Panggung mati lampu.
Saat lampu kembali menyala, komposisi telah berubah. Energi bukannya lenyap, justru semakin tinggi. Kelompok penari perempuan mengangkat tinju dan meregang otot. Berlari dan, hup, meloncatlah para perempuan ke rangkulan para pria. Beberapa mengempaskan diri ke atas bangku kayu, bunyi berdebamnya menggedor telinga. Keceriaan yang tadi muncul berbalik 180 derajat. Bangku kini telah ditarik ke pinggir menimbulkan bunyi berderit yang membuat bulu kuduk berdiri. Usai menghambur ke depan panggung, para penari wanita berbalik memunggungi penonton. Mereka lantas membuka kancing kebaya. Keringat ber-kilat-kilat makin membuat torso liat mereka bercahaya. Tangan yang membentuk pisau tajam menusuk udara kosong. Magis.
Seperti halnya sembilan nomor lain, Lost in Space adalah pameran kecakapan Boi mengeksplorasi gerak. Perbendaharaan gerak yang dimilikinya layak dicemburui. Ia punya banyak sumur untuk digali: akar tradisi Minang, persinggungannya dengan budaya lokal daerah atau negara lain, pula eksperimennya dengan tari kontemporer.
Sayangnya, hampir dalam setiap nomor, olah kekayaan gerak ini seperti pulau-pulau terpencar dengan ikatan yang rapuh, bahkan terkadang tak punya keterpautan sama sekali. Panggung sering tercacah oleh hiruk-pikuk gerak para penari yang berbeda di tiap sudut. Ini membuat fokus mengabur. Nomor Abad Adab, misalnya, yang "menceritakan" kesemrawutan kondisi sosial, disodorkan dengan "verbal". Padahal keruwetan tak perlu dikisahkan dengan cara yang ruwet pula. Sentuhan humor yang disisipkan juga terasa tawar. Pengadeganan jadi titik lemah nomor ini.
Di sisi lain, kejujuran Boi untuk mencoba menampilkan nomor-nomor lamanya tak jauh berbeda dengan "warna asli" ketika karya itu lahir jadi suguhan yang menarik. Nomor Abad Adab ataupun Siti Nur Bahaya bisa dilihat sebagai periode tarik ulur antara tradisi dan kontemporer dalam diri Boi. Hasilnya sebagai keutuhan karya mungkin memang masih punya banyak lubang. Namun hal ini yang mengantarkan Boi pada tahapan karya yang tidak semata mengeduk gerak, melainkan juga kedalaman perenungan. Nomor Di Jalan Tua yang dipentaskan pada Art Summit 2001 lalu adalah contoh bagus pendewasaan diri koreografer ini. Komposisi yang mengalir lembut ini sayangnya dalam pentas dua pekan lalu tak disertakan. Bila nomor ini tampil, penonton bisa lebih komplet mengikuti jejak gerak seorang Boi.
Yusi A. Pareanom dan Gita W. Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo