Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Liga Arab di Beirut, Lebanon, Maret lalu, Arab Saudi membuat terobosan dalam mencari upaya damai Israel-Palestina. Putra Mahkota Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud mengajukan tawaran mengejutkan: pengakuan diplomatik penuh terhadap Israel dengan syarat negeri Yahudi itu menarik diri dari seluruh wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967, termasuk Yerusalem Timur.
Tawaran seperti itu bukan sama sekali baru. Pada 1981, Pangeran (kini Raja) Fahd bin Abdul Aziz mengajukan usul serupa, meski tidak sangat eksplisit. Tapi, di samping lebih eksplisit, tawaran baru dari Pangeran Abdullah memang punya legitimasi jauh lebih besar. Secara bulat tawaran itu disetujui oleh delegasi 22 negara Arab yang hadir di Beirut.
Suatu hal yang menarik, beberapa pekan sebelum Pertemuan Beirut tawaran itu telah muncul dalam tulisan Thomas L. Friedman, seorang wartawan spesialis Timur Tengah, di harian terkemuka Amerika The New York Times. Lewat Friedman, Pangeran Saudi itu tampaknya ingin menjajaki reaksi Gedung Putih terhadap usulnya.
Belum jelas benar reaksi Amerika atas "usul bersejarah" itu. Pertemuan Presiden George Bush dan Pangeran Abdullah di Texas pekan lalu tenggelam oleh kontroversi tentang pembantaian pasukan Israel atas warga sipil Palestina di Jenin, dan serangan baru Ariel Sharon ke Gaza.
Tapi siapa sebenarnya Thomas Friedman sehingga Pangeran Abdullah mau menitipkan pesan pentingnya kepada pemerintah dan publik Amerika?
Friedman memang bukan orang baru untuk urusan Timur Tengah. Pria Yahudi yang lahir di Minneapolis (AS) 49 tahun lalu itu lama bermukim di sana. Dia memulai karir jurnalistik sebagai koresponden United Press International di Beirut, Lebanon, pada 1979, sebelum pindah ke The New York Times pada 1981. Dia menjadi kepala biro The New York Times di Beirut enam pekan sebelum invasi Israel ke Lebanon. Dari Beirut, dia melanjutkan langkah kakinya ke Yerusalem, tempat dia menjadi kepala biro harian yang sama hingga 1988.
Dari masa tersebut dia menghasilkan sejumlah buku, reportase, dan komentar yang menjadikannya salah satu pakar Timur Tengah terkemuka. Dia memperoleh sejumlah penghargaan. Pada 1989 dia meraih The National Book Award untuk penulisan nonfiksi. Friedman juga menyabet tiga penghargaan Pulitzer, "Oscar"-nya dunia jurnalistik: yakni pada 1983 untuk reportase internasional dari Lebanon, pada 1988 untuk laporannya dari Israel, dan pada 2002 ini untuk komentar-komentarnya.
Berbeda dengan wartawan dan penulis Amerika yang umumnya mendukung Israel tanpa syarat, Friedman menawarkan pandangan lebih seimbang. Berbeda dengan A.M. Rosenthal atau William Safire, misalnya, dua rekan kolumnisnya di The New York Times, Friedman cenderung kritis, baik terhadap Israel maupun Arab. Tak mengherankan jika dia punya pengagum serta pembenci di dua kubu.
Buku Friedman yang terbit pada 1989, misalnya, From Beirut to Jerusalem, membuat marah pendukung Israel garis keras. Juga beberapa kolomnya yang mencoba memahami "terorisme Arab dan Islam sebagai akibat dari kemiskinan dan kediktatoran di dunia Arab".
Sebaliknya, sebuah kolom dia pada Agustus 2000, misalnya, yang berjudul The Egypt Game, memicu protes di sejumlah media Arab. Dalam kolom itu, Friedman membuat surat terbuka imajiner yang seolah-olah ditulis oleh Presiden Bill Clinton untuk Presiden Mesir Husni Mubarak. "Clinton" mengecam Mubarak yang dinilainya tak tahu berterima kasih karena telah menerima miliaran dolar bantuan AS tapi tidak cukup keras menekan Arafat sehingga Perundingan Camp David 2000 berakhir dalam kebuntuan.
Bagaimanapun, sebagian besar kolom Friedman pada dasarnya menunjukkan dia seorang pendukung Israel sejati, meski kritis, sehingga cenderung menempatkan keamanan Israel di atas hak-hak Palestina.
Friedman memang mengkritik kebijakan keras Ariel Sharon. Tapi dia melukiskan kekerasan Sharon sebagai akibat, bukan sebab. Adalah Yasser Arafat, kata dia, yang sebenarnya paling bertanggung jawab. Dalam satu kolom mutakhirnya tentang "bom bunuh diri" (Suicidal Lies, 30 Maret 2002) dia menuding Arafat telah menggunakan strategi perang yang "akan membuat kiamat semua peradaban". Friedman tidak percaya bahwa "bom bunuh diri" itu merupakan cermin keputusasaan akibat penjajahan kejam Israel atas Palestina selama 35 tahun terakhir.
Salah satu kritik favorit Friedman terhadap Arafat berkaitan dengan apa yang belakangan dikenal sebagai "Mitos Camp David". Menurut Friedman, Perundingan Camp David 2000 yang diprakarsai Presiden Clinton itu berakhir hampa karena penolakan keras Arafat terhadap proposal damai pendahulu Sharon, Ehud Barak. Keras kepala Arafat pula, menurut dia, yang belakangan memunculkan rezim Israel garis keras di bawah kepemimpinan Sharon—sang arsitek pembantaian Sabbra-Shatilla pada 1982.
Tidak semua pakar Timur Tengah sependapat. Uri Avnery dan Tanya Reinhart, dua penulis Yahudi yang jauh lebih kritis terhadap Israel, serta wartawan kawakan Robert Fisk dari koran The Independent, Inggris, menuduh Friedman tidak proporsional mengecam Arafat. Menurut mereka, Arafat wajar menolak usul Barak yang pada dasarnya lebih buruk dari yang telah digariskan dalam sejumlah resolusi PBB. Lebih dari itu, The New York Times sendiri, berdasar laporan-laporan diplomatik, memberitakan pada akhir 2001 bahwa Baraklah, bukan Arafat, yang sebenarnya bersikap "kaku dan tak mau kompromi".
Bagaimanapun, Thomas Friedman memang bukan semata spesialis Timur Tengah. Sambil terus produktif menulis kolom dan keliling dunia, dia juga meluncurkan bukunya tentang globalisasi, Understanding Globalization: The Lexus and The Olive Tree.
Friedman hadir di Jakarta pekan lalu untuk peluncuran buku itu dalam bahasa Indonesia. Dan wartawan TEMPO Purwani Diyah Prabandari, Idrus F. Sahab, Yantho Mustafa, serta fotografer Hendra Suhara berkesempatan mewawancarainya. Berikut petikannya.
Bagaimana ide perdamaian Palestina-Israel dari Pangeran Abdullah bisa keluar lewat kolom Anda terlebih dulu?
Saya telah terlebih dulu menulis kolom serupa dalam kolom saya sendiri. Dan ketika saya berkunjung ke Arab Saudi, Pangeran Abdullah mengatakan bahwa dia memiliki pemikiran yang sama dengan saya. Kami mendiskusikan ide itu. Kemudian saya memublikasikannya, membaginya dengan seluruh dunia. Tapi sejujurnya, tidak ada cerita rahasia di balik usul rencana perdamaian ini. Walaupun ini merupakan kebetulan yang luar biasa.
Apakah dia menghubungi Anda?
Saya memutuskan pergi ke Arab Saudi, bertemu dengan Pangeran Abdullah. Ketika saya di sana, saya meminta wawancara dan mereka mengabulkannya. Saya pergi ke sana atas kemauan saya sendiri. Lalu tiba-tiba terjadi kebetulan ini.
Apa beda proposal Pangeran Abdullah dengan proposal lama, "tanah untuk perdamaian"?
Yang sekarang ini lebih menggambarkan perdamaian untuk hubungan yang normal secara penuh, diplomatik dan ekonomi-perdagangan, termasuk pariwisata. Ada dua hal yang baru dalam ide ini. Pertama, ide itu datang dari Arab Saudi, penjaga dua tempat suci bagi umat Islam. Juga merupakan negara yang paling penting dan paling berpengaruh di Dunia Arab dan Dunia Islam. Dan kali ini berbicara tentang level normalisasi penuh dengan Israel. Itu jauh lebih maju dari semua yang telah diusulkan se-belumnya. Lebih penting lagi, ide ini didukung oleh semua pemimpin Arab.
Apakah nasib para pengungsi Palestina juga masuk dalam paket usul perdamaian Pangeran Abdullah yang sama dengan ide Anda ini?
Saya jelas berpendapat bahwa nasib pengungsi Palestina akan menjadi bagian dari proses perdamaian akhir. Saya tidak tahu bagaimana bentuknya, apakah kompensasi atau hak untuk kembali. Mungkin lebih baik kalau mereka kembali ke tanah Palestina. Itu kan alasan mereka menginginkan negara Palestina.
Bagaimana respons Israel terhadap ide ini?
Sayangnya, sehari setelah tulisan itu dipublikasi, terjadi serangan bom (bunuh diri) yang menewaskan 28 orang Yahudi dan melukai ratusan orang. Dan itu memicu Israel untuk menyerbu Tepi Barat.
Apakah Anda optimistis dengan usul baru ini?
Saya tidak bisa bilang saya optimistis, tetapi saya sedikit berharap. Karena permasalahannya sudah sangat parah.
Mengapa usul ini tidak segera mendapat respons bagus dengan memulai langkah perdamaian?
Menurut saya, ini karena keluarnya dari sebuah wawancara. Ini tidak seperti jika Pangeran Abdullah mengontak Israel sendiri dan mengatakan: "Inilah pendapat saya dan inilah yang saya maksud". Ini keluar dalam wawancara saya dan kemudian saya pikir Israel mencoba untuk memahami apa maksud dari ide ini. Amerika juga mencoba mencari tahu apa sebenarnya ide ini. Amerika mengirim diplomat ke Arab Saudi untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi. Jadi, menurut saya, memang perlu waktu bagi semua orang untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dan seberapa riil usul ini.
Bagaimana, menurut Anda, reaksi Amerika Serikat?
Amerika sangat mendukungnya. Presiden Bush baru saja menerima Pangeran Abdullah di Texas. Menurut kami, rencana Saudi ini bisa menjadi basis untuk proses perdamaian tahap berikutnya.
Apakah ada upaya bersama Saudi dan AS untuk mengegolkan ide itu?
Sepertinya mereka akan bekerja bersama. Arab Saudi akan mendekati pihak Palestina. Sedangkan Amerika men-dekati pihak Israel.
AS selama ini paling terlibat dalam kancah konflik Timur Tengah ini. Di antara presiden AS, siapa yang paling bagus kebijakannya di situ?
Menurut saya Presiden Clintonlah yang memiliki kebijakan yang paling maju. Dia lebih bisa memahami semua pihak di sana. Dan dia siap menginvestasikan energi lebih besar untuk mencoba menyelesaikan masalah Timur Tengah ini dibandingkan dengan Presiden Bush. Kita lihat Clinton berhasil membawa semua pihak ke Camp David. Pada akhir pemerintahannya, dia aktif membuat proposal perdamaian Palestina-Israel.
Mengapa Bush tidak meneruskannya atau bahkan berupaya lebih keras?
Pertama-tama, dia melihat apa yang terjadi pada Clinton. Clinton mencoba melakukan sesuatu dan gagal. Itu jelas memengaruhi Bush. Dia mungkin berpikir: "Pendahulu saya telah mencoba dan gagal, kenapa saya harus terganggu dengan ini?" Menurut saya, Bush mungkin keliru. Soal (Israel-Palestina) ini sangat penting. Dan mereka bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan.
Apakah perubahan ini karena lobi Yahudi yang menguat?
Lobi Yahudi jelas mendukung upaya perdamaian Clinton, yang juga didukung pemerintah Israel. Mereka menginginkan perdamaian. Tetapi mereka juga menginginkan sebuah penyelesaian yang saling menguntungkan. Lobi Yahudi di Amerika bukannya untuk menentang proses perdamaian. Semuanya justru untuk proses perdamaian.
Bagaimana dengan lobi Palestina di AS?
Menurut saya, lobi Palestina adalah lobi Arab. Ada 22 duta besar negara Arab di Washington. Tapi, menurut saya, soal ini bukan hanya tentang lobi. Perdamaian Israel-Palestina justru lebih banyak berkaitan dengan kepentingan AS.
Tapi bukankah AS lebih cenderung mendukung Israel?
Tergantung apa yang dilakukan Israel. Presiden Bush baru-baru ini menyebut Sharon sama sekali tidak membantu. Dan ini bukan karena lobi. Tetapi lebih apa yang terjadi di lapangan. Ini bukan sebuah teori konspirasi adanya lobi.
Apa hasil maksimum yang bisa tercapai?
Kedua pihak masih berjuang mencari penyelesaian. Mereka tidak ingin hidup dengan kondisi seperti sekarang, atau bahkan lebih buruk atau lebih lama lagi. Jadi, menurut saya, ada keinginan bahwa mereka harus melakukan sesuatu.
Apakah Sharon merupakan masalah atau solusi dalam penyelesaian konflik ini?
Kebijakan Sharon sekarang ini merupakan bagian dari masalah. Tapi pertanyaan pentingnya, bagaimana Sharon bisa muncul. Seseorang yang sebenarnya tak mungkin terpilih dalam politik Israel justru menang dalam pemilu dengan perbedaan angka terbesar dalam sejarah Israel. Mungkin ini karena hal-hal bodoh seperti yang dilakukan Yasser Arafat. Ya, Sharon adalah bagian dari masalah. Dan demikian juga dengan Arafat. Orang yang paling bertanggung jawab atas naiknya Ariel Sharon adalah Yasser Arafat.
Mengapa?
Karena Yasser Arafat menolak tawaran perdamaian Barak (Ehud Barak) dalam Perundingan Camp David. Saya tidak meminta dia harus menerima 97 persen wilayah di Tepi Barat dan Gaza. Dia memang harus berjuang untuk mendapatkan 100 persen wilayah itu. Tapi pertanyaannya adalah dengan cara apa dia akan mendapatkan 100 persen itu. Perjuangan bersenjata, bom bunuh diri, atau meja perundingan?
Tentang bom bunuh diri. Bukankah Arafat mustahil bisa mengontrol seluruh elemen di Palestina, terutama kelompok militannya?
Menurut saya, dia bisa mengontrol mereka. Dan kalau dia bisa menguasainya, seharusnya dia bisa membuang mereka. Kita semua menginginkan pemerintahan bisa menguasai rakyatnya.
Bom bunuh diri kian meningkat belakangan ini. Bukankah ini karena Sharon?
Bom bunuh diri tidak hanya terjadi saat Sharon berkuasa, tapi telah ada sebelum ia berkuasa. Setelah Rabin (Yitzhak Rabin) dibunuh, ada sekitar lima kasus bom bunuh diri dalam seminggu. Itu tak lama sebelum pemilu, ketika Simon Peres bertarung melawan Benjamin Netanyahu. Dan karena bom bunuh diri tersebut, Peres bisa maju ke pemilihan perdana menteri dan kemudian terpilih.
Jadi bom bunuh diri ini karena Sharon atau karena keputusasaan akan masa depan rakyat Palestina?
Anda tahu bagaimana orang miskin tinggal di kawasan kumuh pinggiran Jakarta. Tapi mereka tak meledakkan diri. Jadi, keputusasaan atau memang sebuah kebijakan menggunakan manusia sebagai rudal? Dan kalau karena putus asa, mengapa semua menjadi begitu putus asa hanya dalam 60 hari setelah Ariel Sharon terpilih?
Bagaimana Anda melihat serangan Israel atas Tepi Barat dan Gaza belakangan ini?
Menurut saya, apa yang dilakukan Israel adalah kesalahan. Tapi Anda bayangkan seperti ini. Apa reaksi yang akan muncul seandainya ada seorang anak muda keturunan Cina meledakkan dirinya di hari Idul Adha, di sebuah restoran yang penuh dengan orang Indonesia berusia sekitar 17-19 tahun dan menewaskan 28 orang. Apa reaksi yang akan muncul? Dan sekarang bayangkan Anda berada di tempat seperti itu sekitar tiga bulan. Reaksinya, orang menjadi gila. Dan Israel telah menjadi gila. Tapi saya tidak setuju dengan apa yang Israel lakukan. Apa yang mereka lakukan hanya kontraproduktif. Jadi, kedua pihak seharusnya menghindarkan diri. Masalahnya tidak sederhana, dan tidak pernah menjadi sederhana.
Bagaimana tentang tim investigasi PBB untuk kasus pembantaian di Jenin?
Menurut saya, pembentukan tim investigasi PBB untuk Jenin tidak benar. Seharusnya ada tim investigasi PBB untuk Jenin dan ada tim investigasi PBB untuk kasus bom bunuh diri. Mengapa PBB harus melakukan investigasi atas pembantaian di Jenin, tetapi tidak untuk kasus pembantaian yang lain? Apakah yang terakhir itu bukan pembantaian?
Jadi, menurut Anda, apakah kini prioritasnya adalah keadilan?
Menurut saya, prioritas utama sekarang adalah membawa semua pihak ke meja perundingan. Saya tidak tertarik menjadi hakim siapa yang melakukan hal terburuk. Saya lebih tertarik pada solusi yang pragmatis.
Apakah menurut Anda situasi di Timur Tengah itu memberi dampak yang sangat besar bagi konstelasi dunia?
Ya. Konflik tersebut menghasilkan efek yang luar biasa mengerikan. Juga memengaruhi rakyat Indonesia. Arab marah. Orang Amerika juga marah akan hal ini. Tapi saya tidak bisa mengerti bagaimana situasi di sana menciptakan efek yang sangat besar. Ini buruk bagi Israel, buruk bagi orang Yahudi. Banyak orang melakukan hal-hal anti-Yahudi seperti membakari sinagoga. Dan ini juga buruk bagi Palestina dan buruk bagi dunia. Ini benar-benar membuat semua orang gila. Saya hanya ingin teriak "Hentikan!" Dan kemudian orang kembali ke meja negosiasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo