Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boi G. Sakti ingin menunjukkan ia tetap sakti. Di atas panggung Graha Bhakti Budaya, koreografer berusia 36 tahun itu menggelar sebuah pertunjukan maraton berjudul Menarilah Indonesiaku selama empat hari.
Hanya dengan 13 penari untuk 10 nomor, tak mengherankan, meski masih belia, ia toh tersengal-sengal. Begitu sempitnya waktu, hingga ia tak sempat melatih geladi bersih dua nomor yang naik pentas hari terakhir, The Lost Space dan Before The Coming of Dark. Setengah jam sebelum pentas, Boi masih melatih para penarinya. Sudah begitu, koreografer yang lahir dengan nama Yandi Yasin ini masih pula sibuk memikirkan tata lampu, kostum, sampai panggung. Semuanya ia urusi, sampai detail terkecil. Putra mendiang Gusmiati Suid, pendiri Gumarang Sakti Dance Company, ini memang dikenal perfeksionis. Apa sebetulnya kredo berkesenian Boi? Berteman rokok yang terus mengepul, saat jeda latihan, Boi berbincang dengan Gita Widya Laksmini dari TEMPO, yang menemuinya akhir April lalu di TIM. Berikut petikannya.
Apakah pengusungan karakter tari Minang sengaja Anda jadikan ciri khas?
Minang adalah tempat saya lahir dan dibesarkan, jadi wajar atmosfer budaya ini membungkus karya-karya saya. Tetapi sebetulnya tari saya ini berasal dari tradisi Asia, atau lebih luas lagi tradisi dunia. Ada ritme Afrika, Aborigin, budaya Tibet, Cina, dan Jepang. Kesadaran saya tidak terbatas sebagai putra Minangkabau. Kita ada di dunia yang diwarnai oleh banyak kebudayaan, mengapa harus mengotakkan diri?
Bagaimana satu gerak baru didapatkan untuk sebuah koreografi?
Saya hanya berusaha mencoba berkaca pada yang telah saya buat. Inspirasi itu datang dari mana saja. Kadang begitu saja muncul. Yang dipikir lama kadang malah enggak nyambung dan akhirnya dibuang. Selama ini karya saya selalu cepat, keras, dinamis, dan meledak-ledak. Mungkin saya kelak akan membuat karya yang soft, pelan, dan lebih memfokuskan pada kedalaman. Begitu juga dengan struktur, dari tari tradisi ke kontemporer. Saya juga ingin menciptakan ekspresi sendiri, seperti membuat tari yang tidak bersentuhan dengan tradisi apa pun. Tak ada hal yang saya patok dalam berkarir.
Apa kriteria Anda memilih penari?
Yang pertama dan utama, skill. Kemudian disiplin, dedikasi, dan tentu saja totalitas. Kalau tidak total, sulit rasanya. Sejak tahun 1990, saya sudah bekerja sama dengan penari berlatar belakang pendidikan balet dari Sumber Cipta. Amai Amai dan Batagak itu lahir dari persentuhan dengan balet. Saya tidak ada masalah. Tetapi mungkin saja ada kesulitan sedikit bagi mereka (yang berasal dari tari balet) untuk menangkap spirit tradisi. Nah, itu tugas kita untuk mengarahkan mereka agar bisa menangkap atmosfer yang kita inginkan.
Soal pemusik?
Saya juga memilih yang menguasai musik tradisi.
Apa obsesi Anda terhadap Gumarang Sakti?
Banyak. Saya ingin membawa Gumarang Sakti menjadi makin profesional, agar karya-karya kita bisa lebih mendapat tempat di pasaran internasional. Dari tahun 1987, kita memang sudah banyak naik pentas di luar. Tetapi ini undangan, kita cenderung menunggu. Cita-cita saya, kalau perlu Gumarang Sakti dijadikan perusahaan yang profesional sehingga bisa mengontrak dan menggaji penari dan pemusik untuk beberapa tahun.
Ada program baru dalam waktu dekat?
Saya akan tur Eropa bersama Gumarang Sakti, membawakan Di Jalan Tua ke Berlin dan Kopenhagen. Selain itu, saya juga akan ke Singapura untuk membawakan karya baru, mengisi grand opening (tanggal 12-13 Oktober 2002) sebuah teater terbesar, Ice Planet, dari akhir Agustus sampai Oktober. Latihan dan berprosesnya nanti di sana. Saya nanti akan membawa beberapa orang asisten dan pemusik saya.
Bisa bercerita tentang karya baru ini?
Mereka menyerahkan kepada saya soal ini. Judulnya Mengenang Bulan, berkisah tentang kelembutan wanita. Saya akan memakai air di atas pentas. Saya melihat pergerakan air sama dengan kewanitaan, bulan juga simbol kewanitaan.
Anda sendiri menjadi koreografer tamu untuk Ballet Philippine dan Singapore Dance Theater. Apa proyek Anda dengan dua kelompok ini?
Di Singapura, saya dikontrak selama tiga tahun. Karya-karya saya menjadi bagian dari repertoar mereka. Saya jual karya, mereka membayar copyright kepada saya. Di Filipina juga seperti itu. Saya pernah diundang juga sebagai koreografer tamu oleh American Dance Festival. Saya diminta melatih penari-penari mereka, tetapi hanya untuk pementasan satu kali. Karya saya tidak menjadi repertoar kelompok mereka.
Pernah kehabisan ide?
Pernah, sering sekali bahkan, ini wajar. Kalau sudah begitu, saya cari keasyikan sendiri (di luar tari). Memulai karya baru juga punya kegamangannya tersendiri. Apalagi kalau ada tantangan membuat karya untuk sebuah event, sementara kita masih nol besar. Sewaktu Art Summit setahun lalu, dua minggu sebelum pementasan, karya saya masih berubah-ubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo