Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Studi terbaru International Business Machine Corporation (IBM) menunjukkan adopsi kecerdasan buatan atau AI di Indonesia masih terkendala beberapa hal, seperti kesenjangan keterampilan digital dan kekurangan infrastruktur. General Manager and Technology Leader IBM Asia Tenggara, Catherine Lian, mengatakan banyak organisasi di Indonesia yang tertarik untuk mengadopsi AI dalam bisnis mereka. Namun, mayoritasnya kesulitan dari sisi teknis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Organisasi di Indonesia harus memastikan bahwa penggunaan AI mereka sejalan dengan bisnis mereka. Kalau tidak, bisa jadi gajah putih (tidak menguntungkan),” katanya di sela acara THINK on Tour 2024 di Marine Bay Sands Convention Centre, Singapura, Kamis, 15 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo ikut menghadiri agenda yang merupakan lanjutan dari konferensi tahunan di Amerika Serikat tersebut. Forum THINK ditargetkan membantu perusahaan Asia Tenggara untuk mengadopsi AI dalam proses bisnis. Dalam acara tersebut, IBM meluncurkan kajian berjudul AI Readiness Barometer: AI Landscape. Studi itu berisi hasil survei terhadap 372 pemimpin entitas teknologi dan data di Singapura, Indonesia, Thailand, Malaysia, serta Filipina.
Menurut Catherine, penggunaan AI di negara-negara anggota ASEAN meliputi tiga sektor, yakni otomasi yang membantu pengelolaan sumber daya manusia, peningkatan pengalaman interaksi dalam servis konsumen, serta modernisasi infrastruktur.
Mengutip hasil kajian studi firma konsultan manajemen global, Kearney, IBM menyatakan bahwa potensi kontribusi teknologi AI terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia bisa menembus US$ 336 miliar. Angka ini membuat Indonesia memiliki potensi tertinggi, dalam hal kontribusi AI untuk ekonomi, di level Asia Tenggara.
Di Indonesia, PT Superintending Company of Indonesia alias Sucofindo alias Sucofindo mulai menggunakan AI untuk pelaksanaan bisnis secara eksternal dan internal. Vice President Strategic Business Unit Certification and Ecoframework Sucofindo, Dian Indrawaty, mengatakan manajemennya memakai AI untuk mengukur dan menyusun pelaporan upaya keberlanjutan dari para pelaku usaha.
“Penggunaan AI akan mendukung efisiensi dan akurasi pengukuran dan pelaporan.” kata Dian, dalam siaran pers IBM.
Mayoritas Perusahaan Belum Optimal Adopsi AI
Laporan IBM yang digarap bersama Ecosystem, penyedia jasa riset, juga mengungkapkan hanya 17 persen dari jumlah perusahaan di Asia Tenggara yang mumpuni dari sisi strategi penerapan AI. Padahal, mayoritas pemimpin teknologi menyatakan sudah memakaii AI dalam proses bisnis.
“Hal bagusnya adalah tidak ada bisnis yang sama sekali tidak mencoba AI,” kata CEO Ecosystm, Ullrich Loeffler, dalam agenda THINK on Tour 2024 yang digelar IBM di Marine Bay Sands Convention Centre Singapura, Kamis, 15 Agustus 2024.
Sebanyak 85 persen dari pemimpin perusahaan teknologi yang disurvei mengakui bahwa penggunaan AI bisa membantu pencapaian target strategis. Namun, kebanyakan organisasi belum mampu untuk memanfaatkan AI secara efektif. Dalam survei, hanya 17 persen responden yang mengaku memiliki tim data science dalam organisasi, sisanya tidak memiliki spesialis AI.
Sebagian besar kepala perusahaan dan organisasi yang disurvei juga belum memprioritaskan tata kelola data dan kepatuhan regulasi. Padahal, tata kelola ini dibutuhkan untuk mengetahui risiko dari regulator terhadap bisnis-bisnis yang berjalan. Pada 2024 dan 2025, AI hanya diprioritaskan untuk bukti konsep dan peningkatan kualitas data.