Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Si Fulan, remaja putus sekolah yang gemar nongkrong di pangkalan ojek dekat rumah di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, belum pernah menyentuh komputer seumur hidup. Padahal, dalam nian keinginan dia untuk sekadar bisa kursus dasar komputer seperti beberapa bekas teman SMP-nya dari gang sebelah. Dengan program WimBi, Fulan tak perlu lagi merasa minder dengan teman-temannya tersebut. Tanpa perlu repot kursus, berani jamin, si Fulan akan lancar saja mengoperasikan peranti teknologi itu. Dia bisa menghidupkan layar, mengetik artikel, mengirim email, hingga bermain game. Pendek kata, dia bisa langsung "main komputer" sonder kursus. Sebab, si WinBi akan memandu setiap pemakainya dengan bahasa Indonesia semata-mata.
Alhasil, bahasa Inggris kini bukan lagi hambatan untuk mengoperasikan komputer—tak perlu mesti paham kata open atau file. Jasa ini dipersembahkan oleh sekelompok ahli dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Universitas Gadjah Mada, yang menciptakan program komputer—diberi nama Winbi—yang sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Dilansir secara resmi sejak Januari lalu, situs program komputer berbahasa Indonesia pertama ini baru dibuka di internet beberapa pekan silam.
WinBi menawarkan program berbasis sistem Linux. Ibarat rumah, si WinBi menyediakan berbagai program berbahasa Indonesia, dari mengolah kata, membuat grafik, program untuk presentasi, atau sarana mengirim email. Semua komplet, plet. Jika dioperasikan, WinBi tak banyak berbeda dengan Microsoft Windows yang biasa kita pakai. Semua perintah dan tombol disusun dalam urutan yang teratur, sehingga memudahkan pemakainya. Konsumen WinBi bisa mengoperasikan beberapa program sekaligus dalam waktu bersamaan (multitasking).
Kebutuhan peranti keras program ini juga serupa dengan program sejenis berbahasa Inggris. Dengan besar file 1,2 gigabyte, WinBi membutuhkan komputer minimal dengan prosesor 486 serta memiliki RAM paling sedikit 32 megabyte. File-file yang dihasilkan WinBi umumnya juga bisa dibuka dengan program Windows. "Tapi kompatibilitasnya tidak 100 persen," kata Dr. Lukito Edi Nugroho, ahli elektonika dari UGM yang ikut serta melahirkan program ini. Akibatnya, sebuah artikel yang ditulis dalam program pengolah kata WinBi—jika dibuka dengan Microsoft Word—sebagian akan tampak seperti bahasa sandi. Dalam pernak-pernik lain, misalnya soal jenis atau warna huruf, WinBi sepenuhnya mirip Wndows biasa.
Menurut Dr. Purwoadi, ahli komputer dari BPPT, spirit pembuatan WinBi adalah untuk menyosialkan komputer. Alhasil, siapa saja—sejauh dia melek huruf—ya, bisa menggunakan komputer. Tadinya tim BPPT meminta kepada Microsoft Indonesia untuk diberi hak menerjemahkan program Windows. Tapi Microsoft tak memberi lampu hijau. Akhirnya, berbekal biaya Rp 600 juta, pertengahan tahun lalu BPPT bersama UGM dan Open Society—sebuah komunitas pekerja teknologi informasi—membuat program ini.
Alih-alih hanya menerjemahkan, ahli komputer ketiga lembaga itu malah membuat WinBi sebagai program eksperimen. Artinya, setelah jadi pun mereka memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk memperbaiki WinBi jika dianggap punya kelemahan.
WinBi dibangun di atas program Linux. Jadi, Linux adalah program dasar—semacam fondasi rumah—yang memungkinkan pemakainya bisa merevisi program yang dibangun di atasnya dengan leluasa. "Linux juga fleksibel untuk pengalihan bahasa serta akrab dikenal para pekerja teknologi informasi," kata Lukito. Didaftarkannya WinBi dalam Open Society juga memudahkan program ini beredar dalam komunitas ahli komputer internasional.
Siapa saja yang ingin menjajal WinBi—entah untuk digunakan atau direvisi—silakan klik situs www.softwareri.or.id/winbi. Siapa pun boleh gratis mengopinya di sini. Kode-kode program juga bisa dilihat dengan bebas. Lalu apa kelemahan "Windows lokal" ini? Sejauh ini belum banyak komplain tentang isi. Yang banyak dipersoalkan adalah instalasi yang tak mulus—sering WinBi tak bisa di-download sama sekali. Purwoadi mengatakan, pangkal soal dari instalasi yang macet itu masalah teknis.
Saat ini WinBi disimpan dalam server di Amerika Serikat. Semula itu dilakukan agar lalu-lintas pengakses program ini bisa lancar. Belakangan, karena banyak orang ikut nimbrung, lalu-lintas itu jadi macet. BPPT kini sedang mengusahakan jalan lain agar akses ke WinBi bisa lebih mudah. Upaya lain adalah agar WinBi bisa dikirim via pos atau transportasi non-internet lainnya.
Meski tak secanggih Microsoft Windows, tak ada salahnya mencoba WinBi. Paling tidak, pakar bahasa Indonesia seperti J.S. Badudu akan senang karena orang akan "bergaul" dengan bahasa Indonesia saban kali mereka menyentuh komputer.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo