Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mobil Mewah Membelit Sang Jenderal

Komisaris Jenderal Polisi Sofjan Jacoeb diduga terlibat penyelundupan 83 mobil mewah. Tapi ia balik menuding Kapolri Da'i Bachtiar sedang mencari-cari kesalahannya.

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAGAT kepolisian diguncang gempa besar. Instansi pembasmi kejahatan itu justru menuding seorang petingginya, yakni Komisaris Jenderal Sofjan Jacoeb, mantan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, terlibat kasus penyelundupan sebelas mobil mewah. Inilah pertama kalinya seorang jenderal polisi bintang tiga, Sofjan Jacoeb, yang kini menjadi Inspektur Kepala di Lembaga Ketahanan Nasional, terang-terangan dikaitkan dengan kasus penyelundupan mobil.

Tudingan keras ke arah Sofjan Jacoeb langsung disinyalir oleh Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar, Rabu pekan lalu. Bahkan sebanyak 72 mobil mewah lainnya, yang semuanya bernomor polisi wilayah Banten, diduga muncul bersamaan dengan sebelas sedan mewah yang melibatkan Sofjan. Karena itu, pengusutan kasus Sofjan kini dipimpin oleh jenderal polisi berbintang tiga pula, yaitu Inspektur Jenderal Polri Komisaris Jenderal Ahwil Luthan.

Dari pengusutan awal polisi, diperkirakan kasus sebelas sedan mewah Mercedes Benz tipe awalan huruf S itu terjadi pada awal Mei 2001, ketika Sofjan Jacoeb masih menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Mobil-mobil itu masuk ke pelabuhan Makassar, kabarnya, dari Singapura atas permintaan seorang pengusaha mobil di Makassar.

Hebatnya, kapal dan muatan mobil mewah itu, menurut seorang petugas Bea dan Cukai, tak diketahui oleh instansi Bea Dan Cukai ataupun aparatnya di situ. ''Dalam catatan kami, tak ada daftar mobil mewah masuk pada periode Mei 2001,'' kata si pegawai Bea dan Cukai di Pelabuhan Makassar, seraya membuka-buka buku catatan masuk barang impor.

Belakangan, Kepala Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Sulawesi Selatan yang baru, Komisaris Besar Polisi Zairin Bustami, juga membenarkan keterangan pegawai Bea dan Cukai itu. ''Tak ada catatan yang menunjukkan mobil itu ada secara fisik di wilayah Sulawesi Selatan,'' ujar Zairin.

Entah, mereka memang tak tahu ataukah jalan buat sebelas mobil mewah tadi memang sudah diatur semulus-mulusnya. Yang pasti, sudah pula menjadi rahasia umum di kalangan penyelundup mobil serta polisi dan petugas pemeriksa, bila pelabuhan masuk di Tanjung Priok, Jakarta, dianggap bersinyal merah yang berarti tak "oke", jalur mobil selundupan diarahkan ke pelabuhan lain, misalnya Semarang, Surabaya, Banten, Cirebon, atau Makassar.

Di pelabuhan Makassar, tatkala sebelas sedan mewah tadi ngendon, Sofjan memberikan instruksi khusus ke Kepala Direktorat Lalu Lintas Polda Sulawesi Selatan, waktu itu, Ajun Komisaris Besar Edy Prawoto, yang juga besan Sofjan, agar membuatkan surat mobil-mobilnya. Padahal, sejak 1 Mei 2001 resminya Sofjan harus pindah menjadi Kapolda Metro Jaya. Sesuai dengan surat keputusan Kapolri, masa tugas Sofjan di Sulawesi Selatan habis pada 30 April 2001. Memang, serah-terima jabatan dari Sofjan ke penggantinya di Makassar belum dilakukan.

Karena itulah, Sofjan merasa masih berkuasa di sana. Diduga pula ia menyampaikan surat perintah pembuatan surat sebelas sedan mewah tadi melalui mesin faksimile atau lewat ajudan pribadinya, Brigade Satu Irwan.

Alhasil, surat-surat sebelas sedan mewah keluar. "Yang meminta Kapolda, sedangkan Kasubag STNK cuma berpangkat kapten (sekarang ajun komisaris polisi), ya, pasti STNK-nya diterbitkan," tutur sebuah sumber di Polda Sulawesi Selatan, sambil menunjukkan fotokopi surat permohonan Sofjan yang diparaf oleh sekretaris pribadi Kapolda.

Edy Prawoto, yang kini berpangkat Komisaris Besar dan menjabat sebagai Kepala Direktorat Lalu Lintas Polisi Daerah Jawa Tengah, mengaku terkejut namanya dikaitkan dengan kasus ini. "Silakan cek apakah STNK 11 mobil itu ada tanda tangan saya atau tidak," katanya kepada Tempo News Room. Jika ada, kata Edy, berarti telah melalui prosedur resmi.

Prosedur boleh saja resmi tapi, anehnya, mobil-mobil itu tak diturunkan dari kapal. Kapal itu langsung bertolak ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Di pelabuhan Ibu Kota ini pun kapal tak dibongkar di bagian pelabuhan impor, tapi diparkir di bagian pelabuhan masuk dalam negeri. Boleh jadi, ini jurus klasik agar muatan cuma dianggap barang perdagangan antarpulau alias bukan penyelundupan.

Dari Tanjung Priok, mobil selanjutnya disebar di Jakarta dan sebagian diangkut ke Kabupaten Lebak. Di daerah yang kini menjadi Provinsi Banten ini, nomor polisi mobil Sulawesi Selatan (DD) itu diubah menjadi nomor polisi Banten (A). Begitu juga yang di Jakarta, kendati masih disimpan—antara lain—di show room milik kawan dekat Sofjan Jacoeb yang dikenal dengan panggilan Chandra 303.

Dari ruang pamer milik pengusaha warga Muara Karang, Jakarta Utara itu, mobil lantas dijual ke beberapa pihak dengan harga dua kali lipat harga pokok.

Di tempat asalnya, Singapura, mobil-mobil tersebut bisa seharga Rp 625 juta sampai Rp 1,2 miliar. Namun, kalau diimpor ke Indonesia, mobil bermesin 4.000 cc itu bisa kena bea masuk 80 persen dan pajak penjualan barang mewah 75 persen dari harga mobil. Berarti, bila masuk secara sah ke Indonesia, harga mobil bisa hampir tiga kali harga asalnya. Dengan modus penyelundupan sebelas sedan mewah tersebut, negara dirugikan belasan miliar rupiah akibat hilangnya pemasukan bea dan pajak.

Toh, mobil-mobil yang kebal dari sanksi pajak dan aturan impor mobil itu leluasa melenggang di Jakarta dan Banten. Sampai pada 3 Mei 2002, satu mobil Mercedes Seri 280 keluaran tahun 1996 bernomor polisi A 1428 K ditangkap polisi di Pandeglang, Banten. Di STNK mobil itu tercantum nama Eko Prihantanto sebagai pemiliknya.

Usut punya usut, ternyata mobil itu sebelumnya bernomor polisi DD 9 PK dan atas nama Sofjan Jacoeb. Persoalan pun jadi panjang. Sebab, polisi mengembangkan penyidikan, apalagi pemilik mobil bernyanyi tentang mobil-mobil buram yang lain. Segera pengejaran dilakukan terhadap mobil-mobil yang telah diidentifikasi.

Hasilnya, sebuah mobil Mercedes S600L keluaran tahun 1997 ditangkap di depan Apartemen Mangga Dua Blok C, Jakarta Barat. Bersamaan dengan itu, mobil sejenis bernomor polisi DD 8 SJ juga atas nama Sofjan Jacoeb ditangkap di kawasan Jembatan Semanggi, setelah dikuntit dari tempat biliar Manggala di Jalan Gatot Subroto, Jakarta.

Selanjutnya polisi menangkap pula Mercedes S320L tahun 1995 bernomor polisi B 36 SS atas nama Jamaluddin Tanuwijaya. Ternyata mobil yang sudah dua kali dimutasi ini sebelumnya bernomor polisi A 1349 P dan awalnya bernomor DD 8 TK. Di Kabupaten Lebak, juga diciduk Mercedes seri 300SEL tahun 1993 berpelat nomor A 1301 T atas nama Sundara Samusu, yang aslinya bernomor DD 8 KW atas nama Sofjan.

Enam mobil lainnya (lihat tabel) yang juga ber-STNK atas nama Sofjan belum tertangkap. "Polisi terus memburu mobil-mobil itu," ujar Wakil Kepala Bagian Hubungan Masyarakat di Mabes Polri, Brigadir Jenderal Edward Aritonang.

Selain mengusut sebelas mobil sedan itu, polisi wilayah Banten juga sedang mengusut 72 mobil mewah lainnya. Mobil-mobil yang memakai nomor polisi wilayah Banten ini ditengarai juga muncul bersamaan dengan sebelas sedan yang terdaftar atas nama Sofjan Jacoeb. Menurut Kepala Kepolisian Wilayah Banten, Komisaris Besar Polisi Abdurrachman, kepada Faidil Akbar dari Tempo News Room, tujuh dari 72 mobil tersebut sudah ditangkap polisi.

Adakah sebelas sedan mewah dan 72 mobil di Banten itu "disulap" Sofjan? Kepada Nezar Patria dari Koran Tempo, Sofjan membantah keras tuduhan menyelundupkan sebelas sedan mewah itu. "Saya merasa tak melakukan pelanggaran hukum," ucapnya. Mobil-mobil tersebut, menurut Sofjan, diminta dari mitranya, seorang importir mobil resmi di Sulawesi Selatan. Apa nama perusahaannya, Sofjan enggan menyebut.

Ia membenarkan bahwa nomor polisi mobil-mobil itu atas namanya—tapi kata sebuah sumber di Polda Sulawesi Sela-tan, semua mobil itu atas nama Sofjan selaku Kapolda Sulawesi Selatan, bukan atas nama Sofjan pribadi. Nomor polisi itu merupakan nomor rahasia dan bantuan. "Semua Kapolda berhak mengeluarkan nomor bantuan dan nomor rahasia, baik untuk tamu VIP maupun tugas keamanan," katanya.

Sofjan juga menandaskan bahwa nomor bantuan dan rahasia itu hanya berlaku tiga sampai enam bulan. Setelah itu, "Mobil harus dikembalikan ke markas Polda," tutur Sofjan.

Memang, pledoi Sofjan masih harus diuji secara cermat oleh penyidik. Kalau benar mobil berasal dari rekanan swasta Sofjan, mestinya ada dokumen impor mobil berikut bukti pembayaran bea dan pajaknya. Tapi, kalau itu mobil impor milik orang lain dan diberi nomor bantuan polisi, kenapa menurut Sofjan mobil harus dikembalikan ke Polda Sulawesi Selatan?

Soal nomor bantuan dan nomor rahasia dari Sofjan pun mengundang tanda tanya. Sebab, di kalangan pelaku bisnis jasa surat-surat mobil dan petugas kepolisian, nomor-nomor yang terdiri dari satu angka, yakni 1, 8, dan 9, tergolong nomor cantik dan mahal yang diburu para pemilik kendaraan berkantong tebal. Tak mustahil nomor-nomor itu bukan sekadar bantuan ataupun rahasia, tapi diperjualbelikan.

Tapi Sofjan tak mengakuinya. Sementara ini, ia menganggap tudingan kasus sebelas sedan mewah hanya upaya Kapolri Da'i Bachtiar yang mencari-cari kesalahannya. Sofjan memang sedang mempersoalkan Kapolri karena memensiunkan dirinya serta sejumlah petinggi kepolisian lainnya secara dini.

Giliran Kapolri Da'i Bachtiar menepis dugaan bahwa kasus sebelas mobil mewah itu hanya untuk memojokkan Sofjan. "Kasus ini tidak diarahkan pada satu orang atau jabatan tertentu. Kebetulan saja kejadiannya di Sulawesi Selatan, saat Sofjan menjabat Kapolda Sulawesi Selatan," kata Da'i.

Selain itu, menurut Da'i kepada Rofiqi Hasan dari TEMPO, penyelundupan mobil bukan hanya terjadi pada kasus Sofjan di Jakarta dan Sulawesi Selatan, tapi juga ada di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Bahkan pada akhir Januari 2001, penyelundupan mobil mewah terbongkar di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Mobil-mobil ilegal itu sempat lolos dari pemeriksaan Bea dan Cukai dan disimpan di sebuah gudang di daerah Gempol, sekitar 35 kilometer dari Surabaya.

Persoalannya kini, seriuskah kepolisian mengusut kasus Sofjan dan sebelas sedan mewah itu. Jangan-jangan kasus penyelundupan tersebut kempis menjadi sekadar penyalahgunaan wewenang Sofjan ketika menjadi Kapolda Sulawesi Selatan. Atau malah cuma dianggap pelanggaran administrasi lewat nomor mobil bantuan dan rahasia.

Ada juga kekhawatiran kalaupun kasus itu diusut, paling banter jajaran polisi di bawah Sofjan yang kena. Soalnya, Sofjan mengaku bahwa nomor rahasia dan bantuan dimaksud tak bisa dimutasi menjadi STNK dan bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB). Kalau kemudian mobil-mobil tersebut punya STNK dan BPKB, "Saya duga itu palsu," ucap Sofjan. Dengan kalimat lain, Sofjan menyatakan bahwa dirinya tak tahu-menahu soal STNK dan BPKB mobil tersebut.

Kalau kasus di atas jadi kempis, bertambah panjanglah ironi penegakan hukum antipenyelundupan di Indonesia. Padahal, sejak kasus Robby Tjahjadi pada 1964 dan 1972, penyelundupan mobil selalu melibatkan petugas kepolisian serta aparat Bea dan Cukai.

Modus penyelundupan juga tak cuma sekasar itu. Ada juga cara memasukkan mobil mewah ke Indonesia tanpa harus membayar bea dan pajak, misalnya, ketika ada acara internasional yang dikunjungi tamu mancanegara. Pelaku bisa mendompleng menyelundupkan mobil mewah lewat kerja sama dengan oknum di Sekretariat Negara. Tommy Soeharto pernah pula memasukkan mobil mewah melalui Ikatan Motor Indonesia dengan alasan untuk reli.

Memang, sebagaimana diakui Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Permana Agung, para pelaku penyelundupan mobil menganggap "bisnis" jenis ini sangat menguntungkan. Soalnya, di luar masalah kebobrokan penegak hukum dan aparat Bea dan Cukai, bea masuk dan pajak mobil impor tergolong amat mahal. "Kalaupun harga mobil itu sesampainya di Indonesia dipangkas sampai Rp 200 juta, para penyelundup tetap merasa bisa untung besar," kata seorang importir mobil mewah di Jakarta. Demikian pula yang terjadi pada sebelas sedan mewah dari Singapura itu, kendati diduga mobil-mobil itu bekas dipakai di negeri Singa.

Bila rentetan penyelundupan mobil mewah tak ditindak tegas, berarti pemasukan kas negara dari bea dan pajak mobil impor makin minim. Padahal, negeri yang tak kunjung pulih dari keterpurukan ekonomi ini amat membutuhkan dana.

Ahmad Taufik, Agus Hidayat, Syarief Amir (Makassar), Retno Sulistyowati (TNR)


Sebelas mobil mewah yang dikeluarkan Sofjan Jacoeb:

  • Mercedes S600L DD 1 QK
  • Mercedes S280 DD 9 PK (diubah menjadi A 1428 K atas nama Eko Prihantanto).
  • Mercedes S600L DD 8 SJ (dibalik ke nama Johan Susanto yang mengaku beli dari Gerry).
  • Mercedes S320L DD 8 TK (diubah menjadi A 1349 P atas nama Jamaluddin Tanuwijaya, lantas diubah lagi menjadi B 36 SS atas nama sama).
  • Mercedes S300SEL DD 8 KW (diubah menjadi A 1301 T atas nama Sundaru Samusu).
  • Juga Mercedes dengan nomor-nomor polisi DD 1 YK, DD 1 YS, DD 8 YS, DD 8 NW, DD 8 KN, DD 8 LK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus