Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hak Jawab Nursalim
ATAS nama klien kami, Sjamsul Nursalim, kami mengajukan keberatan terhadap berita dalam Laporan Utama TEMPO Edisi 20-26 Mei 2002.
Pada awalnya klien kami menerima baik keinginan TEMPO untuk melakukan wawancara karena TEMPO ingin ”menjernihkan persoalan”. Ternyata TEMPO melalui liputan utamanya hanya menggunakan wawancara dengan klien kami untuk me-legitimasi berita yang amat tidak berimbang dan insinuatif. Hal tersebut menggambarkan bahwa TEMPO bertindak tidak etis dengan menggiring klien kami masuk ke dalam ”perangkap”.
TEMPO telah memanfaatkan anugerah kebebasan pers untuk mencaci maki, menuduh, bahkan memvonis klien kami. Sampul depan Majalah TEMPO telah langsung memberikan label bagi Nursalim sebagai ”the Untouchable”. Di bawah judul ”Opini”, TEMPO juga memberikan predikat ”konglomerat hitam” kepada klien kami. TEMPO menuding klien kami melakukan penyuapan kepada para pejabat dan luar biasa kebal hukum, tanpa menyajikan bukti apa pun. Hal itu tentu melanggar kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers.
Lebih dari itu, TEMPO seharusnya menempatkan persoalan MSAA sebagai produk hukum berdasarkan fakta-fakta hukum, bukan menurut informasi yang tidak berdasar, bahkan memolitisasi permasalahan klien kami dengan keluarga Soeharto, kerabat B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan lingkaran dalam Megawati.
Lagi pula proses hukum terhadap Sjamsul Nursalim masih berjalan, baik penyelesaian perdata melalui MSAA maupun penyidikan pidana oleh Kejaksaan Agung. Klien kami selama ini menunggu dengan sabar penyelesaian menyeluruh, antara lain menunggu proses legal review dari Tim Bantuan Hukum dan Tim Pendukung Bantuan Hukum.
Selain itu, tulisan TEMPO (pada halaman 116 alinea 2) menyatakan bahwa ”tidak ada satu kasus pun yang bisa membuatnya menyentuh lantai penjara, bahkan masuk ruang sidang sekalipun.” Hal itu menunjukkan ilustrasi menyesatkan. Sebab, sampai saat ini belum pernah ada panggilan sidang. Pada halaman yang sama, TEMPO juga menyatakan bahwa ”pengadilan penyelewengan BLBI pekan-pekan ini digelar tanpa kehadirannya.” TEMPO tak berwenang menentukan kapan persidangan digelar, apalagi menentukan dengan atau tanpa kehadiran Nursalim. Karena itu, saran TEMPO untuk melakukan paksa badan (gijzeling) terhadap Nursalim yang disebut mirip Al Capone juga merupakan pendapat yang menghasut publik.
Khusus mengenai wawancara wartawan TEMPO dengan Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim, ternyata jawaban mereka ditambahi keterangan bantahan. Dengan demikian, upaya membuat berita seimbang tak tercapai. Seolah-olah keterangan pengamat ekonomi dan BPPN pasti benar, sehingga mendiskreditkan klien kami.
Berdasarkan hal itu, TEMPO telah melakukan trial by the press dan ingin memengaruhi penilaian Tim Bantuan Hukum terhadap klien kami. TEMPO bertindak sebagai jaksa, saksi, sekaligus hakim yang menjatuhkan vonis bersalah kepada Nursalim. Pembelaannya telah didepak ke luar ”pengadilan”. Hal itu tampak dari pernyataan TEMPO: ”tengok saja cap ’kriminal’ yang melekat ke jidat Sjamsul.” Kami menyesali sikap TEMPO yang tak menghormati asas praduga tak bersalah.
Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim Dr. (Jur) Adnan Buyung Nasution dan Eri Hertiawan, S.H. Jakarta
—Semua keberatan di atas pada dasarnya telah kami tanyakan dan telah kami muat secara proporsional dalam wawancara dengan Sjamsul dan Ny. Ijtih Nursalim. Wawancara dilakukan bukan untuk menjebak siapa pun, tapi untuk meminta penjelasan dari sisi klien Anda. Liputan itu dibuat berdasarkan reportase lapangan, informasi sejumlah sumber tepercaya, dan dokumen autentik.
Merugikan R.E. Baringbing, S.H.
BERITA yang menyangkut nama saya, R.E. Baringbing, S.H., di Majalah TEMPO Edisi 13-19 Mei 2002, halaman 93, berjudul Tongkat-Tongkat Hukum Pembawa Runtuh, sangat merugikan nama baik saya. Sebab:
- Dalam berita tersebut, yang dimuat hanya secuil bagian dari peristiwa yang sangat panjang dalam kasus besar.
- Tidak menerangkan perilaku polisi penyidik, kejaksaan, serta majelis hakim banding dan kasasi, yang diduga menerima suap dari saksi pelapor. Padahal saksi pelapor tak lain orang yang melakukan peralihan hak atas harta peninggalan almarhumah Ny. Siti Asijah senilai Rp 93 miliar. Masalah ini telah diadukan klien saya melalui sembilan laporan pengaduan ke Polda Jawa Timur. Tapi laporan ini tak kunjung ditangani kepolisian. Karena apa...?
- Saya telah meminta kepada wartawan TEMPO agar berita yang menyangkut masalah saya jangan dimuat dulu. Namun, tetap juga dimuat. Ini suatu kesalahan besar, apalagi pemberitaan tersebut merugikan nama baik saya.
R.E. BARINGBING, S.H. Jalan Suryopranoto 85-A Jakarta Pusat 10610
—Berita tersebut ditulis berdasarkan informasi di lapangan dan dari sumber-sumber, antara lain Kepala Kejaksaan Negeri Malang. Perkara Anda pun sudah berkekuatan hukum tetap. Terima kasih atas penjelasan Anda.—Red.
Menanggapi Tulisan Orang Rimba
SEBAGAI antropolog dan peneliti Orang Rimba, saya sangat prihatin membaca artikel TEMPO dalam rubrik Selingan, Edisi 22-28 April 2002, dengan topik Suku Anak Dalam (Orang Rimba).
Saya khawatir liputan tersebut dapat menyesatkan pembaca dan melahirkan citra kurang baik tentang Orang Rimba. Secara umum, keseluruhan isi artikel tersebut terlalu didasari oleh asumsi wartawan tentang Orang Rimba sebagai manusia aneh dan eksotis, baik secara budaya maupun secara fisik (didukung oleh ”ilustrasi manusia purba”, halaman 70, sebagai manusia kera yang berjalan tegak).
Menurut kami, foto tersebut sangat tidak etis dan kurang bermanfaat untuk menjelaskan asul-usul Orang Rimba. Artikel ini juga sangat mengacu pada tulisan kuno dengan kata-kata big foot, yeti, missing link, silent trade, Melayu Tua, dan lainnya. Semua konsep kuno ini terlalu dipaksakan untuk mendukung tulisan. Pembaca yang tidak pernah membaca dan tak mengerti laporan kuno tersebut tentu tidak paham konteksnya, sehingga dapat terjadi salah persepsi dan Orang Rimba pun semakin dicitrakan sebagai manusia primitif. Saya pikir terlalu naif mengutip teori, konsep, dan laporan kuno yang ditulis 100 tahun lalu untuk saat ini.
Dalam keseluruhan artikel tersebut, banyak kalimat yang kurang etis karena terlalu memberikan kesan Orang Rimba sebagai masyarakat yang udik, kotor, dan jorok, bahkan barbar, serta menganalogikan perilaku Orang Rimba dengan binatang. Misalnya, halaman 74, Macan Rimba yang Putus Asa, alinea 3: ”Jongkoklah di sana macan rimba kita yang tegap dan sakti itu... seperti kucing kota melepas hajat,” alinea 2: ”Enggrip memang bukan orang rimba udik yang kolot,” atau alinea 6: ”… seorang anak rimba ditemukan mati.”
Dari tulisan itu, tampaknya wartawan kurang menyelami pengertian udik, kolot, dan jorok dengan membandingkannya dengan dunia orang kota. Padahal cara hidup Orang Rimba sangat bersih. Mereka tidak pernah melepas hajat sembarangan, selalu menjaga kebersihan sungai, dan hidup dengan prinsip konservasi. Pada alinea 6, sesuai dengan Ejaan yang Disempurnakan, kata ”mati” sebaiknya dipakai untuk binatang dan ”meninggal” untuk manusia.
Halaman 68, alinea 3 dan seterusnya: ”Tentu saja Pematas—begitu nama si gembel itu—cuma menjual bualan. Melihat gajah saja ia belum pernah, apalagi bisa memerah air maninya,” dst. Kolom 2 alinea 4: ”Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, yang luasnya hampir menyamai wilayah DKI,” dst. Dapat saya jelaskan, SK Menhutbun tanggal 23 Agustus 2000 No. 25/Kpts-II/2000 menetapkan kawasan Bukit 12 sebagai cagar biosfer dan taman nasional dengan luas 60.500 hektare (kami memiliki kopi SK-nya).
Halaman 78, Tarzan Kota yang Merindukan KTP, alinea 2: ”Bagi orang rimba, KTP merupakan tiket yang akan mengantarnya ke dunia terang.” Memang benar Orang Rimba tak punya KTP. Sebab, bagi Orang Rimba, hutan atau halom (alam) merupakan rumah tempat beranak-pinak dan berpenghidupan. Prinsip ini sekaligus meluruskan tulisan halaman 72, alinea 2: ”Bagi orang suku Kubu, baca-tulis adalah ilmu pelet untuk memikat mereka keluar dari hutan.”
Terakhir, sebagai majalah dengan moto ”enak dibaca dan perlu,” dapatkah TEMPO menjelaskan lebih rinci identitas LSM yang dengan suka rela menjadi guru terbang bagi Orang Rimba? Kesan kami, TEMPO sengaja ”menggelapkan” informasi tentang itu. Terima kasih.
ROBERT ARITONANG Jalan Teuku Umar, RT 10/RW 03 Kelurahan Pematang Kandis Merangin, Jambi
—TEMPO tak bermaksud menyamakan orang rimba dengan yeti ataupun big foot. Namun, berbagai tulisan kuno itu merupakan catatan yang sempat menjadi referensi, sehingga menarik peneliti lain untuk membuktikannya. TEMPO juga menyebut catatan tersebut agak sensasional.
Kata-kata ”orang rimba yang bodoh, jorok, kotor, dan barbar” merupakan arti dari kata ”kubu”, sebagaimana diberikan masyarakat Melayu kepada orang rimba. Tapi orang rimba menolak disebut suku Kubu.
Dalam tulisan Tarzan Kota yang Merindukan KTP, tentu kisah Bahari yang ingin melepas semua atribut kerimbaan dan menjadi orang terang tak bisa disetarakan dengan cerita Gentar yang ingin tetap hidup bersama komunitasnya di dalam rimba.
Adapun soal nama LSM dimaksud, itu sudah disebut beberapa kali dalam tulisan TEMPO, yakni Warung Informasi (Warsi). Bahkan di halaman 69, alinea terakhir, ada kalimat, ”Robert Aritonang, antropolog yang bekerja untuk Warsi, percaya….”
Terima kasih atas tanggapannya.—Red.
Hidup Sederhana PNS
APA yang dimaksud dengan anjuran Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Feisal Tamin agar pegawai negeri sipil (PNS) hidup lebih sederhana? Saya pikir anjuran itu hanya berlaku bagi wali kota, bupati, anggota DPR, dan para pejabat PNS. Sebab, merekalah yang menerima segala fasilitas negara. Kalau untuk PNS golongan rendah, apa lagi yang mesti dihemat? Jangankan bisa berpakaian bagus, makan dua kali sehari pun sudah sangat bersyukur.
Apa enggak sebaiknya dianjurkan begini saja: berpakainlah yang bagus, tapi berhematlah orang kaya untuk membantu orang miskin, syukur-syukur bisa menjadi orang tua asuh dan memberikan lapangan kerja bagi orang lain.
INDARJANI 1520, Michigan Ave, SE St Cloud, Minnesota, USA E-mail: :[email protected]
Keberatan Berita BCA
PEMBERITAAN Majalah TEMPO Edisi 20-26 Mei 2002 tentang BCA tidak benar. Dalam berita itu disebutkan sebagai berikut. ”Sementara itu, Alfred Rohimone menyebutkan bahwa perubahan itu diperlukan lantaran komisaris lama kebanyakan terdiri atas orang tua atau orang yang tak berpengalaman mengelola bank. Ia mengaku selama ini mesti bekerja keras sendirian dalam mengawasi kerja direksi. Karena itu, ia menyambut gembira masuknya para komisaris baru yg memiliki reputasi di bidang perbankan. ’Dengan begitu, saya bisa bekerja lebih enak,’ ujarnya.”
Kata-kata tersebut tidak pernah kami utarakan dalam kesempatan apa pun. Kami minta dijelaskan: kapan dan di mana? Sebab, kami tidak pernah kenal ataupun diintervieu dua wartawan Anda yang menulis berita tersebut. Kami merasa dibohongi karena wartawan memasukkan komentar tanpa pernah menghubungi kami.
Saya tidak tahu apakah kata-kata seperti di atas cukup pantas diucapkan bagi anggota komisaris yang terpilih. Itu jelas sangat menyakitkan teman anggota komisaris yang tidak terpilih. Bagaikan sudah jatuh ketiban tangga lagi.
Saya sangat sedih. Sebab, berita tersebut amat mencemarkan nama baik saya dan merugikan jajaran manajemen BCA serta tema-teman komisaris lama. Karena itu, saya mohon klarifikasinya.
ALFRED H. ROHIMONE Jakarta
—Kata-kata ”Alfred Rohimone menyebutkan bahwa perubahan itu diperlukan lantaran komisaris lama kebanyakan terdiri atas orang tua atau orang yang tak berpengalaman mengelola bank. Ia mengaku selama ini mesti bekerja keras sendirian dalam mengawasi kerja direksi” memang bukan berasal dari Anda. Kami minta maaf.
Namun, wartawan kami telah mewawancarai Anda via telepon seluler pada Jumat sore, 17 Mei 2002.—Red.
Laskar Jihad
ALASAN separatisme di Maluku yang menjadi dasar bagi Laskar Jihad masih berada di Ambon rasanya agak membingungkan. Kalau Laskar Jihad memang konsisten dengan alasan tersebut, sepatutnya jauh-jauh hari mereka sudah ke Aceh untuk melawan GAM. Tapi rasa-rasanya kelompok ini ada di Aceh, bahkan bersahabat akrab dengan kaum separatis. Jadi, mereka sendiri membuat pandangan yang aneh buat mereka sendiri.
ERWIN SUNBASANA Lr. Galumpang 158, Sumbawa E-mail: [email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo