Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU set kereta listrik yang terdiri atas enam gerbong melaju dari stasiun layang (elevated) Lebak Bulus. Selang lima menit kemudian, kereta listrik berikutnya berangkat dari stasiun di bilangan Jakarta Selatan tersebut. Kuda-kuda besi itu melewati jalur rel melayang setinggi kira-kira lima meter menuju pemberhentian pertama, stasiun layang Fatmawati. Kereta berkapasitas 1.500 penumpang itu terus melaju menuju stasiun-stasiun layang berikutnya: Cipete, Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja. Di kawasan Senayan, kereta mulai memasuki jalur rel bawah tanah (subway) menuju stasiun Bendungan Hilir, Setiabudi, hingga pemberhentian akhir transit stasiun bawah tanah (underground) Dukuh Atas.
Dengan kendaraan umum atau pribadi, jarak Lebak Bulus-Dukuh Atas sepanjang 14,5 kilometer harus ditempuh sekitar sejam. Tapi, dengan kereta itu, waktu tempuh terpangkas hingga tinggal 28 menit. Itulah gambaran sistem transportasi mass rapid transit (MRT) pada 2016 dalam sebuah film animasi berdurasi 9 menit 21 detik buatan pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. ”Kami berharap, September 2015, sistem MRT sudah terlaksana,” kata Soetanto Soehodho, Deputi Gubernur DKI Jakarta, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Moda angkutan ini sudah digagas sejak 1986. Studi kelayakannya pun sudah dilakukan pada 2000 oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tapi selama bertahun-tahun realisasinya terkatung-katung. Pembangunan proyek MRT menemui titik terang lagi setelah Badan Kerja Sama Internasional Pemerintah Jepang (JICA) bersedia meminjamkan duit murah berbunga 0,2 persen selama 40 tahun senilai 120 miliar yen (sekitar Rp 11 triliun) kepada pemerintah Indonesia pada 2005. Pemerintah pusat meneruskan pinjaman ini kepada pemerintah DKI Jakarta.
Pola pinjamannya berbentuk special term for economic partnership, yakni 30 persen suku cadang harus berasal dari Jepang, sedangkan sisanya boleh dari sumber internasional, termasuk Indonesia. Adapun konsultan dan kontraktor utama harus dari Jepang, tapi subkonsultan dan subkontraktor bisa dari mana saja. Perjanjian pinjaman tahap pertama senilai 1,869 miliar yen sudah diteken pada 2006. Perjanjian pinjaman tahap kedua senilai 48,15 miliar yen ditandatangani pada 31 Maret lalu. Pemerintah Jakarta akan membayar 58 persen utang Jepang tersebut, sementara sisanya ditanggung pemerintah pusat.
Untuk merealisasi pembangunan dan mengelola MRT, Gubernur Jakarta Fauzi Bowo telah membentuk perusahaan daerah, yakni PT MRT Jakarta, pada Juni 2008. Direktur Utama MRT Jakarta Tribudi Rahardjo menjelaskan, penyediaan angkutan umum massal lewat sistem MRT hanya salah satu strategi pemerintah Jakarta mengurangi kemacetan dalam sebuah program besar bernama Pola Transportasi Makro. Strategi lain adalah pembatasan lalu lintas dan peningkatan kapasitas jalan. ”MRT menjadi prioritas karena kemacetan jalan sudah sangat parah,” ujarnya.
Kemacetan di Jakarta tak bisa dihindari lantaran pertumbuhan jalan per tahun hanya 0,01 persen. Adapun pertumbuhan mobil 11 persen per tahun atau 138 kendaraan baru per hari. Pada 2014, Jakarta akan macet total jika tak ada perbaikan. Kerugian masyarakat akibat kemacetan bisa mencapai Rp 11 triliun per tahun, meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar, dan biaya kesehatan.
Menurut Tribudi, sistem MRT ini ditargetkan mampu meraup 340 ribu orang penumpang per hari. Itu lebih tinggi dibanding penumpang Transjakarta saat ini, sebanyak 70 ribu orang per hari. Dia yakin puluhan ribu dari penumpang itu merupakan pemilik motor dan mobil yang beralih menggunakan angkutan massal ini. Alhasil, jumlah kendaraan dan kemacetan berkurang. Penduduk Jakarta pun bisa lebih sehat karena kadar karbon dioksida dari knalpot kendaraan akan berkurang akibat 90 ribu per tahun kendaraan masuk kandang.
Selain bisa menekan kemacetan, menurut Direktur Fungsi Korporasi MRT Jakarta Eddi Santosa, pembangunan sistem transportasi massal ini akan memberikan manfaat secara ekonomis, yakni penyerapan 48 ribu tenaga kerja selama masa konstruksi. Secara makro, masyarakat Jakarta juga akan menerima manfaat ekonomi (economic internal rate of return) sekitar 11 persen.
Pengamat transportasi dari Transportation Research Group Institut Teknologi Bandung, Harun Alrasyid Lubis, menilai pembangunan MRT di Jakarta sangat layak. Tapi, agar efektif menekan kemacetan, sistem MRT harus terintegrasi, baik fisik maupun kelembagaan, dengan moda angkutan lain. Transportasi MRT berbasis rel itu, kata dia, harus menjadi basis utama dan moda angkutan lain menjadi pendukung. ”Berarti perlu ada tata ulang busway, bus, dan angkot,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Tribudi sepakat dengan pendapat Harun. MRT ini, kata Tribudi, akan diintegrasikan dengan moda angkutan lain, seperti busway, waterway, dan kereta Jabotabek. Bukan itu saja, di setiap stasiun MRT akan disediakan tempat parkir luas sehingga masyarakat bisa menyimpan mobil di stasiun dan tak perlu membawanya ke pusat kota.
Dalam membangun MRT itu, menurut Eddi, pemerintah pusat dan MRT Jakarta membagi empat tahap kegiatan, yakni pembuatan desain dasar (Departemen Perhubungan sebagai penanggung jawab), tender pelaksana konstruksi, pembangunan konstruksi, dan uji coba MRT. Perusahaan MRT Jakarta bertanggung jawab pada tiga kegiatan terakhir.
Tapi belum-belum proyek ini sudah terhadang masalah. JICA lama sekali menyetujui konsultan yang akan membuat desain dasar MRT di Jakarta. Padahal, dalam tender yang digelar Departemen Perhubungan pada Oktober 2008, Katahira & Engineer International (perusahaan Jepang) menduduki peringkat pertama dengan skor 75,43. Di peringkat kedua Pacific Consultant International dengan skor 74,55. Nippon Koei Co. Ltd. di peringkat ketiga dengan nilai 74,13. ”Pacific mundur karena ada masalah dengan pemerintah Jepang,” ujar sumber Tempo di Jakarta.
Menurut sumber itu, JICA berkeberatan dengan Katahira lantaran perusahaan ini menggandeng konsultan dari Prancis. Beberapa orang di JICA tampaknya mendorong Departemen Perhubungan memilih Nippon Koei sebagai pemenang tender tersebut. ”Ini yang membuat bingung panitia lelang dan Departemen Perhubungan.”
Keberatan JICA, sumber ini melanjutkan, sangat aneh karena Katahira sudah berpengalaman mendesain MRT dan subway di sejumlah negara, misalnya di Manila, Filipina. Sebaliknya, Nippon lebih berpengalaman pada desain konstruksi energi, listrik, transportasi jalan, dan pengairan, termasuk di Indonesia. Senior Representative JICA di Indonesia, Kawanishi Hiroyuki, menolak mengomentari masalah-masalah tersebut. ”Itu (tender) rahasia sesuai kesepakatan dengan pemerintah Indonesia,” ujarnya kepada Tempo via e-mail pekan lalu.
Teka-teki keberatan JICA justru datang dari Y. Miura, ahli dari lembaga tersebut. Dalam suratnya kepada Departemen Perhubungan yang salinannya dimiliki Tempo, Miura menyebutkan, dalam tender, pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan standar pencegahan kebakaran di sejumlah rute subway, laiknya standar di Jepang.
Langkah Katahira menggandeng konsultan dari Prancis berisiko karena teknologi Eropa—juga Amerika—masih bermasalah dalam pencegahan kebakaran. Konsultan Prancis memang sedang mendesain transportasi publik di Surabaya. Tapi, kata dia, proyek di Kota Pahlawan tidak membangun subway. ”Pengalaman Katahira membangun desain MRT di Manila juga tidak bisa dibilang sukses,” begitu tulis Miura.
Berlarut-larutnya penunjukan konsultan desain MRT ini sempat mengemuka juga dalam rapat di kantor Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Infrastruktur Bambang Susantono pada 20 April lalu. Rapat itu dihadiri anggota komite penasihat MRT seperti Ofyar Tamin dari Institut Teknologi Bandung, Soetanto Soehodho, Tribudi, Eddi, Direktur MRT Jakarta Rachmadi, dan Direktur Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan Tunjung Inderawan.
Dalam rapat ini, Tunjung menjanjikan kontrak penunjukan konsultan akan rampung pada pertengahan Mei mendatang. Selain masalah itu, dampak atas lalu lintas saat konstruksi dipertanyakan kepada MRT Jakarta. Tentang pertemuan ini, Bambang mengakuinya. Namun dia enggan berkomentar banyak. ”Kami tidak ingin proyek MRT terlambat dua tahun karena, bila terlambat, lalu lintas di Jakarta akan semakin parah,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Tunjung belum dapat dimintai konfirmasi. Adapun Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal saat ditemui Tempo seusai rapat pimpinan di Departemen Perhubungan, pekan lalu, mengakui JICA telah meminta klarifikasi soal pembobotan tender konsultan desain dasar. JICA dan Departemen Perhubungan pun, kata dia, sudah duduk bersama menyelesaikan masalah itu tanpa melanggar aturan tender. ”Semoga tak lama lagi itu (penunjukan konsultan) akan selesai,” ujarnya.
Kisruh penunjukan konsultan desain jelas berpengaruh terhadap pelaksanaan proyek MRT secara keseluruhan. Gara-gara masalah tersebut, kegiatan tahap pertama saja sudah molor hampir lima bulan. Apesnya, pemerintah Jakarta tak bisa berbuat banyak karena wewenang penunjukan konsultan itu ada di tangan Departemen Perhubungan. Buntutnya, target MRT Jakarta agar sistem transportasi massal bisa beroperasi pada 2014 dipastikan mundur menjadi awal 2016.
Kendati ada sejumlah masalah, manajemen MRT tetap optimistis proyek raksasa ini akan bisa terwujud. Eddi juga yakin proyek MRT tak akan bernasib sama dengan proyek rel tunggal (monorel), yang gagal karena tak ada dana. Masalah pembebasan lahan tak akan menghambat karena lahan yang dibebaskan relatif kecil, hanya 2 hektare. Dalam proyek MRT juga tak ada masalah pendanaan karena 100 persen pengembalian dijamin pemerintah. ”Ini pinjaman government to government,” ujarnya seraya menyebutkan sisa pinjaman senilai 71 miliar yen akan direalisasi pada 2013 dan 2014.
Agar realisasi proyek MRT tak terlalu molor jauh, menurut Tribudi, manajemen MRT Jakarta akan mempercepat sejumlah kegiatan. MRT Jakarta juga akan mencoba ikut membantu penyelesaian sejumlah masalah yang muncul. Langkah ini sangat tepat karena tanpa keseriusan membenahi masalah-masalah secepatnya, bukan mustahil MRT akan bernasib sama dengan monorel. Dan MRT tetap menjadi mimpi.
Padjar Iswara, Ismi Wahid, Akbar Tri Kurniawan
MRT Koridor Lebak Bulus-Dukuh Atas (Tahap 1)
Panjang jalur: 14,5 km (10,5 km jalur layang, 4 km jalur bawah tanah)
Stasiun: 12 buah (8 stasiun gantung, 4 stasiun bawah tanah)
Waktu tempuh: 28 menit
Waktu berhenti: 40-60 detik
Jarak antarstasiun: 0,8-2,2 km
Headway: 4,5 menit
Jumlah penumpang: 340 ribu orang/hari
Kapasitas kereta: 17 set kereta
(1 set = 6 gerbong)
Kebutuhan listrik: 35-40 MVA
Kapasitas depo Lebak Bulus: 102 gerbong
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo