Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GURATAN lelah nyaris tak tampak di wajah Daisy Fajarina ketika Tempo menjumpainya tengah malam Rabu pekan lalu, di rumahnya di bilangan Slipi, Jakarta Barat. Padahal sepanjang hari itu dia harus menghabiskan waktunya di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri dan syuting di dua stasiun televisi. Telepon genggamnya hampir tak henti berdering hingga terlontar ucapan keras dari mulutnya, ”Bagaimana saya bisa diam? Itu anak saya, saya bukan batu!”
Daisy, 44 tahun, untuk kedua kalinya mengadukan Tengku Temenggong Mohammad Fakhry, 31 tahun, ke polisi. Dia menuduh putra mahkota Kesultanan Kelantan, Malaysia, ini telah membawa paksa putrinya, Manohara Odelia Pinot, 17 tahun. Laporan itu juga disampaikan ke Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri, Komisi Nasional Perempuan, serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Kepada pers sebelumnya, Daisy selalu menyebut bahwa Mohammad Fakhry, yang tak lain menantunya, telah ”menculik” putrinya. Namun, kepada Tempo, Daisy meralat omongannya sendiri. ”Tidak ada istilah penculikan,” ucapnya. ”Biar polisi yang menyimpulkan.” Tapi dia mengaku punya bukti bahwa anaknya teraniaya dan meminta pertolongan. Bukti itu terekam dalam sebuah cakram padat yang diserahkan ke polisi.
Drama ”penculikan” Mano, menurut Daisy, terjadi pada 9 Maret di Bandar Udara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi, sepulang ibadah umrah. Mano dipaksa masuk ke jet pribadi Pangeran, Challenger 300. ”Saya melihat Mano dipaksa naik. Ketika saya berusaha mengejar, pintu pesawat langsung ditutup. Saya cuma bisa teriak-teriak,” tutur Daisy dengan wajah pilu.
Selain dibawa paksa, menurut peng-acara Daisy, Afrian Bondjol dari Kantor Pengacara O.C. Kaligis, Mano diduga ditipu, dianiaya, dan mengalami tindakan kekerasan dari suaminya. Bukti adanya penganiayaan dan kekerasan itu berdasarkan laporan dokter Naek L. Tobing, seksolog yang didatangi Mano untuk konsultasi. ”Dia menyebutkan ada unsur itu,” ujar Afrian.
Soal penipuan, menurut Afrian lagi, Fakhry diduga telah mengatur skenario pembawaan paksa itu. ”Penipuan ini ada kaitannya dengan pembawaan paksa.”
Daisy tak mengira bahwa pernikahan Mano, yang dilahirkannya pada 28 Februari 1992, dengan Fakhry, yang kelahiran 7 April 1978, berbuah duka. Sudah sebulan lebih ibu dua putri ini tak bisa menghubungi Mano, yang kini menghuni Istana Kelantan. Dia juga mendapat kabar putrinya yang jelita ini mengalami perlakuan kasar psikis maupun fisik dari sang suami. ”Fakhry melarang dia berhubungan dengan keluarganya,” kata Daisy.
Ketika berusaha menemui putrinya yang kini bergelar Cik Puan Temenggong itu, Daisy harus menelan pil pahit karena ternyata pemerintah Malaysia pun mencekal dia. Menurut Raja Reza, Pejabat Konselor Malaysia di Indonesia, pencekalan itu sepenuhnya kewenangan departemen imigrasi pemerintah Malaysia. Negara bagian bisa memberikan rekomendasi kepada imigrasi agar mencekal seseorang. ”Karena dia (Daisy) ada kaitannya dengan Kerajaan Kelantan, tentunya Kelantan merekomendasikan pencekalan itu. Kalau alasannya tidak logis, ya tidak dikabulkan,” tutur Raja Reza, Kamis lalu.
Daisy mengisahkan, awal perkenalan Mano dengan Fakhry adalah saat jamuan makan malam bersama Deputi Perdana Menteri Datuk Nadjib bin Tun Abdul Razak, yang kini menjadi Perdana Menteri Malaysia, pada Desember 2006. Perangai lelaki yang ramah, sopan, dan rajin salat ini meluluhkan hati Daisy hingga mengizinkannya berpacaran dengan sang putri, meski usia keduanya terpaut 14 tahun.
Restu Daisy dibalas Fakhry dengan merenggut kegadisan Mano pada malam tahun baru 2008. Tapi Fakhry mau bertanggung jawab. Pada 26 Agustus 2008, Mano yang belum berusia 17 tahun dinikahkan dengan mas kawin 50 ribu RM (sekitar Rp 150 juta) dan sejumlah perhiasan emas berlian.
Seusai pesta pernikahan, tabiat asli pangeran mulai tampak. Menurut cerita Mano kepada ibunya, sang suami kerap berperilaku kasar. Karena tak tahan, dua bulan kemudian Mano kabur ke Jakarta. Dia tak mau balik kecuali sang suami memenuhi janjinya menggelar pesta pernikahan di Jakarta. Fakhry lalu minta maaf dan janji akan dipenuhi setelah umrah. ”Mano sebenarnya cuma minta dinikahkan secara Indonesia,” kata Daisy. Apa daya, janji tak dipenuhi, anak pun lepas dari tangan Daisy.
”Kekejaman” Fakhry versi Daisy langsung ditanggapi kubu Kelantan. Lucunya, respons itu tak disampaikan oleh utusan resmi, kecuali pembantu istana bernama Masda, dan teman keluarga, Moh. Soberi Safii. ”Tuduhan Mano disiksa itu tak benar. Dia hidup bahagia sekali,” tutur Masda saat menyampaikan ”pesan” itu, pekan lalu.
Menurut Soberi, seperti dikutip situs berita Malaysiakini.com, Fakhry sudah mengirimkan orang untuk menemui Daisy. Kini masalahnya bergantung pada sikap ibunda Mano. ”Kalau dia agresif, masih berdendam, bagaimana (hendak selesai)?” kata Soberi.
Di sela-sela cerita Daisy ini, ada kabar burung tentang motif Daisy menikahkan putrinya yang masih belia itu. Beredar kabar bahwa Daisy silau dengan ”hadiah” pangeran, yakni apartemen mewah senilai Rp 10 miliar di Jalan Pakubuwono, Jakarta Selatan, dan sebuah sedan keluaran mutakhir. Itu belum termasuk utang Daisy sebesar 600 ribu RM (sekitar Rp 1,8 miliar) yang dijanjikan akan dilunasi Fakhry. Untuk menutupi ”hadiah” itu, Daisy mengontrak sebuah rumah di town house di bilangan Slipi, jika menerima wartawan.
Namun Daisy membantah semua tuduhan itu. Menurut dia, tudingan itu sengaja dilemparkan pihak Fakhry untuk menjatuhkan namanya. ”Tidak benar, buktinya saya tetap seperti ini, enggak punya apa-apa,” katanya. Sebelum pindah ke Slipi, Daisy dan Dewi—saudara kandung Manohara—tinggal di sebuah rumah kontrakan di kawasan Lebak Bulus.
Sayangnya, Daisy tidak gamblang menjelaskan sumber mata pencahariannya. Dia dan kedua putrinya juga bukan orang asing dalam pergaulan sosialita Jakarta. Dari Jakarta Social Blog, Tempo menemukan foto-foto Mano dan ibunya di tengah sebuah pesta di Jakarta. Ada juga foto Mano di tengah-tengah pesta ulang tahun Adinda Bakrie, tahun lalu. Daisy mengaku pernah berbisnis jual-beli berlian. Dia juga punya tabungan uang dan saham dari mantan suami keduanya, Reiner Pinot-Noack.
Sekadar informasi, Pinot-Noack bukanlah ayah kandung Mano, tapi ayah adopsi. Itu sebabnya, Mano bisa menggunakan nama Pinot. ”Ayah Mano berkebangsaan Amerika, namanya George,” Daisy menuturkan. Keterangan ini menjawab pertanyaan kenapa Mano punya dua kewarganegaraan, Indonesia dan Amerika Serikat—bukan Prancis.
Nah, apa mungkin Daisy bisa ”mengambil” kembali putrinya? Menurut Rudi Satrio, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Daisy tak lagi berhak atas putrinya. Sebab, sang putri sudah sah menjadi istri orang. Seandainya benar Mano mengalami siksaan dari suaminya, seharusnya dia sebagai korban yang mengajukan tuntutan di Malaysia. ”Hukum Indonesia enggak bisa tembus ke ranah Malaysia atau Kelantan,” katanya.
Pandangan serupa disampaikan Hikmahanto Juwana, juga pakar hukum dari Universitas Indonesia. Menurut dia, yang seharusnya dilakukan Daisy adalah pergi ke Malaysia, berkonsultasi dengan pengacara di negeri itu, lalu mengadukan perkaranya ke kepolisian di Malaysia. ”Jalur formalnya ada di sana, bukan di Jakarta, percuma.”
Sedangkan menurut Afrian, dalam kasus pidana, laporan bisa disampaikan siapa saja, tak harus korban. Dia yakin, kepolisian bisa menembus hukum Malaysia. Dalam perkara ini, karena Mano juga warga negara Indonesia, polisi bisa memanggil Mano untuk diperiksa di Jakarta. ”Artinya, dia bisa ke Indonesia, itu harapan kami,” kata Afrian.
Namun Daisy, menurut Afrian, tak berniat menuntut di Malaysia karena trauma akibat pencekalan. Daisy juga mengaku tak berencana ke Malaysia meski pencekalannya sudah dicabut. ”Percuma, mereka pasti menghalang-halangi,” ujarnya. ”Pulangkan saja Mano.”
Tampaknya Daisy paham, izin masuk ke Malaysia tak berarti izin masuk ke Kelantan. Ini pun dibenarkan Raja. ”Itu (izin masuk Kelantan) memang kuasa penuh negara bagian,” ujar sang Raja.
Anne L. Handayani, Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo