Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF6600>Perusahaan Negara</font><br />Tak Putus Dirundung Krisis

Masalah keuangan terus membelit PT Dirgantara Indonesia. Terlambat membayar gaji karyawan.

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesibukan terlihat di hanggar perakitan pesawat CN-235, kompleks PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Rabu siang pekan lalu. Enam teknisi merubung dua badan pesawat bersayap lebar. Sebagian merapikan rangka metal, lainnya mengutak-atik suku cadang. Decitan bor dan ketukan palu di ruangan berdinding besi seluas seribu meter persegi itu serasa merobek gendang telinga.

Para teknisi itu sibuk merampungkan pesawat pesanan pemerintah Korea Selatan. Dua tahun lalu, Negeri Ginseng memesan empat unit CN-235 senilai US$ 90 juta (sekitar Rp 860 miliar). Mereka kesengsem pesawat rancangan Dirgantara dan pabrikan Cassa Spanyol itu. Keempat pesawat akan dipakai untuk patroli penjaga pantai. ”Satu sudah terbang, dan sisanya masih digarap,” kata juru bicara Dirgantara Indonesia, Rakhendi Triyatna. Dirgantara juga sedang menyelesaikan dua proyek penting lain dari Prancis. Pembuatan ketiak sayap (drive rib) Airbus A380, pabrikan pesawat yang bermarkas di Toulouse, dan badan utama helikopter superpuma pesanan Eurocopter di Lyon.

Proyek-proyek itu sebetulnya diharapkan bisa mendongkrak kinerja Dirgantara setelah lolos dari kepailitan, empat tahun silam. Faktanya, perusahaan yang berdiri pada 1976 itu masih limbung. Arus kas kembang-kempis. Pembayaran gaji 4.800 karyawan—1.700 di antaranya pegawai kontrak—tersendat-sendat. Dua pekan lalu, Serikat Pekerja Dirgantara Indonesia (Spedi) dan dua serikat karyawan lain unjuk rasa di Bandung dan Jakarta menuntut pembayaran gaji dan pertanggungjawaban manajemen.

Menurut Ketua Spedi, Haribes, pembayaran gaji macet sejak Oktober 2010. Karyawan bergaji di atas Rp 2,5 juta hanya dibayar sebatas itu, dan sisanya diangsur. Bahkan tunjangan kesehatan karyawan dihentikan karena Dirgantara menunggak Rp 3 miliar kepada Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. ”Ini sudah keterlaluan,” katanya.

Bagi perusahaan yang dulu bernama PT Nurtanio ini, krisis keuangan bukan masalah baru. Sejak 2008, Dirgantara limbung lantaran pendapatan tak bisa menutupi pengeluaran. Akhir tahun lalu, Dirgantara merugi Rp 29 miliar. ”Untuk menggarap proyek pun mereka kesulitan modal,” kata Deputi Menteri Badan Usaha Milik Negara Achiran Pandu Djajanto kepada Tempo pekan lalu.

Sumber Tempo membisikkan, terlepas dari masalah pailit, kinerja keuangan Dirgantara tak kunjung membaik. ”Tak ada order besar,” ujarnya. Pada 2007, misalnya, kontrak yang diterima hanya sekitar Rp 400 miliar. Sialnya, Dirgantara mesti menanggung beban utang dan pesangon 6.600 karyawan yang diberhentikan pada 2005. Total beban mencapai Rp 400 miliar. Belum lagi beban pembayaran gaji karyawan Rp 23 miliar sebulan.

Pada 2008-2009, Dirgantara sebenarnya mendapat kontrak besar senilai Rp 1,8 triliun. Tapi inefisiensi melonjak. Modal kerja kembali cekak, sehingga penyelesaian order molor. Para pemesan memberi penalti. Haribes mencontohkan, proyek CN-235 yang dipesan Korea Selatan seharusnya rampung 14 Desember lalu. Tapi sampai sekarang belum juga kelar. Pemerintah Korea Selatan pun mendenda Dirgantara. ”Lantaran penalti-penalti itu, perusahaan terus merugi,” katanya.

Pandu membenarkan cerita ini. ”Itulah risiko bisnis,” ujarnya. Sebaliknya, Rakhendi membantah Dirgantara tak bisa memenuhi pesanan tepat waktu. ”Justru gara-gara pembayaran dana dari pemesan bertahap, penyelesaian pun bertahap, bukan terbengkalai.”

Pemerintah sebetulnya sudah mencoba menyelamatkan Dirgantara. Akhir Oktober lalu, Dirgantara masuk ruang rawat PT Perusahaan Pengelola Aset bersama 17 BUMN lainnya. Sekretaris Perusahaan Pengelola Renny Rorong mengatakan suntikan modal penyelesaian proyek menjadi prioritas utama. Sederet skema restrukturisasi keuangan juga disiapkan, tapi nilainya belum bisa diputuskan. ”Kami masih meneliti kondisi perusahaan ini,” katanya.

Fery Firmansyah, Angga Sukma Wijaya (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus