Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

7 Faktor Penurunan Daya Beli Masyarakat

Penurunan daya beli masyarakat Indonesia belakangan ini menjadi perhatian serius para ekonom dan pelaku usaha.

17 Oktober 2024 | 10.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Penurunan daya beli masyarakat Indonesia belakangan ini menjadi perhatian serius para ekonom dan pelaku usaha. Melemahnya daya beli ini berdampak pada konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi motor penggerak utama perekonomian. Fenomena ini berisiko memicu spiral deflasi, yaitu situasi di mana penurunan harga berlanjut akibat rendahnya permintaan dan konsumsi, yang pada gilirannya memperdalam penurunan harga dan memperburuk perekonomian Indonesia. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi bulanan sebesar 0,18 persen pada Juli 2024, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) mencapai 106,09. Deflasi ini mencerminkan tren penurunan harga yang telah terjadi selama tiga bulan berturut-turut. Lebih lanjut, tingkat deflasi pada Juli tercatat lebih dalam dibandingkan dengan deflasi bulan Juni, yang menunjukkan adanya penurunan permintaan dan konsumsi masyarakat secara berkelanjutan.

Berikut adalah beberapa faktor utama penyebab terpuruknya daya beli masyarakat:

1. Inflasi dan fluktuasi harga barang

Meskipun terjadi deflasi di beberapa bulan terakhir, biaya hidup masyarakat tetap tinggi. Kenaikan harga pangan dan energi membuat banyak orang harus memangkas belanja konsumtif demi memenuhi kebutuhan pokok. Inflasi yang tinggi pada sektor tertentu memperburuk kondisi ini.

Terjadinya inflasi ini turut berimpak pada penurunan kelas menengah. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memiliki pandangan tersendiri ihwal penyebab sejumlah kelas menengah yang turun kasta tersebut.

“Penurunan kelas menengah biasanya karena inflasi. Dengan inflasi tinggi, maka garis kemiskinan naik, mereka tiba-tiba akan jatuh ke bawah,” ujar Sri Mulyani di Kementerian Keuangan atau Kemenkeu di Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2024.

Sementara mengenai deflasi, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad memaparkan kondisi itu bisa dilihat dari volatile food atau kategori pangan bergejolak seperti daging ayam ras, telur, hingga bawang merah. Kategori tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang seharusnya tetap dikonsumsi, meski harganya mengalami perubahan.

“Tapi ketika masyarakat tidak punya daya beli, akhirnya dia tidak sanggup dan mengakibatkan harga turun. Dan itu menjadi deflasi,” terang Tauhid kepada Tempo, Kamis, 3 Oktober 2024.

Selain mencatat deflasi, ia juga merujuk data Purchasing Manager’s Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia, tercatat pada September 2024 turun ke zona kontraksi di level 49,2. Tren kontraksi ini telah berlangsung sejak Juli, menandakan adanya penurunan aktivitas industri secara konsisten.

Tauhid juga menyebut bahwa angka PMI manufaktur di bawah 50 menunjukkan barang yang dijual lebih sedikit daripada input yang dibeli oleh industri. Artinya, ada stok berlebih dari industri karena minimnya pembeli. Namun, kata Tauhid, saat ini kondisi  itu tidak hanya terjadi di Indonesia.

Lebih lanjut, salah satu faktor utama yang mempengaruhi daya beli masyarakat adalah tingkat harga barang dan jasa. Ketika harga mengalami kenaikan, kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa menurun. Sebaliknya, jika harga turun, daya beli masyarakat akan meningkat karena mereka bisa mendapatkan lebih banyak dengan uang yang sama. Oleh karena itu, untuk menilai daya beli, sangat penting untuk terlebih dahulu menganalisis pergerakan harga di pasar.

2. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Gelombang PHK di sektor formal akibat ketidakstabilan ekonomi menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran. Hal ini memaksa masyarakat bergantung pada tabungan atau mencari penghasilan di sektor informal, yang cenderung tidak stabil.

Di sisi lain, Tauhid menambahkan bahwa faktor yang menurutnya menjadi indikator melemahnya daya beli adalah penurunan peserta BPJS Ketenagakerjaan. Merujuk pada data BPJS Ketenagakerjaan periode Januari 2023-Mei 2024, ada penurunan tren peserta aktif sebesar 4,27 persen di sektor garmen dan pakaian jadi.

3. Pendapatan riil yang tidak meningkat

Pendapatan riil, yaitu pendapatan setelah disesuaikan dengan perubahan harga, menjadi faktor utama yang memengaruhi daya beli masyarakat. Apabila pendapatan riil bertambah, kemampuan seseorang untuk membeli barang dan jasa juga meningkat dibandingkan sebelumnya. Namun, agar daya beli benar-benar naik, kenaikan pendapatan harus lebih tinggi atau setidaknya sebanding dengan kenaikan harga di pasar. Apabila pendapatan nominal naik tetapi harga barang dan jasa ikut naik dengan laju yang sama, daya beli tidak mengalami peningkatan secara riil.

4. Menguras tabungan untuk kebutuhan harian

Tauihid menilai, bahwa kondisi penurunan daya beli masyarakat juga dapat disebabkan oleh pekerja sektor informal yang memilih untuk menghentikan kepesertaan mereka secara mandiri karena pendapatan mereka menurun. Tidak adanya dukungan dari perusahaan membuat mereka harus menanggung biaya sendiri, dan dalam situasi ekonomi yang sulit, banyak yang terpaksa memprioritaskan kebutuhan dasar.

“Dilihat dari data-data LPS, saya kira menunjukkan bahwa yang tadinya buat saving harus diambil buat kebutuhan sehari-hari. Masyarakat harus mengencangkan ikat pingganya lagi,” pungkasnya.

5. Minimnya lapangan kerja

Penurunan daya beli masyarakat kerap dikaitkan dengan terbatasnya peluang kerja. Ketika lapangan pekerjaan tidak mencukupi, angka pengangguran akan meningkat, sehingga banyak orang kesulitan memperoleh pendapatan. Kondisi ini berdampak pada kemampuan masyarakat untuk berbelanja, karena tanpa penghasilan yang memadai, mereka terpaksa menahan konsumsi dan mengurangi pembelian barang serta jasa.

6. Pajak

Kenaikan pajak cenderung menurunkan daya beli masyarakat karena pajak mengurangi pendapatan riil. Pajak yang dipotong dari penghasilan berarti bahwa saat pajak meningkat, pendapatan riil berkurang, sehingga seseorang akan memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk membeli barang dan jasa dibandingkan sebelum adanya kenaikan pajak. Hal ini dapat mengurangi tingkat konsumsi, yang merupakan faktor kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pajak yang lebih tinggi biasanya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi suatu negara.

7. Ketersediaan kredit dan beban utang

Msyarakat sering kali membeli barang atau jasa yang mahal dengan menggunakan kredit. Jika barang tersebut sangat diperlukan, mereka akan mencari pinjaman untuk memenuhinya.

Oleh karena itu, ketersediaan kredit dari lembaga keuangan, baik untuk perusahaan maupun konsumen, memiliki dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat. Dengan akses kredit yang baik dari bank, baik perusahaan maupun konsumen dapat melakukan lebih banyak belanja, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya beli. Selain itu, lembaga keuangan juga mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman, sehingga lebih banyak uang beredar dalam perekonomian suatu negara.

RACHEL CAROLINE L.TORUAN | HENDRIK KHOIRUL | HAMMAM IZZUDDIN | SUKMA KANTHI NURANI | HAURA HAMIDAH

Pilihan Editor: Terjun Bebas Daya Beli Masyarakat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus