Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua komunitas pekerja bersepeda, Bike to Work Indonesia, Poetoet Soedarjanto, mengatakan komunitasnya sudah memberi masukan kepada Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan terkait Rancangan Peraturan Menteri Pehubungan soal para pengguna sepeda.
Sejumlah hal menjadi catatan dari Bike to Work untuk pemerintah, salah satunya terkait acuan peraturan. "Kami mengingatkan Kemenhub bahwa ada satu regulasi yang terlewat dicantumkan dalam rancangan permenhub tersebut, yaitu PP Nomor 79 Tahun 2013 (tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan), itu kan tidak menjadi rujukan, jadi kami usulkan itu untuk ditinjau, selain UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan," ujar Poetoet kepada Tempo, Ahad, 5 Juli 2020.
PP Nomor 79 Tahun 2013 penting untuk ditinjau, kata dia, lantaran membahas juga tentang sepeda. Selain itu, beleid tersebut adalah penegasan dari Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Selain soal beleid acuan, Poetoet mengatakan komunitasnya juga meminta agar aturan soal kewajiban penggunaan helm bagi pesepeda untuk ditinjau ulang. Sebab, menurut dia, penggunaan helm sejatinya disesuaikan dengan penggunaannya. Pasalnya, selama ini pun kecepatan mobilitas sepeda cenderung lambat, berkisar 10-15 kilometer per jam.
"Ini harus ditinjau ulang, apa iya pesepeda wajib menggunakan helm? Karena banyak negara mewajibkan, tapi banyak juga yang tidak mewajibkan," ujar dia. Aturan ketat soal penggunaan helm juga dikhawatirkan Poetoet membuat orang jadi malas bersepeda.
Saat ini, berbagai negara memang memiliki kebijakan berbeda-beda soal penggunaan helm. Namun, Belanda, yang dinilai Poetoet sebagai negara dengan budaya bersepeda, justru tidak mengharuskan penggunaan helm bagi masyarakat. Kendati demikian, ada negara yang mewajibkan.
"Saya memang bukan ahlinya, tapi ini harus ditinjau bersama-sama karena Indonesia kan punya kondisi berbeda dengan negara lain dalam hal karakter masyarakat, cara bersepeda, dan lainnya. Kultur juga harus menjadi tinjauan dalam penyusunan aturan," ujar Poetoet.
Masukan lainnya adalah soal sepedanya. Berdasarkan rancangan beleid pesepeda yang diterima Bike to Work, Poetoet mengatakan ada salah satu poin dalam aturan itu yang mewajibkan pemasangan sepatbor pada kendaraan gowes tersebut.
Menurut Poetoet, sepatbor tidak terkait langsung dengan keselamatan, melainkan berkaitan dengan kebersihan. Sehingga, kata dia, pemasangan sepatbor mestinya tidak menjadi hal yang wajib bagi pesepeda. "Itu hanya berfungsi kalau ada genangan air, kalau hujan. Kalau jalan bagus kan tidak perlu sepatbor," ujar dia.
Poetoet mengatakan banyak hal lain yang dikritisi oleh Bike to Work dan komunitas lainnya. Namun, ia menekankan bahwa poin penting yang mesti ditonjolkan dalam aturan pesepeda tersebut mestinya adalah soal fasilitas sepeda dan jalur sepeda yang terproteksi secara aman.
Ia berujar bahwa selengkap apa pun peralatan pesepeda, tanpa adanya fasilitas dan jalur yang terproteksi, maka keselamatan penggowes tetap tidak terproteksi. "Karena pengguna kendaraan bermotor itu kan susah sekali diatur. Pelanggaran aturan lalu lintas kan luar biasa, jalur TransJakarta saja kalau tidak dilihat bisa dilalui juga, apalagi jalur sepeda."
Secara umum, Poetoet mengatakan Kemenhub cukup terbuka dengan masukan-masukan dari komunitas soal beleid pesepeda ini. Ia mengatakan masih menunggu hasil final dari Kementerian Perhubungan terkait dengan aturan anyar tersebut.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan menyatakan bakal melindungi keselamatan para pesepeda dengan membuat Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub). "Mengenai sepeda sedang saya buat Peraturan Menhub tentang perlindungan keselamatan bagi pengguna sepeda. Di sana mengatur tentang tata cara menyangkut masalah sepedanya seperti apa yang berkeselamatan," kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi di Solo, Sabtu, 4 Juli 2020.
CAESAR AKBAR | ANTARA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini