Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Celios Beberkan Negara Terkena Jebakan Utang China, Bagaimana di Indonesia?

Jebakan utang China itu sebenarnya terjadi bukan tanpa dasar, dan memang sudah beberapa kali terjadi di negara berkembang.

16 Juni 2023 | 08.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Hutang. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Yeta Purnama membeberkan negara-negara yang terkena jebakan utang China akibat adanya proyek belt and road initiative atau jalur sutra. Menurut dia, negara tersebut sebenarnya sudah tidak asing karena kerap dibahas ketika membicarakan jebakan utang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Yeta, jebakan utang China itu sebenarnya terjadi bukan tanpa dasar, dan memang sudah beberapa kali terjadi di negara berkembang. “Yang kondisinya sedikit mirip dengan Indonesia meskipun tidak sama persis,” ujar dia di Hotel Ashley Wakhid Hasyim, Jakarta Pusat, pada Kamis, 15 Juni 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Negara pertama adalah Zimbabwe. Yeta menuturkan, negara tersebut memiliki utang ke China untuk membeli persenjataan karena stabilitas yang terjadi di domestiknya. Di mana apemberontak di perbatasan Rwanda dan Uganda.

Sehingga karena memang posisi ekonominya yang lemah, Zimbabwe terlilit utang dan tidak mampu untuk membayarnya. Konsekuensinya negara di Benua Afrika itu harus menandatangi kerja sama untuk menerima mata uang China yaitu Yuan sebagai transaksi lokal.

“Kalau dillihat ya ini salah satu strategi China untuk memperluas penggunaan Yuan di beberapa negara,” kata Yeta.

Kedua ada Sri Lanka, negara yang paling sering dibahas. Negara ini pada 2010 mendapatkan pinjaman US$ 1,5 miliar untuk pembangunan Pelabuhan Hambantota. Namun, pada 2017 akhirnya kepemilkan Pelabuhan Hambantota tersebut jatuh ke tangan China.

“Karena Sri Lanka tidak mampu untuk membayar dan juga persyaratan dari skema belt and road initiative itu cukup berat untuk dipenuh Sri Lanka,” tutur dia.

Selanjutnya ketiga, ada Uganda. Pada 2015 negara itu mengajukan utang ke China senilai US$ 207 juta untuk pengembangan Bandara Internasional Entebbe. Sama seperti Zimbabwe dan Sri Lanka, posisi ekonomi Uganda cukup lemah yang membuatnya terlilit utang dan juga tidak mampu membayar. 

Sehingga kepemilikan dari bandara tersebut harus berpindah tangan ke pihak kreditur alias perusahaan yang berasal dari Negeri Tirai Bambu. “Jadi bisa dilihat dari beberapa negara tadi, sebenarnya memang bukan sepenuhnya salah China, tapi dipengaruhi oleh faktor ekonomi domestik negara tersebut,” ucap Yeta.

Selanjutnya: Bagaimana dengan Indonesia?


Lalu bagaimana di Indonesia? 

Direktur Studi China-Indonesia Celios M Zulfikar Rakhmat mengungkapkan bahwa hingga saat ini Indonesia masih belum terjerat jebakan utang (debt trap) dari Cina. Namun, kata dia, sudah ada tanda-tanda bahwa kemungkinan bisa masuk ke jebakan itu jika pemerintah tidak berhati-hati.

“Pemerintah perlu mewaspadai lantaran ada potensi Indonesia mengarah ke situ (jebakan utang),” ujar dia.

Parameternya Indonesia belum masuk jebakan utang Negeri Tirai Bambu itu, kata dia, karena jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Sri Lanka dan Zimbabwe, kemampuan ekonomi Indonesia masih bisa. Misalnya, kalau melihat dari proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sebenarnya Indonesia masih mampu untuk bayar.

“Cuma ya harus utang lagi gitu. Jadi utang untuk nutup utang. Tapi kalau PT KAI suruh nanggung semua ya jelas enggak akan mampu. Jadi sebenarnya kita masih aman. Karena ekonomi kita masih cukup kuat,” kata Zulfikar.

Adapun tandanya, Zulfikar memperkirakan jumlah utang Indonesia ke China berpotensi meningkat seiring dengan masuknya proyek-proyek belt and road initiative yang sudah ditandatangani. Pada 2022 saja, nilai utang Indonesia sudah mencapai US$ 20,225 miliar setara dengan Rp 315,1 triliun.

Selain itu, juga muncul kekhawatiran risiko gagal bayar yang bisa menyebabkan kerugian besar di masa depan. Kekhawatiran itu, menurut Zulfikar, bukan tanpa dasar. Karena dari negara-negara yang terlibat dalam proyek belt and road iniative, beberapa telah dinyatakan gagal bayar, seperti Sri Lanka.

“Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan risiko terjerat utang. Di antaranya China memberikan pembebanan skema kredit yang tinggi,” kata Zulfikar.

Moh. Khory Alfarizi

Moh. Khory Alfarizi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2018 dan meliput isu teknologi, sains, olahraga hingga kriminalitas. Alumni Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat, program studi akuntansi. Mengikuti program Kelas Khusus Jurnalisme Data Non-degree yang digelar AJI Indonesia pada 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus