Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Subang - Sambil mengisap rokok, Rasja 65 tahun, duduk merajut jaring di lantai teras rumahnya yang teduh. Huniannya berdinding tembok dan terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu, dan dapur. Di perkampungan nelayan yang padat itu, tempat tinggalnya rapat menempel dengan rumah tetangga. Sekitar 20 meter dari samping kanan rumahnya, terparkir beberapa perahu tua dari kayu milik para nelayan.
Nelayan yang tinggal di Dusun Terungtum, Desa Patimban, Subang, Jawa Barat ini sudah 30 tahun menjalani pekerjaan yang diwarisi dari orangtuanya. Hari itu, ia baru pulang melaut, berangkat pukul 4 subuh dan pulang jam 10 pagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raut mukanya memancarkan rasa kekecewaan. Bagaimana tidak kecewa karena ia hanya membawa pulang rajungan seberat 3 ons! Hasil tangkapan ini tak sepadan dengan modal melaut, minimal Rp300 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia memperlihatkan hasil tangkapan itu pada Tempo yang menyambangi rumahnya pada Rabu, 28 Agustus 2024. Ia menyimpan hasil tangkapan yang sedikit di lemari pendingin dan baru dijual ke tengkulak setelah terkumpul banyak.
Dahulu, ia bisa mendapat Rp300 ribu- Rp500 ribu per hari (penghasilan kotor). Namun sekarang, hanya Rp30 ribu, atau paling banyak Rp100 ribu.
Rasja menuduh pembangunan Pelabuhan Patimban adalah penyebab hasil tangkapan menurun. Ada pemasangan tiang-tiang penyangga untuk pembangunan pelabuhan yang menimbulkan suara sangat bising sehingga membuat ikan-ikan pada kabur. “Para nelayan mengatakan ‘ikannya pening’,” ujar dia.
Pembangunan Pelabuhan Patimban adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dibangun oleh pemerintah pusat. Landasannya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 47 Tahun 2016 Tentang Penetapan Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat sebagai Proyek Strategis Nasional. Ada pula Peraturan Presiden RI Nomor 109 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dalam situs kemenhub.id (6-9-2024) menyatakan Pelabuhan Patimban menjadi episentrum ekonomi dan industri di kawasan Subang, Sumedang, Majalengka, Indramayu, Kuningan, Kabutan dan Kota Cirebon. Pelabuhan ini juga mempermudah kegiatan ekspor otomotif dari berbagai kawasan industri di sekitarnya, mengurangi beban Pelabuhan Tanjung Priok, dan mengurangi kemacetan di Jakarta.
Proses pembangunan dimulai pada 2018 dan ditargetkan rampung pada 2034, dengan nilai investasi Rp18,9 triliun. Total luas pelabuhan yang berdiri di wilayah Desa Patimban ini mencapai 654 hektar.
Pembangunan tahap I-1 merampungkan terminal peti kemas seluas 35 hektar, berkapasitas 250.000 twenty-foot equivalent unit (TEU) dan terminal kendaraan seluas 25 hektar, berkapasitas 218.000 completely build up (CBU). Selanjutnya tahap I-2 (2023-2027) akan dibangun terminal peti kemas seluas 66 hektar berkapasitas 3,75 juta TEUs, terminal kendaraan 25 hektar berkapasitas 600.000 CBU, serta terminal kapal roro.
Pembangunan tahap II (2028-2032) yang bersifat jangka menengah bertujuan menyediakan terminal peti kemas berkapasitas kumulatif 5,5 juta TEUs. Adapun pembangunan tahap III (2033-2042), yaitu terminal peti kemas berkapasitas 7,5 juta TEU masih dalam proses perencanaan.
Selanjutnya baca: Sebelum dan Saat Pembangunan Pelabuhan Patimban
Di usianya yang sudah lansia, Rasja tak berpikir untuk ganti pekerjaan walau hidup sebagai nelayan di Dusun Terungtum semakin sulit. Dia tidak bisa melakukan pekerjaan selain menjadi nelayan.
Rasja tak punya perahu sehingga harus menyewa. Nanti, hasil tangkapan dibagi dua dengan pemilik perahu. Biaya operasional seperti solar, rokok dan konsumsi, ditanggung Rasja. “Pernah dapat rajungan enggak sampai 1 kilogram padahal sudah melaut dari jam 4 subuh. Terpaksa, solar untuk melaut ngutang,” ujarnya.
Ia mengatakan sejak Pelabuhan Patimban diperluas, belum pernah mendapat bantuan. Ia pasrah menjalani hidup dengan pendapatan yang sangat menurun.
Dampak buruk pembangunan Pelabuhan Patimban juga menimpa Ranita, 54 tahun. Dahulu, pemilik dua perahu di Dusun Terungtum itu pernah berjaya dari usaha meminjamkan perahunya kepada nelayan dengan sistem bagi hasil.
Penghasilannya bisa Rp2 juta atau paling sedikit Rp500 ribu untuk sekali melaut. Setiap kali melaut, ongkosnya sekira Rp1 juta.
Setelah ada pembangunan Pelabuhan Patimban, setiap hari dia malah harus nombok karena ongkos melaut yang tinggi. Daripada rugi, ia memutuskan berhenti.
Dulu Ranita punya 2 unit perahu besar, satu sudah rusak. Satu lagi sudah karena bocor akibat terlalu lama parkir (dijemur) yang membuat kayu bodi perahu pecah-pecah. “Padahal modalnya ratusan juta buat beli perahu,” ujarnya.
Sebenarnya Ranita ingin memperbaiki perahunya. Namun dia ciut karena perlu ada pemecah ombak agar ombak tidak masuk ke muara sungai yang jadi jalan keluar kapal ke laut lepas. Muara juga perlu pengerukan karena mengalami pendangkalan. Hanya perahu bermesin kecil yang bisa lewat, sedangkan perahu besar seperti miliknya jika dipaksa bisa merusak mesinnya.
Agar dapurnya bisa tetap ngebul, Ranita menyewakan mobil.
Khodijah, 45 tahun, pengusaha warteg di Dusun Terungtum juga ikut merasakan dampak buruk. Dahulu wartegnya selalu ramai. Ia bisa memasak nasi sampai 15 liter per hari. Sekarang, hanya 10 liter beras. “Kalau sepi terus, mungkin saya pindah,” ujarnya.
Sebelum 2019, pelelangan ikan di pasar Dusun Terungtum ramai dikunjungi orang. Mereka membeli hasil tangkapan nelayan yang melimpah di pelelangan itu. “Sekarang, pelelangan ikan sepi. Rasanya ke depan sepi terus, dan desa bakal mati. Ini dampak dari pelabuhan,” kata Khodijah.
Saat musim hujan, tepatnya Januari hingga Februari, produksi terasi rebon bisa sampai 2 ton per hari. Sekarang produksi terasi anjlog karena rebon sulit ditemukan.
Daryono, karyawan KUD Mina Misaya Huna membenarkan kondisi sulit nelayan di Dusun Terungtum. Para nelayan susah mendapat ikan untuk dilelang. Walhasil, sekarang pelelangan ikan di Dusun Terungtum kosong.
Nelayan di Dusun Terungtum membutuhkan perahu lebih besar agar bisa berlayar lebih jauh ke tengah laut. Di pinggiran, ikan sudah susah didapat. Pemasangan beton membuat ikan-ikan kabur karena lingkungan kotor (banyak lumpur).
Daryono masih ingat dulu pemerintah daerah pernah menjanjikan para nelayan dengan bekerja di kapal, modal usaha, dan bantuan tiap bulan. Namun semuanya tinggal janji.
Para nelayan pernah mendemo pemerintah desa, protes ke kecamatan, dan unjuk rasa di pelabuhan. Tetapi pemerintah tidak kunjung menyelesaikan keberatan warga. "Kami cuma diminta tenang. Kenyataannya nol,” ujarnya.
Selanjutnya baca: Berutang buat beli makan dan solar
Sementara kondisi di Dusun Genteng, Desa Patimban, Subang, Jawa Barat, sedikit lebih baik. Di sana masih ada ikan, udang, dan cumi meski jumlahnya turun signifikan.
Toshim dan Chasdi, dua nelayan di Dusun Genteng menceritakan mereka sering pulang melaut dengan tangan kosong. Selain faktor cuaca, jaring mereka sobek karena nyangkut ke material -- hasil pengerukan untuk pembangunan Pelabuhan Patimban-- dibuang ke pinggiran laut.
“Nelayan ngeluh lumpur dibuang sembarangan,” ujar kedua nelayan tersebut, bersahutan.
Dahulu, mereka bisa mendapat Rp500 ribu, sekarang turun menjadi Rp300 ribu. Tentu, ini belum untung karena modal melaut cukup mahal. Jika sudah begini, mereka terpaksa ngutang buat makan dan beli solar.
Nelayan di Dusun Genteng tak tinggal diam menghadapi situasi buruk ini. Mereka pernah berunjuk rasa ke otoritas Pelabuhan Patimban, tiga kali. Tidak dapat jawaban memuaskan, warga malah dibebani syarat melapor yang bermacam-macam sehingga mereka memilih mencari ikan di tempat lain.
“Anak saya enggak pengen jadi nelayan. Nelayan enggak ada yang sugih,” ujar Chasdi.
Pengurus KUD TPI Dusun Genteng, Koperasi Tanjung Mataram, Waslim mengungkap pada 2019 ada 156 nelayan anggota KUD. Namun setelah ada pembangunan pelabuhan, tinggal 56 orang yang aktif.
Sedangkan Kantor KUD Mina Misaya Huna Dusun Terungtum kondisinya kosong. Tidak ada aktifitas sama sekali karena sejak Januari 2024 tidak ada ikan sama sekali.
Staf KUD Mina Misaya Huna, Daryono mengatakan tidak ada lagi nelayan yang aktif melaut di dusun itu. Dahulu, KUD ini memiliki 12 karyawan, tapi sekarang mereka mencari pekerjaan lain agar dapur tetap ngebul.
“Bagaimana KUD mau menggaji karyawan karena yang dilelang enggak ada. Kami nasibnya sama dengan nelayan,” ujarnya.
Diperkirakan 800 nelayan di Desa Patimban dan 200 orang di Desa Ujung Gebang, Indramayu terdampak akibat pembangunan pelabuhan besar ini. Mereka kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan. Desa Patimban terdiri dari lima dusun, dengan jumlah penduduk 8.352 jiwa.
Pembangunan Pelabuhan Patimban membuat para nelayan jatuh miskin. Mereka terpaksa harus ngutang untuk menyambung hidup.
Rasja menceritakan bank keliling menawarkan kemudahan berutang bagi warga di Dusun Terungtum. Cukup dengan ‘jaminan’ fotokopi KTP dan Kartu Keluarga.
Besar angsuran mulai dari Rp125 ribu perminggu. Ketika jatuh tempo, debt collector tak mau tahu, tagihan harus dibayarkan. Bahkan mereka mau menunggu di rumah klien hingga angsuran dibayarkan.“Kalau nelayan lagi melaut pun, mereka tunggui,” ujar Rasja.
Sedangkan warga yang ingin berutang ke bank konvensional, membutuhkan surat keterangan usaha dari kantor desa. Pada 2022 Kantor Desa Patimban menerbitkan 298 surat keterangan usaha dan naik menjadi 305 pada tahun berikutnya.
Maulana, staf Kantor Desa Patimban menceritakan istri seorang nelayan pernah datang untuk meminta surat keterangan kematian suaminya. Pasalnya, suaminya nekat melaut gara-gara ditunggui debt collector bank keliling. Padahal waktu itu, air laut sedang pasang, nelayan itu akhirnya meninggal dilumat ombak.
Daryono mengatakan buangan material dari pembangunan Pelabuhan Patimban di perairan sekitar pantai memaksa para nelayan harus melaut lebih jauh. Risiko keselamatan nelayan pun jadi taruhannya.
Untuk mengurangi dampak negatif ini, pemerintah telah mengucurkan sejumlah bantuan. Ranita mengatakan ada pelatihan mengelas dan kemudahan mendapat SIM untuk nelayan dan pemilik kapal, pelatihan memasak untuk istri nelayan, pemberian sembako dan 10 unit perahu kayu.
Sayang, rangkaian pelatihan itu umumnya berlangsung sekitar seminggu.
Agus Rahmat, 52 tahun, warga Dusun Teruntum mengatakan beberapa warga yang mengikuti pelatihan kemudian bekerja di pembangunan pelabuhan. Namun jika pembangunan selesai, bagaimana nasib mereka?
Antropolog dari Universitas Padjadjaran Bandung, Selly Riawanti mengatakan idealnya semua proyek pembangunan harus didahului dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) karena ada evaluasi terhadap dampak sosial dan ekonomi.
Menyarankan nelayan berganti pekerjaan itu tidak mudah. Biasanya ini membuat warga tercerabut dari akar budayanya.
“Mengubah mata pencaharian penduduk karena faktor eksternal seperti bencana alam, dan pembangunan, itu pasti berat. Apalagi kalau harus mengganti mata pencahariannya, ini seperti menghapus pekerjaan mereka,” kata Selly.
Ia menjelaskan mata pencaharian adalah dasar kehidupan masyarakat. Nelayan bukan hanya pekerjaan, tapi suatu kebudayaan.
Selly menilai dalam jangka pendek tidak ada solusi terbaik bagi kasus nelayan di Desa Patimban. Sebab menghentikan proyek pembangunan juga tidak bijaksana.
Ia menyarankan pemerintah memberi perahu-perahu yang lebih besar dan pelatihan kemaritiman yang canggih kepada para nelayan supaya mereka bisa berlayar lebih jauh.
“Berdayakan mereka tetap sebagai nelayan yang lebih canggih, bukan jadi buruh bangunan. Masyarakat bahari harus lebih berdaya, agar anak-anak muda pun tertarik menjadi nelayan,” kata Selly.
Selanjutnya baca: Dampak lingkungan
Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Patimban, Mamuk Abduh mengatakan masih mencari penelitian akademis soal dampak negatif Pelabuhan Patimban terhadap kehidupan nelayan. Ia tidak bisa memberi jawaban tanpa data dan penelitian yang valid.
Ranita menceritakan pembangunan pelabuhan menyebabkan air laut pasang kadang masuk dan menggenangi pemukiman warga. Dia memperlihatkan pada Tempo sebuah WC umum yang dinding bagian belakangnya hanya berjarak 0.5. meter dari bibir laut. Dahulu, kakus itu dibangun di lokasi yang jauh dari laut.
Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi, Dwi Sawung menjelaskan ada kegiatan yang tidak boleh dilakukan seperti membuang material dari pembangunan pelabuhan ke wilayah tangkapan nelayan tradisional. Ia juga melihat konstruksi pemecah gelombang menyebabkan arus mengarah ke sebelah timur pelabuhan sehingga memperparah abrasi di wilayah Ujung Gebang dan sekitarnya. Hal ini menyebabkan nelayan harus ke tengah lagi jika mau dapat ikan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Barat, Wahyudin mengatakan belum meriset dampak lingkungan atas pembangunan Pelabuhan Patimban. Tetapi Walhi sudah menerima pengaduan termasuk dari sejumlah nelayan di Dusun Genteng, Dusun Terungtum, dan Ujung Gebang.
“Rata-rata menyampaikan keluhan sama,” kata Wahyudi yang akrab disapa Iwank, Senin, 30 September 2024.
Iwank menjelaskan pihaknya menemukan proses perizinan pembangunan Pelabuhan Patimban tidak transparan dan partisipatif. Sedangkan dokumen land acquisition and resettlement action plan (LARAP) tak dijalankan.
Ia mengatakan perwakilan nelayan merasa tidak ada proses sosialisasi dan keterlibatan dalam perizininan. Kalau ada sosialisasi, prosesnya tidak menyeluruh, diberikan kepada bukan target sasaran, dan tidak tersampaikan secara utuh.
Para nelayan mengadukan kepada Walhi Jawa Barat, wilayah tangkapan ikan di Patimban dan akses ke wilayah tangkap terganggu. Mereka sudah mengadu ke pemerintah dan pihak yang membangun Pelabuhan Patimban tetapi diabaikan.
“Pemerintah yang tidak merespon itu sama dengan pelanggaran HAM. Banyak pelanggaran HAM dan pelanggaran lingkungan bermuara pada kesenjangan sosial,” ujarnya.
Agustus 2024 lalu, ia mengunjungi Patimban dan melihat ada pemasangan paku bumi, dan pengurugan di wilayah pesisir laut supaya bisa dibangun, dan tumpahan oli dan minyak. Semuanya berpotensi merusak ekosistem laut sehingga ikan-ikan yang biasa ditangkap para nelayan menjadi hilang.
Walhi mendesak pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Kesehatan agar melakukan riset mendalam soal dampak dari pembangunan Pelabuhan Patimban.
“Pemerintah harus punya tanggung jawab melakukan riset potensi pencemaran lingkungan. Bila perlu gaet akademisi supaya datanya scientific dan menjadi data informasi bersama,” tegasnya.
Iwank mengingatkan, dampak pembangunan pelabuhan Patimban bukan terbatas pada nelayan. Dampaknya juga menimpa perempuan, pegawai serabutan, dan kelompok tani.
Selanjutnya baca: Andal Pelabuhan Patimban
Kepala Dinas Perikanan Subang, Jawa Barat, Hendrawan memastikan pihaknya melakukan koordinasi dengan nelayan setempat soal pembangunan Pelabuhan Patimban. Soal sulitnya para nelayan mencari ikan setelah pembangunan dimulai, Hendra mengatakan antara lain karena faktor cuaca.
“Kami tidak tinggal diam. Kami memberikan pembinaan, penyuluhan soal keamanan laut, dan pelatihan pada para nelayan seperti pengolahan ikan menjadi ikan asin atau budidaya ikan,” kata Hendra.
Adapun pelatihan pengelasan diberikan pada nelayan agar mereka mendapat keahlian tambahan. Hendra mengatakan pemerintah telah berusaha agar pembangunan Pelabuhan Patimban tidak menurunkan penghasilan masyarakat.
Sayang, saat ini APBD Kabupaten Subang sedang defisit. Akibatnya, bantuan yang dikucurkan pada nelayan harus dikoordinasikan lagi dengan Kementerian Keuangan RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Patimban (KSOP), Mamuk Abduh menerangkan Direktorat Kepelabuhanan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan RI sudah mendapat izin lingkungan untuk membangun Pelabuhan Patimban. Dasarnya adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No SK 136/Menlhk/Setjen/PLA 4/2/2017 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan Pelabuhan Patimban di Desa Patimban, Desa Kalentambo, Desa Gempol, Desa Kotasari, Desa Pusakaratu, Kecamatan Pusakanagara, dan Desa Pusakajaya, Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Sedangkan adendum Izin Lingkungan berdasarkan pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No SK 120/Menlhk/Setjen/PLA 4/2/2022 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Kegiatan Pengembangan Pelabuhan Patimban di Desa Patimban, Desa Kalentambo, Desa Gempol, Desa Kotasari, Desa Pusakaratu, Kecamatan Pusakanagara, dan Desa Pusakajaya, Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Kepala bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Subang, Djamalluddin, pada 9 September 2024 mengakui pembangunan Pelabuhan Patimban juga berdampak terhadap masyarakat di sekitarnya. Hilir-mudik truk-truk pembawa bahan bangunan telah menimbulkan kemacetan dan jalan jadi rusak.
Dia mengatakan setiap pembangunan selalu menimbulkan pro dan kontra. Namun pengorbanan warga ini bakal terbayar atau sepadan dengan dampak positif dari pembangunan Pelabuhan Patimban. Contohnya, ada pertumbuhan lapangan kerja, pemerintah daerah minta 70 persen lapangan kerja diisi masyarakat sekitar dan 30 persen tenaga ahli bisa dari luar.
Optimisme Djamalluddin itu bertolak belakang dengan kesaksian warga Desa Patimban. Waslim mengatakan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pembangunan pelabuhan menetapkan standar pendidikan cukup tinggi, minimal pendidikan S1.
Padahal sebagian besar warga, khususnya Dusun Genteng adalah lulusan SMK. Sedangkan Agus, warga Dusun Terungtum hanya bekerja sebagai kuli bangunan di pembangunan pelabuhan. Statusnya karyawan kontrak, ia was-was bisa dilepeh setiap saat jika pembangunan rampung.
Pilihan editor: Setahun Perang Gaza: Israel Kian Ditinggalkan, Dukungan Dunia untuk Palestina Kian Besar