Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Diduga Tak Melalui Bipartit dan Tripartit, Partai Buruh Nilai PHK Ribuan Karyawan Sritex Ilegal

Presiden Partai Buruh menilai PHK terhadap ribuan karyawan PT Sritex adalah tindakan ilegal karena melanggar hukum. Diduga kemungkinan ada intimidasi

2 Maret 2025 | 17.46 WIB

Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, 28 Februari 2025. Antara/Mohammad Ayudha
Perbesar
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, 28 Februari 2025. Antara/Mohammad Ayudha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex adalah tindakan ilegal karena melanggar hukum. Said menyatakan hal itu sekaligus mewakili posisinya sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). “Partai Buruh dan KSPI menyatakan PHK terhadap karyawan Sritex sebanyak 8.400 orang adalah ilegal dan bertentangan dengan Undang-Undang,” ujar Said saat konferensi pers secara daring pada Ahad, 2 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Said, PHK karyawan Sritex melanggar UU Ketenagakerjaan baik yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Said memaparkan sejumlah alasan mengapa PHK oleh Sritex harus dikategorikan sebagai ilegal. Pertama, Said mempersoalkan mekanisme PHK terhadap ribuan karyawan Sritex yang tidak didahului oleh bipartit dan tripartit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Said menduga manajemen Sritex tak melakukan perundingan dengan pekerja saat memutuskan hubungan kerja. Ia mempertanyakan hasil notulensi jika perundingan sempat berlangsung. Terkait mekanisme tripartit, Said juga mengungkit tidak adanya pelibatan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Sukoharjo selama proses PHK. “Di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi, mekanisme PHK itu dimulai dengan bipartit."

Yang terjadi kata Said, perusahaan meminta setiap individu karyawan mendaftar untuk PHK. Padahal menurutnya, tidak ada PHK massal yang melalui mekanisme mendaftarkan diri. Sehingga ia menduga kemungkinan ada intimidasi jika ribuan buruh langsung setuju untuk di-PHK tanpa mekanisme bipartit maupun triparit. “Atau karyawan tersebut dibodoh-bodohi karena setuju tapi tidak dijelaskan tentang mekanisme PHK,” katanya.

Alasan kedua yang disebut Said mendasari dugaan PHK ilegal adalah ketidaan ruang bagi buruh yang menolak untuk di-PHK. Dari pengamatannya, Said menilai mantan karyawan Sritex cendurung patuh pada keputusan PHK. Padahal, kata Said, bila ada satu orang saja yang menolak PHK, maka itu bukanlah kesepakatan namanya.

Ia pun menuntut agar bukti perundingan baik bipartit maupun tripartite antara mantan karyawan dan perusahaan Sritex bisa dibuka untuk memastikan telah tercapai kesepakatan yang adil. Dengan begitu, Said menganggap buruh-buruh yang kini kehilangan pekerjaan bisa mendapat kepastian soal pesangon, jaminan kehilangan pekerjaan, hingga jaminan hari tua.

Oleh sebab itu, Said menyatakan akan membuka posko advokasi di depan pabrik Sritex untuk melindungi hak-hak buruh. “Posko akan menampung buruh yang tidak setuju dengan PHK, tidak setuju dengan nilai pesangon dan hak lain,” ujarnya.

Sebelumnya Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Sukoharjo Sumarno menyatakan karyawan Sritex berhenti bekerja mulai per 1 Maret 2025. Adapun Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group Slamet Kaswanto mengonfirmasi jumlah total karyawan dan pekerja Sritex yang kehilangan pekerjaan akibat putusan pailit, per Januari hingga 26 Februari 2025 sebanyak 10.665 orang.

Jumlah itu dari empat perusahaan Sritex Group, yakni PT Sritex Sukoharjo, PT Bitratex Semarang, PT Sinar Panja Jaya Semarang, dan PT Primayuda Boyolali. Keempat perusahaan yang bernaung di bawah Sritex Group itu diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang karena gagal membayar utang kepada kreditor. Vonis pailit jatuh setelah pemasok mereka, PT Indo Bharat Rayon, menggugat Sritex lantaran tak membayar utang.

Total utang Sritex saat itu mencapai Rp 26,02 triliun. Utang mereka ke Indo Bharat sendiri hanya Rp 101,31 miliar per Juni 2024 atau 0,38 persen. Namun keterlambatan pembayaran utang itu berakibat fatal setelah perusahaan mengikat homologasi dengan para kreditor, yang membuat mereka otomatis jatuh pailit. Sritex melawan vonis tersebut dengan mengupayakan banding. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Sritex pada 18 Desember 2024.

Adil Al Hasan berkontribusi pada penulisan artikel ini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus