Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Solo - Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo mengusulkan percepatan elektrifikasi transportasi publik di Kota Solo, Jawa Tengah. Kota Bengawan itu dinilai memiliki potensi besar untuk transisi ke transportasi ramah lingkungan sekaligus mendorong ekonomi hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ketua Tim Decarbonization National Eler Indonesia's Buses Infrastructure atau DIBI UNS Solo, Wahyudi Sutopo, elektrifikasi transportasi menjadi solusi kunci atas persoalan emisi gas rumah kaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sektor transportasi ternyata menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua di Indonesia, mencapai 23 persen. Dari 600 MtCO2-eq emisi sektor ini, 90 persen berasal dari angkutan darat," ujar Wahyudi saat ditemui di sela-sela acara CEO Talk #1 di kampus Fakultas Teknik UNS Solo, Selasa, 17 Desember 2024.
Dekan Fakultas Teknik UNS itu menyebut solusi elektrifikasi transportasi menjadi kunci. Dengan target adopsi 6.600 unit bus listrik sampai dengan tahun 2030, diperkirakan mampu menurunkan emisi hingga 24 persen atau setara 900.000 ton CO2-eq.
"UNS bekerja sama dengan University of Canberra dan National Electric Vehicle Buses of Excellence (NEVCE), Australia, melalui proyek Decarbonization National Eler Indonesia's Buses Infrastructure (DIBI), dibiayai KONEKSI dari Pemerintah Australia, mendorong percepatan elektrifikasi transportasi publik di Kota Solo," tutur Wahyudi .
Menurut Wahyudi, proyek DIBI tidak hanya menjawab kebutuhan elektrifikasi transportasi di Kota Solo, tetapi juga menjalankan nota kesepahaman kolaborasi kendaraan listrik antara Indonesia dan Australia, hasil KTT ASEAN-Australia 2024 di Melbourne.
Dalam Forum Group Discussion (FGD), Fakultas Teknik UNS melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti Dinas Perhubungan Kota Surakarta, PLN, Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo, pengelola TPA Putri Cempo, serta peneliti.
"Diskusi ini fokus pada potensi energi terbarukan dari PLTSa dan PLTS Terapung, serta mencari solusi menurunkan biaya elektrifikasi dengan teknologi dari UNS dan NEVCE untuk membangkitkan ekonomi hijau di Jawa Tengah," kata Wahyudi.
Ia mengatakan Kota Solo memiliki potensi besar untuk transisi ke transportasi ramah lingkungan sekaligus mendorong ekonomi hijau. Saat ini, dengan dukungan aplikasi Teman Bus, pelayanan Batik Solo Trans (BST) telah menjadi lebih efisien.
Pemerintah Kota Solo juga dinilai telah berhasil menunjukkan tata kelola transportasi yang kokoh dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat dengan pengoperasian lebih dari 100 armada di 12 koridor dengan subsidi BTS dari Kementerian Perhubungan.
"Wali Kota Solo dulu, Mas Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjadi wakil presiden, juga menekankan pentingnya transportasi umum yang aman, nyaman, dan inklusif, terutama bagi kelompok rentan seperti disabilitas, lansia, dan anak-anak," kata Wahyudi.
Namun untuk bermigrasi ke bus listrik, menurut dia, diperlukan dukungan investasi untuk pengadaaan bus, charging station, infrastruktur, serta pelatihan untuk tenaga kerja terampil, mulai dari pengemudi hingga operator yang menangani perawatan, pengisian daya, dan penjadwalan bus listrik.
Dengan kebutuhan daya 320 kWh per bus untuk satu kali pengisian harian, migrasi ini akan memerlukan lebih dari 37 MW. Kebutuhan daya ini dapat digunakan untuk menumbuhkan PLTSa dan PLTS Terapung, dan akselerasi teknologi penyimpanan energi yang dikembangkan oleh UNS.
"Kami memperhitungkan untuk 1 bus listrik butuh investasi sekitar Rp 3 miliar, maka kebutuhan dana untuk investasi sekitar 1,2 sampai Rp 1,6 triliun," katanya.
Untuk investasi itu, misalkan saja nanti hubungan Pemkot Solo dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan UNS semakin terjalin dengan baik, maka UNS akan mendorong agar pemerintah daerah itu untuk menjadikan program dan UNS akan memberikan teknologinya. Menurut dia, juga dimungkinkan untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan manufaktur yang lebih besar.
Selain itu, Kota Solo juga memiliki potensi dari sisi aglomerasi hingga upaya negosiasi kerja sama dua negara, yaitu Australia dan Indonesia. "Percepatan elektrifikasi ini secara singnifikan dapat meningkatkan gairah ekonomi hijau, menciptakan lapangan kerja baru, dan membangun ekosistem bisnis elektrifikasi lokal yang berkelanjutan di Solo," kata Wahyudi.
Toby Roxburgh selaku Chair & Co-founder NEVCE, menggarisbawahi tiga sudut pandang utama revolusi elektrifikasi, yakni manfaat bagi manusia (kualitas hidup), lingkungan, dan biaya. la menjelaskan bahwa sebelumnya listrik dihasilkan dengan polusi dan biaya tinggi, tetapi kini tenaga surya dan baterai menawarkan solusi yang jauh lebih terjangkau, dan Indonesia memiliki potensi tenaga surya yang melimpah.
"Mengapa dimulai dari bus listrik? Bus memiliki rute tetap, yang memudahkan pengembangan jaringan baterai surya untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga batu bara," ujar dia.
Selain itu, bus mendukung pengurangan kemacetan, meningkatkan inklusi sosial (gender equity, disability, and social inclusion/GETSI), dan memberikan manfaat bagi semua kalangan. Namun, tantangannya adalah membuat bus menarik agar masyarakat lebih memilih transportasi umum dari pada membeli kendaraan listrik pribadi.