Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia kini tengah menggarap megaproyek food estate atau lumbung pangan di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Terdapat dua proyek lumbung pangan yang sedang digarap di wilayah paling timur Indonesia itu. Keduanya adalah cetak sawah yang diampu oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan perkebunan tebu terpadu yang diawasi langsung oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak tanggung-tanggung, dua megaproyek lumbung pangan itu digarap di atas lahan seluas 2,29 juta hektar atau 70 kali luas Jakarta. Dari jumlah itu, seluas 1,11 juta hektare lahan dimanfaatkan untuk membuka perkebunan tebu terpadu, mulai dari kebun tebu, pabrik gula, hingga pabrik bioetanol. Sedangkan, 1,18 juta hektare lahan lainnya digunakan untuk cetak sawah padi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, klaim yang diberikan pemerintah untuk membangun food estate ini adalah guna mewujudkan swasembada beras pada 2027, serta memenuhi kebutuhan gula dan pabrik bioetanol setahun kemudian.
Sebenarnya, Presiden Jokowi telah memerintahkan sejumlah kementerian untuk mengantisipasi ancaman krisi pangan, dengan membangun lumbung pangan sejak 2020 lalu. Namun, proyek food estate di Merauke untuk Kementerian Pertahanan, yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, baru berjalan empat tahun kemudian, yakni pada 2024.
Penggarapan lumbung pangan itu seiring dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 835 tentang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan seluas 13.540 hektare pada 12 Juli 2024.
Berdasarkan laporan Majalah Tempo berjudul “Proyek Food Estate Merauke Belum Punya Amdal. Kok Bisa?,” bermodal keputusan itu konglomerat asal Kalimantan Selatan, Andi Syamsuddin Arsyad atau yang akrab disapa Haji Isam, membuka hutan di Merauke untuk membuat sawah. Tetapi, pembukaan hutan itu ternyata menyisakan masalah.
Dua pejabat di KLHK bercerita, proyek lumbung pangan di Merauke belum memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Padahal, setiap kegiatan yang berada di dalam atau berbatasan dengan hutan lindung wajib memiliki amdal sebelum dimulai. Ketentuan itu tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
“Kami tak mungkin menolak karena bisa mengganggu kesinambungan investasi,” ucap Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Hanif Faisol Nurofiq.
Meski begitu, Hanif menambahkan, kegiatan awal yang masih berada di hutan produksi cukup menggunakan dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL). Dia pun mengatakan, sembari proyek berjalan, Kementerian Pertahanan menyusun dokumen amdal.
Tetapi, apabila menilik Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, disebutkan jika UKL-UPL hanya digunakan untuk kegiatan di perbatasan hutan lindung serta tak berdampak penting terhadap lingkungan. Sedangkan, pembukaan lahan untuk proyek food estate berarti akan membabat hutan untuk lahan baru.
Tak hanya di proyek food estate cetak sawah, tim Hanif juga terlibat dalam urusan swasembada gula di Merauke. Dipimpin PT Perkebunan Nusantara Group, rombongan KLHK bersama perwakilan Perhutani dan Sugar Co, anak usaha PT Perkebunan Nusantara Group, menggelar survei calon lokasi perkebunan tebu di eks Merauke Integrated Food and Energy Estate atau MIFEE pada Oktober 2023.
Direktur Hubungan Kelembagaan dan Manajemen Risiko Sugar Co Aris Toharisman, yang ikut dalam rombongan, mengatakan iklim di area Merauke cukup cocok untuk budi daya tebu.Namun, dia menerangkan, tingkat kesuburan tanah di Merauke terbilang rendah. Selain itu, Aris mengatakan sistem pembuangan air bermasalah sehingga butuh investasi untuk memperbaikinya.
“Apabila tidak terdapat insentif dan intervensi pemerintah untuk penyediaan infrastruktur, dari sisi bisnis, kebun tebu di Merauke tidak layak.”
Berita lengkap bisa dibaca di Proyek Food Estate Merauke Belum Punya Amdal, Kok Bisa?
Erwan Hermawan, Daniel A. Fajri, Avit Hidayat, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.