Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Janji Tak Mematikan UMKM TN Komodo, Yozua Makes: Saya Sudah Seperti Orang Labuan Bajo

CEO Plataran Indonesia, Yozua Makes berjanji tidak mematikan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Taman Nasional (TN) Komodo.

6 Agustus 2022 | 09.01 WIB

Yozua Makes. plataran.com
Perbesar
Yozua Makes. plataran.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - CEO Plataran Indonesia, Yozua Makes berjanji anak perusahaannya, PT Segara Komodo Lestari (SKL) tidak akan mematikan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di sekitar Taman Nasional (TN) Komodo. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ia bercerita, sebelum SKL menjadi bagian dari perusahaannya, ada 24 proyek yang direncanakan di Pulau Rinca. Meski sudah mendapat Izin Usaha Pengusahaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) sejak 17 Desember 2015, pembangunannya tak kunjung dimulai lantaran terus menerus ditentang masyarakat sekitar. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lalu meminta SKL menghentikan proses pembangunan. Adapun izin konsesi lahan dikantongi SKL seluas 22,1 hektare.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Karena terus ditentang masyarakat, pemilik SKL, David Makes yang saudara Yozua berkonsultasi padanya. Saat mengevaluasi rencana bisnis SKL satu hingga lima tahun ke depan, kata Yozua, ia langsung mengerti penyebab permasalahan yang dihadapi perusahaan itu.

Menurutnya, pembangunan 24 proyek memang tidak dimungkinkan. Pembangunan yang meliputi hotel, visitor center, restoran, mes karyawan, mushala, hingga klinik kesehatan, menurut dia, memang berlebihan.  

"Setelah saya lihat, saya hampir seperti orang Labuan Bajo saya mencoba merasa menjadi masyarakat," ucap dia saat ditemui Tempo di kantor Plataran Indonesia pada Jumat, 5 Agustus 2022. 

Ia mengklaim sebagai pionir di Labuan Bajo sebab ikut andil membangun kawasan tersebut sebelum ditetapkannya taman nasional sebagai tujuh keajaiban dunia. Karena itu, ia merasa memahami masyarakat Labuan Bajo. "Jadi saya coba lihat karena saya punya kepentingan bahwa Labuan Bajo itu tetap alamnya dijaga," kata Yozua. 

Kemudian ia mengaku langsung menemui masyarakat Pulau Rinca untuk mendengarkan aspirasi mereka. Akhirnya Yozua memutuskan memasukkan SKL ke dalam grup perusahaannya. Setelah mengevaluasi rencana bisnis SKL, Yozua memangkas jumlah proyek menjadi sembilan, tanpa hotel.

Klaim Rangkul UMKM Sekitar

Proyek itu juga dibangun secara bertahap lantaran menghindari munculnya penolakan masyarakat Pulau Rinca. "Karena all about Taman Nasional Komodo itu sosialisasi. Itu penting. Jadi kita ga bisa breg bangun. Ini teorinya kita loh. Saya gak menghakimi pemerintah atau orang lain," tuturnya. 

Karena merasa dekat dengan masyarakat Pulau Rinca, Yozua membantah pembangunan SKL akan mematikan usaha para pelaku UMKM sekitar. Ia menjelaskan usaha yang dia bangun bersifat komplementer atau melengkapi pembangunan yang dilakukan pemerintah, sehingga tak mungkin bersaing dengan UMKM. 

"Saya tidak boleh menjadi kompetitor dari apa yang dibangun pemerintah. Masyarakat ataupun siapa pun, tidak boleh. Kita ini hanya menjadi sarana pelengkap. Jadi gaboleh terlalu gigantic," ucapnya. 

Konsep komplementer yang ia usung berupa kemitraan agar pelaku UMKM di Pulau Rinca tak kehilangan pendapatan. Ia mencontohkan jika ada koperasi di sana yang menjual produk air minum kemasan seharga Rp 10 ribu, ia tak akan menjual dengan harga yang sama atau lebih murah. Melainkan ia akan menjual dengan harga lebih tinggi namun dibarengi fasilitas tambahan yang bisa dinikmati konsumen. 

"Untuk orang yang duitnya ngepas beli ke koperasi. Jadi yang mau sambil foto-foto bagus itu ke kita. Jadi itu komplementer," tutur Yozua. 

Konsep tersebut, tuturnya, yang selalu dijalankan Plataran Indonesia. Seperti proyek di Gelora Bung Karno (GBK) kata dia, UMKM dibiarkan hidup agar pengunjung seperti supir ojek bisa menikmatinya. "Beda kita yang mahal," katanya. 

SKL juga akan mengusung tata ruang yang terbuka berupa viewing deck sehingga bisa diakses publik. Ia menuturkan masyarakat bisa lewat di lahan milik SKL dan hanya perlu bayar kalau memesan makanan. Yozua tak keberatan karena menurutnya lokasi yang ia miliki paling cantik dan strategis karena dekat dengan dermaga. 

"Kalo saya egoistik saya pagerin tapi tidak ada pagar, masyarakat bisa lewat," ucapnya. Yozua mengungkapkan dirinya ingin wisatawan internasional, lokal, hingga tamu negara memiliki tempat yang pantas ketika berkunjung di Pulau Rinca. 

Pembangunan di Pulau Rinca menurutnya boleh saja tidak merusak lingkungan asalkan harus memiliki ikon agar menarik para wisatawan untuk berkunjung.

RIANI SANUSI PUTRI 

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus