Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Tenggarong - Kalangan petani mengeluhkan diberlakukannya kebijakan pemerintah melarang ekspor minyak sawit dan turunannya per 28 April 2022 lalu. Mulai saat itu, ekspor CPO, minyak goreng, Refined, Bleached, and Deodorised (RBD) palm oil, dan RBD palm olein resmi dilarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Salah satunya keluhan itu disampaikan oleh petani sawit di Kalimantan Timur, Wisnu Ponco Wisudo. "Sepekan sebelum Lebaran, kami sudah tidak bisa panen sawit. Tidak ada pengepul yang mau beli lagi," ujarnya, di Marangkayu, Kutai Kartanegara, Jumat, 6 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ia menyatakan, walaupun kebijakan pemerintah tersebut bertujuan baik untuk meningkatkan ketersediaan dan menurunkan harga minyak goreng di pasar lokal, tapi malah memukul petani.
Akibatnya, beberapa tandan buah sawit atau TBS yang sudah sempat dipanen rusak karena tidak terjual. Sejumlah kebutuhan Lebaran yang rencananya dibeli untuk anak dan istri terpaksa dibatalkan karena tak ada hasil penjualan sawit.
Petani sawit lainnya, Kalimantoro, di Muara Badak, juga menyampaikan hal serupa. Tak hanya kehilangan kesempatan mendapatkan uang untuk berlebaran, bahkan setelah Lebaran ini pun, dia harus memutar otak untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya jika larangan ekspor tidak segera dicabut.
Ia berharap aturan itu bisa segera dicabut. "Atau diatur lebih baik lagi agar minyak goreng dalam negeri aman dan kami bisa menjual hasil sawit kami. Tidak seperti sekarang ini," tutur Kalimantoro.
Lebih jauh ia bercerita bahwa sebelum pengepul berhenti membeli sawit, harga beli Tandan Buah Segar (TBS) anjlok drastis menjadi sekitar Rp 1.800 per kilogram. Padahal, sebelum adanya kabar larangan ekspor sawit itu, harga TBS bisa mencapai Rp 2.900 per kilogram di tingkat pengepul di desa-desa.
Adapun, salah seorang pengepul sawit di Marangkayu, Hary Setiawan, mengaku tak lagi bisa membeli sawit karena tidak ada pengusaha yang mau membeli sawit. Hal ini terjadi sejak adanya larangan ekspor tersebut.
"Biasa saya kirim ke Muara Badak. Tapi sekarang mereka tidak terima barang. Tentu saya gak mau ambil risiko," ucap Hary. "Kalau tidak terjual sawit akan rusak. Beda dengan karet."
Serupa dengan para petani, para pengepul sawit juga berharap ekspor kembali diizinkan oleh pemerintah. Dengan begitu, sawit bisa kembali dikirim ke luar negeri dan banyak pihak bisa kembali mendulang rezeki dari produk sawit itu.
ANTARA
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.