Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama menyebut kereta rel listrik atau KRL semakin padat. Menurutnya, permasalahan ini akan menjadi bom waktu bila tak segera diatasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kamis pagi, kereta commuter line (KRL) mengalami gangguan prasarana wesel di emplasemen Stasiun Manggarai. Gangguan ini menimbulkan ketidaknyamanan pengguna KRL karena penumpang yang sudah menumpuk harus menunggu selama 20 menit, kemudian harus berpindah dari Peron 7 ke Peron 4,” kata Suryadi lewat keterangan resminya, Kamis 4 April 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dia menilai kejadian tersebut menjadi puncak gunung es keresahan pengguna KRL yang sehari-hari berdesak-desakan karena kapasitas kereta yang tak memadai. Lebih lanjut, dia menyebut hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang tidak merekomendasikan impor kereta bekas dari Jepang menambah keresahan pengguna KRL.
“FPKS (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) memperingatkan bahwa masalah ini jika tidak segera diatasi oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), maka akan menjadi bom waktu yang dapat meledak dalam waktu dekat,” ujar Suryadi.
Suryadi menjelaskan, kapasitas angkut KRL Jabodetabek saat ini mencapai 1,2 juta penumpang per hari. Sedangkan untuk melayani 1.081 perjalanan per hari, termasuk rute pengumpan, KCI membutuhkan minimal 96 rangkaian kereta. Sementara 10 unit kereta harus pensiun tahun ini.
“FPKS menyesalkan KCI lambat mengantisipasi hal ini, diperparah dengan permohonan persetujuan impor KRL eks Jepang pada bulan Januari 2023 ditolak oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) karena tidak memenuhi syarat minimal tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan KCI harus membeli produk dalam negeri dari PT Industri Kereta Api (INKA),” ungkap politikus PKS ini.
Lebih jauh, dia mengatakan PKL mengusulkan agar Pemerintah memberlakukan relaksasi TKDN sehingga KCI dapat segera mengimpor KRL eks Jepang. Minimal, kata dia, untuk sementara sampai selesai produksi dari INKA pada 2025.
“Kepentingan masyarakat pengguna KRL harus menjadi prioritas nomor satu. Jika rangkaian kereta berkurang, masa tunggu antar kereta berpotensi semakin lama, berimbas stasiun dan kereta akan menjadi semakin padat dan semrawut dengan penumpukan lebih dari 200 ribu penumpang per hari,” papar Suryadi.
Hal tersebut akan membuat masyarakat beralih ke kendaraan pribadi atau moda transportasi lain yang makin menambah kemacetan di jalan dan polusi udara. Suryadi bahkan menyinggung fenomena karyawan yang resign dari pekerjaannya karena enggan transit di Stasiun Manggarai.
“Siapa yang harus bertanggung jawab atas kejadian hal ini? KCI, INKA atau Kemenperin?” ungkapnya.
Selanjutnya: Jumlah penumpang akan naik 2 juta ...
Sementara itu, Suryadi menilai 2023 hingga 2024 akan menjadi fase transisi. Tahun 2025 diperkirakan jumlah penumpang makin meningkat mencapai 2 juta orang per hari dan kereta pesanan KCI produksi INKA sudah selesai.
“Penuhnya kapasitas pabrik Madiun dan belum rampungnya pembangunan pabrik di Banyuwangi sampai Maret 2023 lalu membatasi kemampuan INKA. Selama 2 tahun ke depan, INKA harus dapat menjawab keraguan berbagai pihak terhadap kualitas produknya,” tutur Suryadi.
INKA, kata dia, dinilai belum cukup siap jika didorong untuk memproduksi rangkaian kereta berpenggerak. Artinya, baru sekadar mampu memproduksi gerbong kereta kosong. Menurut Suryadi, itu pun dikeluhkan banyak yang retak.
“Kereta berpenggerak buatan INKA memiliki track record sempat bermasalah dalam tahap uji coba. Seperti LRT yang mengalami tubrukan, bahkan teranyar Kereta Makassar-Parepare juga mengalami kegagalan dalam menanjak saat uji coba,” beber Suryadi.
Selain itu, lanjut dia, dengan banjirnya pesanan dari PT KAI, KCI, dan berbagai negara seperti Bangladesh, Filipina, Afrika, dan Taiwan, INKA juga harus memetakan rantai pasok dari produksi keretanya mulai material seperti baja dan stainless steel, sampai penggeraknya seperti propulsi dan coupler.
“Jangan sampai masih impor juga. Sejumlah komponen yang harus diimpor dari Eropa akan memakan waktu lebih lama sehingga dapat membuat waktu produksi menjadi molor,” ujar Suryadi.
Lebih jauh, Suryadi mengatakan partainya mengusulkan INKA menjadi anak perusahaan KAI agar kontrol kualitasnya bisa lebih bagus dan kinerjanya lebih baik. Apalagi, kata dia, KAI saat ini menjadi pemesan kereta terbanyak dari INKA.
“Dengan adanya fase transisi dengan opsi relaksasi TKDN untuk impor KRL eks Jepang selama tahun 2023-2024 berbarengan dengan produksi KRL oleh INKA sampai tahun 2025, FPKS memastikan tak akan ada lagi ketergantungan terhadap impor setelahnya,” tuturnya.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.