Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicolas Mandey menduga kondisi industri retail saat ini, yang tengah dalam tahap pemulihan, turut memukul sejumlah perusahaan. Hal tersebut pula yang terjadi pada Lotus Department Store, yang akhirnya berencana menutup gerainya di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, akhir bulan ini.
Roy menjelaskan, industri retail pada semester satu tahun ini tumbuh tak sampai 4 persen atau hanya sekitar 3,75 persen. Merespons hal itu, para pengusaha retail hingga kini terus berjuang menggenjot performanya, misalnya dengan meninjau ulang lokasi penjualan. "Lokasi ini hal utama yang diperhatikan saat pertama kali membuka lokasi retail,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Selasa, 24 Oktober 2017.
Baca: Lotus Department Store Dikabarkan Tutup, Toko Diserbu Pembeli
Menurut Roy, peninjauan ulang tersebut terkait dengan ketersediaan konsumen dan pasar di lokasi department store. Ia menjelaskan, jika konsumen di sekitar lokasi mal sudah jenuh dan tidak signifikan, seharusnya manajemen memindahkan toko.
Selain itu, kata dia, industri retail saat ini berencana menambah serta mengurangi format department store. Pengurangan atau penambahan tersebut akan mengikuti kebiasaan dan gaya hidup pelanggan.
Terkait dengan penutupan Lotus Departement Store yang dikelola PT Mitra Adiperksa Tbk (MAP), Roy mengaku baru mendengarnya dari media. Hingga saat ini ia mengaku belum mendapat pernyataan resmi dari MAP. “Memang benar MAP merupakan anggota kami (Aprindo), tapi hingga saat ini belum ada pernyataan resmi terkait dengan isu penutupan gerai Lotus Department Store,” tuturnya.
Sebelum Lotus, tercatat sejumlah retail mengurangi sejumlah gerainya hingga menutup bisnisnya pada tahun ini. Sejumlah nama retail yang menutup gerainya adalah 7 Eleven, Matahari, Hypermart, dan Ramayana.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro sebelumnya menyatakan ditutupnya sejumlah gerai retail belakangan ini tak serta-merta menunjukkan daya beli masyarakat yang melemah. Sebab, menurut dia, yang terjadi saat ini adalah perubahan pola konsumsi masyarakat, dari jual-beli konvensional menjadi jual-beli online.
“Kalau saya dalami, itu (daya beli turun) tidak sepenuhnya benar. Tapi pola konsumsi masyarakat sudah berubah, dari yang sebelumnya datang ke toko, warung, atau mal, menjadi online,” kata Bambang di Balai Sarwono, Jakarta Selatan, pertengahan September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini