Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mencari Tuan Di Negeri Minyak

Pro dan kontra soal TKW di Arab Saudi. Sudomo membantah sinyalemen Lukman Harun tentang nasib buruk buruh wanita Indonesia. Banyak perusahaan dan penyalur tenaga kerja yang tidak mendapat ijin. (eb)

2 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN Madura berusia 32 tahun itu berkali-kali bertepuk tangan dan wajahnya memancarkan keriangan. Itu dilakukannya setiap Menteri Sudomo - dalam pidatonya ketika meresmikan Balai Pendidikan dan Latihan untuk tenaga kerja yang akan ke Arab Saud Senin pekan ini - membantah sinyalemer Lukman Harun dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Lukman, ketika kembali dari umrah akhir bulan lalu, menyatakan bahwa 80% buruh wanita Indonesia di Arab Saudi diperlakukan buruk. Syarifah, janda dua anak, satu dari sekitar 70 tenaga kerja wanita yang dilatih oleh Balai baru itu, tak percaya "itu cuma fitnah," katanya. "Saya siap berangkat demi masa depan anak-anak saya." Menteri Sudomo mendapat dukungan, tak hanya dari Syarifah. Sebab, dalam peresmian Balai milik dua perusahaan penyalur tenaga kerja itu hadir pula Abdullathif, konsul Arab Saudi di Jakarta. "Saudara-saudaraku tak usah takut. Negeri kami adalah negeri kedua Saudara," kata Abdullathif dalam bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan seorang staf kedubes Arab Saudi ke dalam bahasa Indonesia. "Kami tentu akan melindungi Saudara-Saudara." Pro dan kontra soal tenaga kerja wanita ini memang ramai. Sinyalemen Lukman Harun memang tak cukup didukung data, terutama tentang jumlah yang 80% itu. Tapi memang ada satu dua kisah sedih yang dibawa Lukman. Tak ayal, masalah ini, yang menyangkut martabat wanita Indonesia dan juga menyinggung hubungan dua negara bukan soal main-main. Majelis Ulama Indonesia pekan ini merecanakan bertemu Menteri Sudomo, antara lain membicarakan soal buruh wanita di Arab Saudi itu. Lukman boleh jadi tak punya data. Tapi dari sinyalemen ketua Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah itulah terangkat sejumlah keluhan tentang nasib buruk yang sebenarnya sudah ada. Misalnya seorang Kiai pengasuh sebuah pesantren di Jember yang tak mau disebut namanya, April lalu menemui Menteri Emil Salim. Sang Kiai membawa surat dari salah seorang rekannya di Jember. Surat itu dari Ryadh, ibu kota Arab Saudi, tertanggal 7 Maret 1984, ditulis oleh anak Kiai itu. Antara lain berbunyi: "Ayah, saya minta tolong. Di Ryadh ada masalah tentang pekerjaan. Semua orang Indonesia menyesal terutama yang membawa istri dikarenakan perbuatan/pekerjaan yang tak terukur sukarnya." Lalu surat yang ditulis oleh suami berusia 23 tahun itu, yang berangkat ke Ryadh bersama istrinya Desember tahun lalu, bercerita bagaimana mereka di negeri orang itu tak memperoleh perlindungan. Mereka, suami-istri, bekerja dari menjelang subuh hingga pukul 24.00 tanpa istirahat selain untuk salat dan makan. Seorang anggota kepolisian yang bertugas di lapangan terbang Halim Perdanakusuma, pun punya cerita. Tiap Selasa dan Jumat pada hari pesawat dari Jeddah mendarat, Pak Polisi sering kali menjumpai pemandangan yang menimbulkan belas kasihan. Yakni sejumlah perempuan muda, berkerudung, baru turun dari pesawat, tampak murung dan bingung. Polisi itu tak ingat lagi kapan pertama kali pemandangan itu dijumpainya. Kemudian ia tahu, mereka itu pembantu rumah tangga yang pulang dari Arab Saudi. "Saya sudah sering terpaksa mengantarkan mereka yang kebingungan ke Pulogadung, ke terminal bis," cerita Pak Polisi, pekan lalu. Kebanyakan pembantu rumah tangga itu berasal dari daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Konon, ia pun sempat mengantarkan seorang bekas pembantu rumah tangga yang sudah agak hilang ingatan, padahal ia membawa uang klra-kira tiga ribu dolar," tambahnya. Dari paspor perempuan itu, ia tahu alamatnya, lantas diantarkannya ke Pulogadung untuk dititipkan pada sopir bis. Sebenarnya, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab Saudi bukan baru-baru ini saja adanya. Sudah sejak zaman penjajahan Belanda, menurut Abdul Malik M. Aliun, wakil ketua IMSA, banyak juga orang Indonesia yang pergi haji atau umrah kemudian menetap dan bekerja beberapa lama di Tanah Suci. Ini umumnya dilakukan kaum lelaki. Tapi memang baru setelah Arab Saudi mengalami boom minyak, 1974, kebutuhan tenaga kerja di sana meningkat. Dalam pengiriman tenaga kerja yang dikoordinasikan dengan baik, justru Indonesia tampaknya ketinggalan. Pada 1976 seorang pengusaha permukiman di Jakarta mengunjungi Arab Saudi. Di sana, katanya, sudah mengalir deras tenaga kerja dari Filipina, Korea Selatan, Pakistan, Muangthai, dan Sri Lanka. Orang itu, Saleh Alwaim, kemudian mengadakan kerja sama dengan perusahaan Saudi, Alrajhi Co., dan kembali di Indonesia mendirikan PT Mercu Binawan - terhitung perusahaan penyalur tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi yang pertama. Tahun itu Mercu Binawan mengirimkan 240 tenaga kerja (pria) untuk bidang pertanian dan perbankan. Pengiriman pertama secara resmi ini, dengan paspor kerja seizin Departemen Tenaga Kerja, lancar. Tapi tahun berikutnya Saleh tak mendapatkan izin untuk mengirimkan sekitar 20 tenaga kerja wanita sebagai pembantu rumah tangga. Entah karena sudah telanjur berjanji kepada perusahaan yang di sana, entah karena keuntungannya memang besar, terpaksa Mercu Binawan mengirimkan mereka dengan visa umrah. Sejak itu, menurut Saleh Alwaini, insinyur mesin dari UI itu, banyak bermunculan calo-calo tenaga kerja untuk Arab Saudi. Tentu saja, mereka itu mengirimkan tenaga kerja tidak lewat pemerintah, dan hanya membekali calon tenaga kerja itu dengan visa umrah. Kesemrawutan ini menyebabkan beberapa orang, antara lain Syahrul, ketua Biro Tenaga Kerja Khusus ke Timur Tengah, dan sejumlah perusahaan penyalur tenaga, melahirkan IMSA (Indonesian Manpower Supplier Association, gabungan badan pengerah tenaga kerja Indonesia) pada 10 September 1981. Dari 36 perusahaan penyalur tenaga kerja, 34 di antaranya tergabung dalam IMSA. "Tapi hanya 12 perusahaan yang mendapat izin menyalurkan tenaga kerja laki-laki dan perempuan," kata Abdul Malik M. Aliun, wakil ketua IMSA. Kurang jelas mengapa hanya 12 perusahaan penyalur tenaga kerja yang diizinkan mengirimkan tenaga kerja wanita. Dalam peraturan dari Departemen Tenaga Kerja, bagi perusahaan yang ingin menyalurkan tenaga kera wamta disyaratkan mampu menyelenggarakan latihan keterampilan yang dibutuhkan, mengajarkan adat-istiadat Arab, dan bahasa Arab dasar. Dan perusahaan itu pun harus punya perwakilan di Arab Saudi. Adapun tenaga kerja wanita yang boleh dikirimkan ke negeri minyak itu berusia 23-40 tahun. Agaknya, belum semua perusahaan memiliki penampungan untuk latihan. Bahkan hingga Maret yang lalu ada tiga perusahaan penyalur tenaga kerja dicabut izinnya. Kesalahan mereka, antara lain, memungut uang dari calon, kontrak kerja yang tak beres. Munculnya banyak perusahaan penyalur, baik dengan izin maupun yang liar, bisa dimaklumi. Keuntungan perusahaan yang diperoleh cukup besar. PT Mercu Binawan, misalnya, memungut US$ 300 per kepala tenaga kerja wanita dari US$ 1.300, harga yang harus dibayar majikan di Saudi sana. Untuk tenaga kerja laki-laki, perusahaan ini memungut US$ 100 dari US$ 800. Ongkos untuk buruh wanita lebih mahal, karena perusahaan harus mengadakan semacam latihan dan biasanya berlangsung selama dua minggu. Dari perhitungan itu, Mercu Binawan yang mulai beroperasi sejak 1976 kini sudah mempunyai asrama khusus untuk menampung tenaga kerja wanita di kawasan Gondangdia Lama,Jakarta Pusat, seharga Rp 190 juta. Dan di kantornya terlihat empat komputer Apple, "Untuk mencatat data tenaga kerja yang saya kirim ke Arab Saudi," kata Saleh. Hingga pekan lalu, Mercu Binawan telah mengirimkan sekitar 8.000 tenaga kerja, 2.000 di antaranya tenaga kerja wanita. Yang menarik yakni cara perusahaan penyalur tenaga kerja mencari calon yang mau dikirim ke Arab Saudi. Menurut ketentuan Departemen Tenaga Kerja, pihak penyalur harus mengambil tenaga kerja yang sudah terdaftar dl kanwil-kanwil Departemen Tenaga Kerja. Ini agar pemerintah gampang melakukan kontrol terhadap para penyalur liar. PT Almas, Jakarta, misalnya, mengaku selalu meminta calon tenaga kerja dari kanwil-kanwil Departemen Tenaga Kerja di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. PT Almas, yang berdiri pada 1979 ini, hingga sekarang sudah mengirimkan sekitar 5.000 tenaga kerja, 1.000 di antaranya wanita. Meski sudah ada seleksi, menurut Ny. Intan Abdullah, direktris perusahaan itu, masih ada sekitar 50 tenaga kerja yang balik sebelum kontrak habis. Tak dijelaskan berapa tenaga laki-laki dan berapa wanitanya. "Pada umumnya, yang pulang itu karena rindu rumah atau tak kuat dengan udara panas di sana," tutur ibu dua anak ini. Untuk seleksi, PT Almas hanya mengadakan tes keterampilan. Misalnya tes mengemudi untuk calon pengemudi. Tenaga kerla wamta yang melamar ladl perawat dilihat pengalaman kerjanya. Tapi, ternyata, dari 1.000 tenaga kerja wanita, sedikit sekali yang perawat. Sebagian besar jadi pembantu rumah tangga. Dan yang terakhir ini praktis tanpa tes. Asal memenuhi persyaratan umur, ada surat izin dari orangtua, atau suami bagi yang sudah berkeluarga, bisa baca tulis, cukup. Tapi, keuntungan yang menggiurkan anaknya tetap menyebabkan munculnya ekses kurang baik Anak kiai dari pesantren di Jember yang telah disebutkan, misalnya, yang berkirim surat Lepada bapaknya sampai di Ryadh resminya memang atas nama PT Mercu Binawan. Tapi ia mendaftarkan diri bersama istrinya lewat PT Telaga Kastoba, Sumenep, Madura, yang ternyata tak punya izin menyalurkan tenaga kerja ke Arab Saudi. P Telaga sebenarnya hanya punya izin untuk mengirimkan tenaga kerja ke Malaysia. "Kami mendapat komisi dari Mercu Binawan," kata orang di PT Telaga. Di samping itu, untuk ongkos makan dan transpor ke Jakarta PT Telaga masih memungut Rp 50.000 dari calon tenaga kerja. Pihak PT Mercu Binawan, dalam soal itu, tak memberikan komentar. Saleh Alwaini hanya menyebutkan, tenaga kerja yang dikirimnya ada sekitar 10% yang pulang sebelum kontrak habis. "Tapi sekarang sudah turun hanya sekitar 5%," katanya. Dan ia berterus-terang, "Sekitar 3% karena rindu tanah air, sisanya memang mendapat perlakuan buruk dari majikan." Menurut Abdul Malik dari IMSA akhir-akhir ini permintaan tenaga kerja wanita memang meningkat. Tahun lalu saja, katanya, dari 20 tenaga kerja yang dikirim, separuhnya adalah wanita. Tak jelas sebabnya, karena perusahaan penyalur di sini, menurut IMSA, hanya memenuhi permintaan dari perwakilan atau kompanyonnya masing-masing di Arab Saudi. Menurut Abdul Malik pula, tahun ini Indonesia diharapkan bisa mengirimkan sekitar 100.000 tenaga kerja, dan lebih dari setengahnya adalah tenaga kerja wanita. Dari Januari lalu tercatat 34 perusahaan yang tergabung dalam IMSA, masingmasing rata-rata mengirimkan 200 tenaga kerja per bulannya. Menurut konsul Arab Saudi, Abdullathif, kedubesnya tiap hari mengeluarkan sekitar 200 visa. Toh, dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja di Arab Saudi yang datang dari negara lain, Indonesia tetap kalah. Menurut pihak KBRI di Jeddah, kini ada sekitar 80.000 tenaga kerja dari Bangladesh 200.000 dari Filipina, 200.000 dari Muangthai, 100.000 dari India, dan sekitar 250.000 dari Pakistan. Celakanya, justru tenaga kerja wanita yang dari Indonesia hampir seluruhnya menurut KBRI di Jeddah, jadi pembantu rumah tangga. Hanya sedikit yang jadi perawat dan pengasuh anak. Barangkali karena itulah Menteri Sudomo akhir-akhir ini sering mengatakan, "Pramuwisma bukan pekerjaan hina. Pekerjaan itu asal halal, ya, mulia." Yang jelas, tenaga kerja yang di luar negeri memang memasukkan devisa. Tahun lalu masuk sekitar US$ 48 juta. Tahun ini diharapkan meningkat menjadi US$ 200 juta - menurut buku Pelita Keempat. Memang kecil dibandingkan devisa dari minyak yang sekitar US$ 11 milyar pada 1983 itu. Tapi lumayan. Tampaknya, pro kontra pengiriman buruh wanita ke Arab Saudi saa. ini tidak mengurangi jumlah peminat. Beberapa wartawan TEMPO yang sempat meninjau ke beberapa penampungan tenaga kerja wanita melihat, umumnya mereka tampak ceria dan optimistis. Rupanya, kabar-kabar buruk yang mereka dengar tak dipersoalkan benar. Pun, surat perjanjian kerja yang mereka teken, rupanya tak begitu diperhatikan. Padahal, surat perjanjian sebelas pasal itu sungguh membuat lemah kedudukan mereka. Misalnya, tak disebutkan perincian pekerjaan yang mesti dilakukan. Hanya disebutkan, calon harus menaati segala ketentuan serta tata cara yang berlaku sesuai dengan ajaran agama Islam. Karena itu, sulit membuat tuntutan bila majikan Arab Saudi menyuruh pembantu Indonesia bekerja tanpa istirahat dari subuh hingga tengah malam. Tapi, sebaliknya, bila si pembantu bertingkah, ada ancaman pada pasal XI. Yakni harus mengembalikan semua ongkos yang telah dikeluarkan majikan, termasuk harga tiket pulang pergi dan beaya paspor. Jadi, tak jelas bagaimana 280 kasus dari 287 kasus pengaduan - menurut catatan KBRI di Arab Saudi - yang menyangkut soal gaji dan hubungan kerja dengan majikan selama ini diselesaikan. Hanya berdasarkan surat perjanjian, tampaknya, majikan berada di pihak yang kuat. Setidaknya, dari segi ini suara Lukman Harun patut diperhatikan, untuk melihat nasib hampir 6.000 buruh wanita - menurut catatan resmi - yang tersebar di berbagai kota di Arab Saudi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus