Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan terjadinya defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi (migas) ikut mempengaruhi kurs rupiah. Menurut Fahmy, bila neraca perdagangan terjadi defisit, maka ada kemungkinan neraca pembayaran akan ikut defisit yang nantinya akan berimplikasi langsung terhadap nilai tukar rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Neraca perdagangan itu kan nanti akan berpengaruh terhadap neraca pembayaran. Nah kalau kemudian neraca pembayaran kita defisit juga ada atau ada penurunan, maka dampak langsungnya adalah terhadap rupiah,” kata Fahmy ketika dihubungi pada Ahad, 17 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Neraca pembayaran, kata Fahmy, terdiri atas beberapa bagian neraca, salah satunya neraca perdagangan. Maka, bila neraca perdagangan mengalami defisit, hal tersebut tentu saja akan mempengaruhi neraca pembayaran dan membuka peluang defisit neraca pembayaran yang kemudian akan melemahkan nilai rupiah. “Jadi kalau kita lihat data kurs rupiah yang selalu melemah, barangkali ini juga disebabkan oleh defisit neraca perdagangan dari migas tadi,” ujarnya.
Berdasarkan catatan dari Bank Indonesia (BI) nilai tukar rupiah pada Oktober 2024 atau hingga 15 Oktober 2024 melemah sebesar 2,82 persen (ptp) dari bulan sebelumnya. Sedangkan pada akhir perdagangan pekan ini atau Jumat, 15 November kemarin, rupiah tercatat melemah 12 poin ke level Rp 15.874 per dolar Amerika Serikat dari sebelumnya Rp 15.862 per dolar Amerika Serikat.
Selain berpengaruh ke kurs rupiah, kondisi neraca perdagangan juga berkaitan langsung dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bila neraca perdagangan mengalami defisit, maka otomatis pendapatan yang seharusnya diperoleh negara menjadi berkurang jumlahnya. “Dampaknya itu ya pada realisasi pendapatan APBN dari sektor migas tadi itu sudah pasti menurun,” ucap Fahmy kembali.
Diketahui berdasarkan data yang dikeluarkan Kementerian keuangan, realisasi penerimaan pajak dari sektor migas mengalami penurunan. Per 30 September 2024, Pajak Penghasilan (PPh) Migas membukukan realisasi Rp48,81 triliun, 63,91 persen dari target. Hal ini menunjukkan adanya kontraksi sebesar 10,13 persen secara yoy.
Selain itu, bila dilihat secara sektoral, penerimaan pajak dari sektor pertambangan mengalami kontraksi yang sangat dalam. Realisasi penerimaan pajak dari sektor pertambangan adalah sebesar Rp 77,57 triliun atau mengalami kontraksi sebesar 45,36 persen secara yoy.