Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Pengusaha Usulkan Perubahan Formula Harga Patokan Mineral

AP3I belum menyetujui formula penetapan harga patokan mineral yang telah diatur pemerintah.

26 Juni 2020 | 04.22 WIB

Tambang nikel PT Aneka Tambang di Pulau Pakal, Halmahera Timur, Maluku Utara, September 2018.
Perbesar
Tambang nikel PT Aneka Tambang di Pulau Pakal, Halmahera Timur, Maluku Utara, September 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) belum menyetujui formula penetapan harga patokan mineral yang telah diatur pemerintah. Mereka menolak membeli nikel sesuai harga tersebut dan mengusulkan perubahan formula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ketua Umum AP3I Prihadi Santoso menyatakan formula yang disusun pemerintah terlalu memihak penambang. Pasalnya dalam perhitungan tersebut pemerintah belum mengakomodasi dua faktor penting yang mempengaruhi biaya pengolahan dan pemurnian. "Salah satunya faktor koefisien," katanya kepada Tempo, Kamis 25 Juni 2020. Variabel ini menghitung mineral pengotor yang terdapat dalam setiap hasil tambang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prihadi menyatakan harga patokan juga belum mempertimbangkan potongan harga yang biasanya didapatkan pengusaha smelter saat melakukan transaksi berdasarkan pergerakan London Metal Exchange. Dalam prakteknya, menurut dia, penjualan mineral tak pernah sama dengan harga acuan di LME tersebut.

Dia mengaku anggota asosiasi telah menyusun formula lain yang dirasa menguntungkan kedua belah pihak. Formula tersebut diserahkan kepada Kementerian Perindustrian sebagai bahan kajian harga patokan mineral yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara. "Peraturan tentang harga patokan mineral kan dir-review setiap enam bulan sekali," ujarnya berharap ada perubahan aturan.

Sikap AP3I mendapatkan kritik dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). "Smelter lokal tetap tidak mau melakukan kontrak dengan harga yang ditetapkan pemerintah," kata Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin.

Sebagian penambang menahan penjualan lantaran transaksi dilakukan berdasarkan kontrak dengan harga yang lebih rendah dari harga patokan. Dia mencontohkan untuk kontrak CIF bijih nikel berkadar 1,8 persen, smelter lokal membeli dengan harga US$ 27 per WMT sementara pemerintah mengaturnya di harga US$ 34 persen WMT.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menyatakan pemerintah tengah membentuk satuan tugas khusus untuk mengawasi implementasi harga patokan mineral. "Satgasnya berasal dari Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, dan BKPM," tuturnya.

Penegakan hukum baru akan dilaksanakan setelah tim terbentuk sambil memberi waktu kepada pelaku usaha untuk bersiap menjalankan aturan yang berlaku sejak 14 April 2020. Yunus menuturkan saat ini masih ada sejumlah pengusaha yang tengah mengubah kontrak perjanjian jual beli nikel.

VINDRY FLORENTIN

Vindry Florentin

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2015 dan bergabung dengan Tempo di tahun yang sama. Kini meliput isu seputar ekonomi dan bisnis. Salah satu host siniar Jelasin Dong! di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus