Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian mengatakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak akan berpengaruh pada kebutuhan beras dalam negeri. Menurutnya, kebutuhan beras menjelang Pilkada cenderung naik karena adanya kandidat yang membeli beras untuk dibagi-bagikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan, beras ini akan dipakai para calon kepala daerah mengunjungi calon pemilih dan kampanye. Hal itu berkaca dari pengalaman pemilihan umum kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat pemilihan presiden itu, permintaan beras melonjak, kata Eliza. Menyebabkan harga beras naik dan mengerek inflasi. Terlebih lagi salah satu indikator tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah ini tinggi karena bantuan sosial. "Artinya seperti sembako, ini masih efektif mendulang suara," kata Eliza pada Selasa, 3 September 2024.
Sebelumnya, dalam diskusi beberapa lalu di Jakarta, Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi mengatakan, pemerintah menyetujui Bulog mengimpor 3,6 juta ton beras pada tahun ini. Hingga Juli 2024, impor beras sudah mencapai 2,4 juta ton. Sehingga masih ada 1,2 juta ton kuota beras impor yang belum terealisasi.
Sebanyak 1,2 juta ton beras impor itu harus terealisasi sebelum Desember 2024. Bulog saat ini tengah menyelesaikan kontrak impor beras sekitar 300.000 ton. Sehingga sisanya ada 900.000 ton lagi yang belum terkontrak dari total target 3,6 juta ton.
Eliza mengkritik kebijakan pemerintah yang menilai impor beras sebagai solusi jangka pendek dalam memenuhi kebutuhan permintaan beras di dalam negeri. "Selagi kebijakan pemerintah masih populis dan bersifat jangka pendek, maka persoalan impor ini ke depan akan semakin parah dan makin ketergantungan," tutur dia.
Dia menjelaskan, padahal inovasi padi dengan produktivitas tinggi di dalam negeri cukup banyak. Misalnya varietas padi lokal Indramayu, Jawa Barat, dengan tingkat produktivitas bisa mencapai 8-10 ton per hektare. Saat ini, rata-rata produktivitas varietas padi hanya 5-6 ton per hektare.
Dia mengatakan, bahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN bekerja sama dengan sektor privat itu tengah mengembangkan benih padi yang produktivitasnya bisa mencakup 12 ton per hektare. Sebetulnya telah banyak inovasi di daerah, perguruan tinggi, dan di pusat untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Namun, menurut Eliza, problemnya tidak ada penghubung antara rezim riset inovasi dengan entitas masyarakat atau petani. Di satu sisi, inovasi banyak dilakukan, tapi di lapangan para petani masih menggunakan varietas-varietas lama yang produktivitasnya rendah.
Dia mengatakan, pemerintah perlu membuat ekosistem inovasi yang mengkolaborasikan sektor privat kampus dan petani. Kampus ini, ujar Eliza, terkendala masalah inovasi, sehingga hanya berujung prototipe. Hal itu perlu dibenahi.
"Pertanian kita amat sangat membutuhkan inovasi agar bisa resilien terhadap perubahan iklim dan bisa memenuhi kebutuhan penduduk yang kian meningkat," kata dia.