Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertumbuhan perekonomian dalam negeri cenderung melambat.
Tingkat pertumbuhan ekonomi 2024 berpotensi turun.
Pertumbuhan ekonomi masih bertopang pada konsumsi rumah tangga.
EKONOMI Indonesia pada kuartal kedua 2024 hanya tumbuh 5,05 persen. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi tersebut melemah dibanding pertumbuhan pada kuartal pertama yang sebesar 5,11 persen. Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Mohammad Edy Mahmud mengatakan penurunan itu disebabkan oleh perlambatan konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi sebesar 54,93 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kuartal kedua 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen. Pertumbuhan itu lebih rendah dari kuartal kedua 2023 yang sebesar 5,22 persen. Angka itu juga lebih kecil dari pertumbuhan pada kuartal yang sama di 2022, yakni 5,52 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edy menuturkan beberapa sub-kelompok mengalami perlambatan, seperti pakaian dan transportasi. Pelemahan tecermin dari melambatnya indeks perdagangan eceran dan riil, juga merosotnya penjualan wholesales kendaraan bermotor pada periode April-Juni 2024.
Kondisi itu menjadi sorotan sejumlah ekonom karena dinilai sebagai sinyal perlambatan ekonomi. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies Nailul Huda mengatakan saat ini daya beli masyarakat tertekan oleh kenaikan harga kebutuhan. Ditambah kenaikan nilai tukar dolar yang mendorong lonjakan harga barang-barang impor (imported inflation).
Nailul memprediksi kondisi tersebut berlanjut hingga akhir tahun ini. "Karena tampaknya daya beli masyarakat masih tertekan, terlebih harga komoditas tidak kunjung stabil," ucapnya kepada Tempo, Senin, 5 Agustus 2024. Ia memperkirakan hingga akhir tahun ini pun pertumbuhan ekonomi berada di angka 4,85-5,05 persen.
Deflasi beruntun yang terjadi dalam tiga bulan terakhir juga dinilai sebagai peringatan bakal anjloknya daya beli masyarakat. Bahkan saat ini sudah terjadi fenomena "makan tabungan" atau menguras duit simpanan untuk memenuhi kebutuhan hidup karena pendapatan yang stagnan di tengah biaya hidup yang meningkat. Hal itu tampak dari berkurangnya jumlah tabungan kelompok kelas menengah ke bawah.
Menurut Nailul, kondisi itu harus diwaspadai pemerintah karena berpotensi menyebabkan persoalan yang lebih besar, yaitu meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Menurunnya daya beli akan membuat produsen merespons dengan pengurangan produksi yang berujung pengurangan tenaga kerja.
Saat ini masalah pengangguran itu sudah terjadi. Dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional BPS terbaru, angkatan kerja per Februari 2024 sebanyak 149,38 juta orang. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,82 persen atau 7,20 juta orang, dengan 16,82 persen di antaranya merupakan penduduk usia 15-24 tahun.
Adapun penduduk usia 15-24 tahun tanpa kegiatan produktif atau youth not in education, employment, and training (NEET) per Agustus 2023 sebanyak 9,9 juta orang. Artinya, jumlah remaja yang tidak sedang sekolah, bekerja, atau mengikuti pelatihan mencapai 22,25 persen dari total populasi usia 15-24 tahun secara nasional.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal berpendapat kinerja belanja pemerintah belum optimal mendongkrak pertumbuhan ekonomi, dengan kontribusi hanya 7 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Saat ini pemerintah masih tetap mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai komponen utama penopang pertumbuhan ekonomi.
Kondisi itu membuat pertumbuhan ekonomi mudah merosot jika daya beli masyarakat menurun. Kondisi akan lebih parah jika pemerintah mengeluarkan aturan yang kontraproduktif terhadap upaya memperkuat daya beli masyarakat. Misalnya, penambahan pungutan pajak dan peningkatan harga barang-barang yang diatur pemerintah. Jika langkah itu tetap dilakukan, Faisal khawatir konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah, akan makin tertekan.
"Inilah yang harus diwaspadai karena otomatis akan berpengaruh juga pada pertumbuhan ekonomi," tuturnya kepada Tempo, Senin, 5 Agustus 2024.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat sejak 2022 pemerintah kerap mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif, baik di sisi fiskal maupun moneter. Dari sisi fiskal, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menyebutkan ada kenaikan tarif pajak dan kenaikan harga minyak. Sedangkan dari sisi moneter, ada kenaikan suku bunga Bank Indonesia yang mengikuti suku bunga The Fed.
Esther berpandangan dua sisi kebijakan tersebut menyebabkan ekonomi Indonesia melemah. "Kondisi ini juga menegaskan stagnannya pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dipengaruhi oleh faktor domestik ketimbang faktor global," ucapnya.
Di sisi lain, ekonom Bank Mandiri, Reny Eka Putri, berpendapat sektor manufaktur turut membuat ekonomi menjadi rentan. Sektor manufaktur yang tumbuh di bawah 4 persen membatasi pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Kinerja Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur turun dari 50,7 pada Juni menjadi 49,3 pada Juli 2024. PMI manufaktur bahkan masuk zona kontraksi setelah terakhir kali mengalami kondisi ini saat pandemi masih merebak pada Agustus 2021.
Selain karena anjloknya produktivitas manufaktur, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai terhambatnya sektor pertanian dan perdagangan menjadi faktor utama ekonomi melambat. Peneliti makroekonomi dan pasar keuangan dari LPEM FEB UI, Teuku Riefky, mengatakan kondisi tersebut dipengaruhi oleh deindustrialisasi prematur serta penurunan produktivitas pertanian yang sangat drastis.
Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap di atas 5 persen pada tahun ini. Dia yakin konsumsi dalam negeri masih akan tumbuh. Alasannya, momen pemilihan kepala daerah serentak yang rencananya diadakan pada November tahun ini akan mampu meningkatkan belanja warga.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. TEMPO/Tony Hartawan
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga memprediksi investasi swasta, baik penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN), masih terjaga. Hal ini akan mempengaruhi konsumsi dan iklim investasi dalam negeri sampai akhir tahun.
Sedangkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim pertumbuhan ekonomi di Tanah Air masih lebih tinggi dibanding pertumbuhan di negara lain. Negara-negara itu di antaranya Cina yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi 4,7 persen, Singapura 2,9 persen, Korea Selatan 2,3 persen, dan Meksiko 2,24 persen. "Di tengah ketidakpastian global, kondisi fundamental ekonomi kita masih baik," ucapnya saat konferensi pers, Senin, 5 Agustus 2024.
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III dan IV tahun ini, Airlangga akan mendorong belanja pemerintah dan pemberian fasilitas di sektor konstruksi. Selain itu, pemerintah akan mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui bantuan kredit usaha rakyat (KUR). Kebijakan tersebut, kata dia, sudah dibahas dalam rapat komite KUR.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini