Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rektor Paramadina Kritik Kebijakan Ekonomi Jokowi: Pembangunan Infrastruktur Ngawur

Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini kritik kebijakan ekonomi Presiden Jokowi. Pembangunan infrastruktur dinilai ngawur.

16 September 2024 | 10.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini mengkritisi neraca transaksi berjalan negara yang mengalami defisit. Ia mengatakan hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kegiatan ekspor di Indonesia terlalu lemah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Didik, kegiatan ekspor di Indonesia sudah kalah saing dengan beberapa negara di Asean maupun di Asia. Ia membeberkan bahwa negara tetangga seperti Malaysia telah melewati media countertrade atau bentuk perdagangan internasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Defisit neraca transaksi berjalan karena ekspornya stagnan, karena sudah kalah dengan Vietnam sekarang akan disalib nanti oleh Banglades kemudian Malaysia sudah melewati Media countertrade," kata Didik dalam forum bertajuk "Melanjutkan Kritisme Faisal Basri: Memperkuat Masyarakat Sipil, Mengawasi Kekuasaan" yang diselenggarakan melalui platform zoom pada Ahad, 15 September 2024.

Lebih lanjut, Didik mengungkapkan kondisi ekspor di Indonesia dapat mempengaruhi neraca transaksi berjalan. Ia mengatakan bahwa saat ini pemerintah masih terfokus pada permasalahan ekspor yang tak kunjung berakhir.

"Indonesia mungkin masih bergelut, jungkir balik dan defisit ini karena ekspornya lemah dan kita tergantung kepada komoditas bahan mentah," jelasnya.

Sementara itu, Didik juga mengkritisi terkait pembangunan infrastruktur yang dilakukan dengan jor-joran pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Hal tersebut, kata dia, selaras dengan kritik yang pernah disampaikan oleh Faisal Basri tentang pembangunan kereta cepat.

"Pembangunan infrastruktur, infrastruktur itu infrastruktur ngawur. Seperti kata Pak Faisal. Seperti kereta api cepat itu sudah pasti akan lemah dari segi neracanya," kata Didik.

Adanya pembangunan kereta cepat, kata Didik bahwa Faisal Basri juga pernah mengkritisi terkait pembangunan infrastruktur era Presiden Jokowi sama seperti proyek di atas khayangan. Selain itu, ia mengungkapkan banyak pembangunan infrastruktur masa pemerintahan Presiden Jokowi tidak berpijak terhadap realita.

"Ke depan sampai kiamat dia (Faisal Basri) bilang tidak akan bisa lunak, jadi itu proyek di atas kayangan yang tidak berpijak pada realitas, banyak sekali proyek-proyek infrastruktur yang tidak senada ya, bahkan yang menjadi utama tol laut itu gagal berantakan sama sekali," ungkapnya.

Adanya pembangunan infrastruktur yang terlalu berlebihan, kata Didik hal itu juga memberatkan sektor industri. Akibatnya, menurut dia, pendapatan di sektor industri mengalami penurunan, sementara daya saing semakin tinggi.

"Semakin besar daya saing dan juga berat, sektor industri itu akan tengkurap ya, jeblok jadi karena itu nanti memilih Menteri Perindustrian harus yang benar ya jangan asal-asalan," kata Didik.

Menurut Didik, Faisal Basri sudah lama mengetahui kesalahan pemerintah pemerintah tersebut dan selanjutnya melontarkan kritik untuk perbaikan. Kritik itu, kata Didik, terkait hilirisasi yang menjadi trending di era kepemimpinan Presiden Jokowi.

"Pak Faisal itu mengkritik hilirisasi. Dia pertamanya mengungkap masalah di industrialisasi dan hilirisasi menurut dia sebaiknya diformatkan menjadi industrialisasi," ujar Didik.

Didik menjelaskan alasan mengapa Faisal Basri mengkritisi kata hilirisasi terhadap pemerintah saat ini. Ia mengatakan di dalam akademik kata hilirisasi tidak memiliki makna apapun, sehingga Faisal Basri pada saat itu mengganti kata hilirisasi menjadi industrialisasi.

"Karena itu di akademik (Industrialisasi) lebih enak bunyinya ketimbang hilirisasi yang keluar dari mulutnya Jokowi jadi lebih baik kosakatanya itu industrialisasi," tutur Didik.

Industri di era Presiden Jokowi paling buruk dalam standar Purchasing Managers' Index atau PMI. "Dan industri ini yang paling jeblok PMI-nya turun di bawah 50 persen tidak ada kebijakan industri sehingga mustahil untuk tumbuh 6 persen, 7 persen apalagi 8 persen," ujarnya.

Adanya wacana kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia kini tak terealisasikan menjelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Jokowi. Didik menceritakan kembali jika Faisal Basri pernah ditanyakan oleh seseorang terkait pertumbuhan ekonomi negara yang mencapai target 8 persen.

"Kan Faisal Basri ditanya bagaimana menurut Bapak target 8 persen, dia jawab ngawur. Selama industri ini jeblok jangan harap ekonomi itu akan tumbuh dengan baik," jelas Didik.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus