Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Penyaluran Solar Bersubsidi Sering Salah Sasaran

Bahlil Lahadalia bakal membatasi penyaluran solar bersubsidi karena sering salah sasaran. Efektifkah menekan kebocoran subsidi?

14 Februari 2025 | 09.00 WIB

Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak jenis bio solar di SPBU Asaya, Semarang, Jawa Tengah, 17 Januari 2025. Antara/Makna Zaezar
Perbesar
Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak jenis bio solar di SPBU Asaya, Semarang, Jawa Tengah, 17 Januari 2025. Antara/Makna Zaezar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral berencana memperketat penyaluran bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi karena tidak tepat sasaran.

  • BPH Migas sedang menyusun revisi aturan batas penyaluran BBM bersubsidi di SPBU.

  • Penyaluran solar bersubsidi rentan disalahgunakan karena kurangnya pengawasan di seluruh rantai distribusi.

BELUM lama setelah kekisruhan pembatasan distribusi gas elpiji 3 kilogram, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia berencana memperketat penyaluran bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi. Alasannya sama, pemerintah menilai penyaluran solar bersubsidi kerap tidak tepat sasaran sehingga perlu ditertibkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Bahlil berujar solar bersubsidi yang ditujukan untuk penggunaan non-komersial justru banyak digunakan industri besar. "Saya tahu pemainnya bakal ribut lagi, tapi enggak apa-apa. Ini untuk rakyat," kata Ketua Umum Partai Golkar tersebut dalam pembukaan rapat kerja nasional Golkar di Jakarta, Sabtu, 8 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sepanjang 2024, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat volume penyaluran solar bersubsidi yang terverifikasi mencapai 17,62 juta kiloliter. Jumlah tersebut lebih tinggi dari volume penyaluran pada tahun sebelumnya yang sebesar 17,57 kiloliter. Adapun pada 2020-2024, total penyaluran solar bersubsidi tercatat sebanyak 82,39 juta kiloliter.

Kepala BPH Migas Erika Retnowati menyatakan pihaknya sedang bersiap menekan batas maksimal pembelian solar bersubsidi. Saat ini batas maksimal volume penyaluran solar per hari adalah 60 liter untuk kendaraan roda empat, 80 liter buat kendaraan roda enam, dan 200 liter bagi kendaraan roda enam lebih. Ia menilai batas itu terlalu tinggi karena melebihi kapasitas tangki kendaraan sehingga berpotensi disalahgunakan.

BPH Migas pun mengkaji persoalan tersebut bersama tim Universitas Gadjah Mada. Erika menyebutkan perhitungan volume BBM bersubsidi, baik jenis BBM tertentu seperti solar bersubsidi maupun jenis BBM khusus penugasan seperti Pertalite, akan didasarkan pada jumlah BBM yang benar-benar keluar dari ujung nozzle dispenser stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Dengan perhitungan berbasis nozzle, data penyaluran BBM bersubsidi akan lebih transparan dan akurat. "Saat ini kami masih menunggu peraturan Menteri Keuangan. Setelah itu, pedoman teknisnya akan kami tetapkan," kata Erika dalam rapat dengar pendapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 10 Februari 2025.

Selama ini, pengawasan distribusi solar bersubsidi mengandalkan quick response code (QR code) melalui aplikasi MyPertamina. Menurut Erika, sistem ini sebetulnya efektif untuk mengurangi potensi penyaluran subsidi tidak tepat sasaran. Hal itu tecermin dari data konsumsi BBM bersubsidi yang cenderung turun.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia seusai melakukan pertemuan dengan Presiden RI Prabowo Subianto di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, 4 Februari 2025. Tempo/Imam Sukamto

Namun ia menilai masih ada beberapa kekurangan pada sistem tersebut. Modus yang ditemukan di antaranya penggunaan QR code yang berbeda untuk satu kendaraan, baik mobil maupun truk, sehingga berpotensi menyebabkan distribusi BBM tidak tepat sasaran. Karena itu, BPH Migas bakal berkoordinasi dengan PT Pertamina (Persero).

Kini BPH Migas sedang menyusun revisi aturan batas penyaluran BBM bersubsidi. Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Berdasarkan aturan tersebut, ada beberapa kategori penerima yang berhak mendapat solar bersubsidi, antara lain transportasi publik dan logistik, sektor perikanan, sektor pertanian, pelayanan publik, dan transportasi air.

Sementara itu, BPH Migas menemukan solar bersubsidi masih dinikmati  pihak yang tidak berhak. Salah satu temuan mereka adalah penggunaan solar bersubsidi oleh beberapa kendaraan dinas, termasuk yang dimiliki instansi pemerintah. Pelanggaran ini terdeteksi melalui pemantauan dengan kamera pengawas (CCTV) di salah satu SPBU di Bali pada 2024.

Pertamina juga berancang-ancang mengontrol distribusi solar bersubsidi. Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan perusahaan sedang menunggu revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014.

Selagi revisi itu disusun BPH Migas, Pertamina akan memaksimalkan pengawasan distribusi solar bersubsidi menggunakan sistem QR code di aplikasi MyPertamina. Dengan QR code, Pertamina bisa mendapatkan data orang-orang yang mengkonsumsi solar bersubsidi karena 100 persen pembelian solar tercatat secara digital sejak 2024.

Kementerian Keuangan mencatat belanja subsidi jenis BBM tertentu pada 2024 mencapai Rp 21,6 triliun atau 12,5 persen dari realisasi belanja subsidi energi. Rinciannya, subsidi minyak solar sebesar Rp 17,1 triliun dan subsidi minyak tanah Rp 4,5 triliun.

Berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran 2025, pagu subsidi energi direncanakan sebesar Rp 197,75 triliun atau 11,34 persen lebih tinggi dari realisasi pada 2024. Kondisi ini sedikit berbeda dengan kondisi pada 2023 dan 2024, dengan komposisi terbesar adalah subsidi elpiji 3 kilogram. 

Subsidi BBM sebesar Rp 21,6 triliun mencapai 12,5 persen dari total pagu subsidi energi. Penyusunan pagu subsidi energi pada 2025 menggunakan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$ 82 per barel dengan nilai tukar rupiah 16 ribu per dolar Amerika Serikat serta subsidi tetap minyak solar Rp 1.000 per liter.

Pada 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan mayoritas BBM bersubsidi dinikmati orang kaya. Menurut dia, solar bersubsidi digunakan 40 persen orang terkaya. Dari total anggaran penyaluran solar bersubsidi Rp 143 triliun, orang kaya dan dunia usaha menikmati Rp 127 triliun. Artinya, 89 persen dari total subsidi solar dinikmati orang kaya.

Menurut Sri Mulyani, penyaluran BBM bersubsidi yang salah sasaran merupakan konsekuensi mekanisme penyaluran subsidi terhadap barang. Musababnya, tidak ada larangan bagi siapa pun membeli BBM bersubsidi.

Artinya, orang kaya yang bukan sasaran penerima BBM bersubsidi masih bisa mengkonsumsinya. Padahal seharusnya subsidi hanya menyasar masyarakat miskin dan rentan miskin. Sebab, merekalah yang akan sangat terkena dampak gejolak harga barang bersubsidi.

Kebijakan pemberian subsidi solar juga menuai berbagai kritik terkait dengan sasarannya yang tidak tepat, efektivitas pemberian subsidi, dan dampaknya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengungkapkan, penyaluran solar bersubsidi masih rentan disalahgunakan karena kurangnya pengawasan ketat di seluruh rantai distribusi.

Putra berpandangan bahwa selama ini masih ada celah bagi pihak yang tidak berhak menikmati solar bersubsidi lantaran payung hukumnya belum cukup terinci. "Perlu dibuat peraturan yang lebih spesifik siapa penerima subsidi," tuturnya kepada Tempo, Kamis, 13 Februari 2025.

Selama ada dua harga solar di pasar, yaitu bersubsidi dan nonsubsidi, menurut Putra, akan selalu ada risiko kebocoran subsidi. Karena itu, ia menilai alih subsidi ke bantuan langsung lebih ideal dalam jangka panjang. Namun, sebelum skema itu bisa diterapkan secara penuh, mekanisme pengendalian distribusi perlu terus diperbaiki untuk mengurangi penyalahgunaan.

Putra mencontohkan mekanisme distribusi subsidi energi di India yang tepat sasaran. India berhasil mengurangi subsidi BBM secara bertahap sehingga beban fiskal bisa dikendalikan tanpa ada lonjakan harga ekstrem. Sedangkan Indonesia belum konsisten menyesuaikan harga BBM secara bertahap. Padahal kebijakan ini lebih efektif dibanding kenaikan harga yang mendadak dan drastis.

Di sisi lain, pengamat energi dari Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, berpendapat bahwa faktor utama yang menyebabkan BBM bersubsidi sering salah sasaran adalah kurangnya kesadaran masyarakat. Ia mengungkapkan, banyak kelompok merasa berhak menerima subsidi tanpa memahami beban yang ditanggung pemerintah.

Selain itu, Iwa menduga ada penimbunan akibat kurangnya pengawasan dan kontrol dalam distribusi BBM bersubsidi. Ada pula kelemahan dalam sistem pendataan dan verifikasi penerima subsidi.

Seharusnya, kata dia, kelemahan itu dapat diminimalkan dengan penerapan sistem satu data yang dikembangkan pemerintah. Namun sistem tersebut saat ini belum maksimal sehingga perlu dievaluasi dan ditingkatkan.

Iwa merekomendasikan subsidi diberikan dalam bentuk bantuan langsung kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Pasalnya, subsidi untuk produk BBM tidak secara langsung mengalir ke penerima yang berhak. Akibatnya, subsidi sering dinikmati kelompok yang sebenarnya mampu.

Untuk memastikan penyaluran solar bersubsidi tepat sasaran, menurut Iwa, ada empat skema yang dapat diterapkan dengan konsisten.

Pertama, membangun sistem pendataan dan verifikasi yang akurat agar subsidi hanya diberikan kepada pihak yang berhak. Kedua, menerapkan pengawasan dan kontrol ketat, termasuk pemantauan distribusi berbasis teknologi, untuk mencegah penyalahgunaan.

Ketiga, melibatkan masyarakat dalam pengawasan, misalnya melalui mekanisme pelaporan dan transparansi data guna memastikan subsidi diterima kelompok yang benar-benar membutuhkan. Keempat, mengevaluasi dan meningkatkan sistem secara berkelanjutan agar mekanisme penyaluran subsidi makin efektif.

Dengan menerapkan skema ini secara konsisten, kata Iwa, subsidi solar bisa lebih terarah, kebocoran berkurang, serta memberikan manfaat optimal bagi masyarakat yang membutuhkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus