Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, menjelaskan alasan pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN pada komoditas bahan pokok atau sembako.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, enggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matianan justru dibunuh sendiri. Mustahil!" cuit Prastowo dalam akun twitter @prastow, Rabu, 9 Juni 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perkara PPN belakangan hangat menjadi perbincangan masyarakat. Selain lantaran tarifnya yang direncanakan bakal naik, pajak tersebut juga akan dikenakan kepada bahan pokok yang selama ini bebas PPN. Prastowo pun memaklumi adanya berbagai reaksi di masyarakat lantaran hal tersebut.
Pemerintah, menurut Prastowo, dalam berbagai kesempatan telah menegaskan bahwa rancangan ini perlu disiapkan dan didiskusikan di saat pandemi untuk bersiap-siap. Namun, ia mengatakan bukan berarti rencana itu akan serta merta diterapkan di saat pandemi. "Ini poin penting: timing," ujarnya.
Karena itu, ia mengatakan pemerintah mengajak para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan DPR, untuk bersama-sama memikirkan mengenai pembiayaan anggaran pasca pandemi. Ia mengatakan optimalisasi penerimaan pajak menjadi salah satu langkah yang perlu dilakukan.
"Jika saat pandemi kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dengan pasca-pandemi? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak," ujar dia.
Prastowo mengatakan saat ini banyak negara berpikir untuk memikirkan optimalisasi pajak demi keberlanjutan. Di sisi PPN, Prastowo mengatakan negara-negara juga memikirkan penataan ulang sistem pajak pertambahan nilai itu.
Langkah penataan ulang sistem pajak dilakukan antara lain melalui perluasan basis pajak dan penyesuaian tarif. "Ada 15 negara yg menyesuaikan tarif PPN utk membiayai penanganan pandemi. Rerata tarif PPN 127 negara adalah 15,4 persen. Kita sendiri masih 10 persen," ujar Prastowo.
Terkait PPN, Prastowo mengatakan pemerintah telah melakukan kajian dan benchmarking dari negara lain. Hasilnya, pemerintah mendapati bahwa 24 negara mematok tarif PPN di atas 20 persen, 104 negara di kisaran 11-20 persen, dan selebihnya di bawah 10 persen.
"Di antara negara-negara tersebut, ternyata banyak juga negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN, tidak tunggal. Rentang tarifnya beragam. Ini selaras dengan adagium lama 'semakin kompleks sistem pajak, maka semakin adil', dan sebaliknya. Kalau mau simpel ya bisa, tapi enggak adil," kata dia.
Prastowo mengatakan kinerja penerimaan PPN Indonesia masih belum optimal. Salah satu penyebabnya, menurut dia, adalah banyaknya pengecualian dan fasilitas. Bahkan, ia mengatakan Indonesia adalah negara dengan pengecualian terbanyak. Hal tersebut, tutur dia, terkadang distortif dan tidak tepat, bahkan menjadi ruang pengindaran pajak.
"Intermezzo: saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!" kata dia.
Pengaturan yang demikian, menurut dia, menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai karena yang mampu bayar tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. "Ini fakta. Maka kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair."
Karena itu, ia mengatakan cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengenakan komoditas yang dikonsumsi masyarakat menengah bawah dengan tarif lebih rendah, bukan 10 persen. Sebaliknya, yg hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi.
"Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong," ujar dia. Begitu pula halnya dengan barang-barang pokok.
Prastowo mengatakan sekarang adalah saat yang tepat untuk merancang dan memikirkan. "Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti. Pemerintah dan DPR memegang ini. Saat ini pun barang hasil pertanian dikenai PPN 1 persen. beberapa barang/jasa juga demikian skemanya agar ringan," kata dia.
Sebelumnya, pemerintah berencana menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak. Dengan demikian, produk hasil pertanian, peternakan, perkebunan, dan kehutanan bakal menjadi barang kena pajak yang dikenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
Meski demikian, sejauh ini pemerintah belum menentukan tarif mana yang akan diberlakukan. Terdapat beberapa opsi yang menjadi pertimbangan, yakni PPN Final 1 persen, tarif rendah 5 persen, atau tarif umum 12 persen.
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, sembako menjadi kelompok barang yang dikecualikan sebagai objek pajak. Peraturan Menteri Keuangan No. 99/2020 menyebutkan setidaknya ada 14 kelompok barang yang tidak dikenai tarif PPN, di antaranya adalah beras dan gabah, jagung, sagu, garam konsumsi, gula konsumsi, susu, kedelai, telur, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
CAESAR AKBAR | BISNIS