Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen dan peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani mengatakan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak pertengahan Maret 2025 lalu tidak hanya berdampak pada kerugian finansial. Menurut Listya, efek psikologis yang menciptakan kepanikan massa juga menjadi dampak paling berbahaya dari fenomena ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dalam kondisi seperti ini, ketakutan dan irasionalitas menggantikan analisis rasional, menyebabkan investor bertindak impulsif,” kata Listya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 24 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti diketahui, pada Selasa, 18 Maret 2025, Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa menarik rem darurat. IHSG anjlok 5,02 persen ke level 5.146, memaksa regulator menerapkan trading halt selama 30 menit. Kendati perdagangan saham periode 17-21 Maret 2025 ditutup pada zona positif, namun IHSG masih terpuruk di angka 3,95 persen ke level 6.258,179.
Listya berpendapat, IHSG anjlok bukan sekadar mekanisme pasar, melainkan indikasi gejolak kepercayaan terhadap perekonomian. Dalam dunia investasi, kata dia, angka bukan sekadar angka tetapi cerminan ekspektasi dan psikologi pasar. Menurutnya, jatuhnya IHSG karena adanya kehilangan kepercayaan pasar terhadap fondasi ekonomi Indonesia.
Lebih jauh, pengajar di jurusan Ilmu Ekonomi UII ini mengatakan di balik anjloknya IHSG, tersimpan akar permasalahan yang lebih kompleks. Kondisi ekonomi Indonesia menunjukkan sinyal yang tidak sesuai dengan ekspektasi pasar. Kata dia, bisa berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi, tekanan inflasi, defisit fiskal yang melebar, atau kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-pasar.
Namun, menurut Listya, yang memperparah kepanikan adalah lunturnya kepercayaan terhadap BUMN dan Danantara, yang selama ini dianggap sebagai jangkar stabilitas di pasar modal. Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII ini mengatakan Jika publik dan investor mulai meragukan kesehatan finansial dan tata kelola perusahaan-perusahaan ini, wajar jika aksi jual besar-besaran terjadi.
“Dalam dunia investasi, kepercayaan adalah mata uang yang paling berharga, dan ketika kepercayaan itu runtuh, pasar tak butuh waktu lama untuk bereaksi,” katanya.
Efek psikologis dan lingkaran panik di pasar akibat anjloknya IHSG
Menurut Listya, salah satu dampak yang paling berbahaya dari kejatuhan IHSG adalah efek psikologis yang menciptakan kepanikan massal. Investor retail yang mengalami penurunan tajam dalam portofolio mereka cenderung masuk dalam mode panik, yang mengarah pada aksi jual besar-besaran tanpa mempertimbangkan valuasi atau prospek jangka panjang.
Efek psikologis ini, kata dia, menjadi berlipat ganda ketika media mulai membombardir dengan berita negatif. Headline seperti “IHSG Ambruk! Investor Rugi Triliunan!” atau “Kepercayaan Publik terhadap Pasar Modal Melemah” hanya memperparah kondisi. Dalam dunia investasi, sentimen adalah segalanya. Begitu ketakutan mengambil alih, tekanan jual semakin besar.
“Menyebabkan self-fulfilling prophecy yaitu ketika kejatuhan yang awalnya sekadar koreksi berubah menjadi kejatuhan yang lebih dalam akibat kepanikan yang tidak terkendali,” kata peneliti UII ini.
Listya mengatakan efek psikologis ini juga berdampak pada institusi keuangan dan pelaku usaha. Manajer investasi harus menghadapi lonjakan penarikan dana dari reksa dana saham, perbankan mulai berhati-hati dalam memberikan kredit ke sektor-sektor yang terkait dengan pasar modal, dan perusahaan publik menghadapi tekanan untuk menenangkan pemegang saham.
“Jika tidak segera dikendalikan, kondisi ini bisa merembet ke sektor riil, dimana dunia usaha menunda ekspansi, pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat, dan konsumsi masyarakat menurun,” ujarnya.
Tak hanya itu, menurut Listya Endang, dampak psikologis ini tidak hanya berakhir di lantai bursa, tetapi juga meresap ke dalam ekonomi sehari-hari. Konsumen yang melihat berita kejatuhan pasar saham mulai kehilangan kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi, menahan pengeluaran, dan mulai mengamankan aset mereka dalam bentuk investasi yang lebih konservatif seperti emas atau deposito.
Jika kepercayaan terhadap ekonomi terus menurun, kata dia, hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi capital flight, di mana investor asing menarik modalnya dari Indonesia, memperburuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan ekonomi secara keseluruhan. Jika pemerintah dan regulator tak segera mengambil langkah tegas untuk meredam kepanikan pasar, Indonesia bisa menghadapi kondisi yang jauh lebih buruk dari sekadar trading halt.
“Kepercayaan yang runtuh tidak bisa diperbaiki hanya dengan regulasi teknis, tetapi membutuhkan respons ekonomi yang nyata, transparan, dan meyakinkan,” kata Listya.
Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.