Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

<font color=#FF0000>Hati-hati</font> Mata Iritasi

Gara-gara mata gatal dan merah, ditambah penanganan yang salah, Jason Tedjasukmana hampir buta. Vernal conjunctivitis atau iritasi mata sering dialami banyak orang, tapi dianggap enteng. Jika parah, jalan keluarnya pencangkokan kornea atau perawatan yang memakan waktu lama, serta tak boleh kena debu, polusi udara, dan sinar matahari.

8 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FOTOGRAFER harus mencari tempat yang terang ketika memotret Jason Tedjasukmana di Hotel Mandarin, Jakarta, Selasa siang pekan lalu. ”Mata saya peka terhadap flash,” katanya. Memang tampak mata kanan wartawan majalah Time itu seperti memicing. Sedangkan yang kiri normal. ”Masih terasa ada seperti buliran-buliran pasir di mata kanan saya,” ujarnya.

Pria berdarah campuran Indonesia-Amerika Serikat itu saat ini merasa cepat lelah ketika berhadapan dengan layar komputer, dan tersiksa bila berada di tempat berdebu, polusi udara, serta cahaya matahari. ”Saya belum berani meliput daerah-daerah bencana dalam kondisi begini,” kata Jason.

Yang membuat penggemar gado-gado Jalan Empu Sendok ini tetap bertahan di Indonesia adalah kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Indonesia pada pertengahan Maret ini. ”Setelah Obama pulang, saya kembali lagi ke Michigan, untuk pengobatan lanjutan,” ujar Presiden Klub Koresponden Asing di Jakarta itu.

Siksaan itu bermula setahun yang lalu. Mata Jason terasa gatal, merah, dan buram saat melihat. Lalu dia datang ke dokter spesialis mata. Dokter mendiagnosisnya iritasi. Tak puas pada satu dokter, pria kelahiran 42 tahun silam itu pergi ke dokter lain. ”Sampai delapan dokter, hasilnya tak memuaskan,” ujarnya. Bahkan matanya semakin buram. ”Seperti ada benjolan di dalam kelopak mata,” ujarnya.

Jason lalu terbang ke Singapura, berharap dokter negeri berlambang singa duyung itu memberikan solusi. Tapi dokter negeri jiran itu menyatakan terlambat. Jason harus cangkok kornea. ”Saya kaget, tak mau ambil risiko, biayanya juga besar, saya pulang ke kampung,” katanya. Di tempat orang tuanya, Michigan, Amerika Serikat, mata Jason diperiksa intensif. Ternyata dokter di sana tak mengharuskan cangkok kornea, hanya perlu perawatan lebih lama, dan pemberian steroid atau obat tetes mata.

Dokter di Michigan menyebut Jason menderita vernal conjunctivitis atau iritasi mata. ”Setelah pengobatan, mata saya agak enakan, walau masih belum sembuh benar,” ujarnya. Namun Jason tak bisa meninggalkan pekerjaannya di Indonesia. ”Saya butuh pekerjaan ini,” ujarnya.

Iritasi seperti yang dialami Jason memang tak boleh dipandang enteng. Menurut dokter spesialis mata Hikmat Wangsaatmadja, iritasi mata bisa disebabkan oleh segala sesuatu yang mengenai organ penglihatan itu, misalnya udara, debu, angin penyejuk udara, serta asap. Tanda-tanda mata yang terkena iritasi antara lain mata merah, berair, terasa perih dan gatal.

Gejala iritasi ringan memang biasa terjadi dan tidak dianggap sebagai masalah. Pada kondisi normal, menurut Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung itu, kalau ada rangsangan atau ancaman, mata akan berkedip, kelopaknya menutup dan mengeluarkan air mata. ”Jadi tubuh mempunyai mekanisme pertahanan spontan. Air mata juga berfungsi sebagai cairan antiseptik bagi organ mata,” ujar lulusan sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, ini.

Namun, pada kondisi iritasi berat seperti mata terkena bahan kimia atau serbuk besi ketika menggerinda, mata harus cepat dibersihkan oleh dokter. ”Kalau terkena bakteri, biasanya kami beri antibiotik,” ujar dokter Hikmat. Untuk mencegah iritasi, mata harus terhindar dari sumber iritasi seperti debu dan asap. Pengendara motor, misalnya, disarankan memakai kacamata pelindung. Kalau dibiarkan terus, iritasi dapat berubah menjadi peradangan kronis, yang hanya bisa disembuhkan dengan pengobatan jangka panjang.

Radang, menurut spesialis mata lain Bambang Susetyo, bisa terjadi jika iritasi mata ringan terus berlangsung selama dua minggu. Bahaya lainnya adalah terjadi infeksi yang memudahkan bakteri atau jamur masuk. Dalam beberapa kasus, karena penanganan terlambat, menurut Ketua Komite Medik RS Cicendo itu, jaringan ikat mata bisa terganggu. ”Kornea bisa habis, jebol matanya. Kornea matanya bolong, jadi buta,” katanya.

Infeksi bola mata, menurut dokter Bambang, bisa juga mengakibatkan pasien terkena meningitis dan meninggal. Pernah terjadi pasien dari Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, meninggal setelah matanya terserang infeksi sistemik.

Menjaga mata, menurut dokter senior lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran itu, harus dimulai sedari kecil. Pematangan penglihatan pada anak-anak berlangsung pada usia 0 sampai 13 tahun. Jika gangguan refraksi—kondisi ketika cahaya yang masuk tidak tepat dibiaskan ke retina—didiamkan atau tidak dibantu kacamata yang tepat, bisa berakibat kebutaan.

Penyakit mata yang juga kerap menyambangi anak-anak adalah vernal conjunctivitis—biasa disebut pink eye—seperti dialami Jason kini. Alergi pada sebagian orang itu biasanya dipicu oleh serbuk bunga yang bertebaran di negeri empat musim. Di Indonesia, pemicunya bisa debu atau sinar matahari. Penyebab alergi itu, menurut dokter Bambang, adalah bakat atau keturunan, dan pengaruh lingkungan. ”Orang yang sering ke luar rumah gampang terkena,” katanya.

Tanda-tanda vernal seperti iritasi mata biasa, semisal gatal, merah, dan perih. Bambang melarang pemberian obat tetes mata steroid tanpa resep dokter. Mendapatkan obat seperti itu memang mudah di apotek. ”Kalau sudah akut, biasanya orang pakai obat tetes steroid,” ujarnya.

Pemakaian obat terus-menerus bisa menimbulkan efek samping. Apalagi jika tak terkontrol, bahaya lain telah menunggu. ”Efek samping obat bisa menyebabkan tekanan pada bola mata meninggi,” kata Bambang. Beberapa pasien yang datang ke Rumah Sakit Cicendo mengalami kebutaan akibat cara pengobatan dengan tetes steroid tersebut.

Vernal pada anak-anak bisa lenyap sendiri setelah anak melewati masa pubertas, 17-20 tahun. Dalam kasus lain, vernal pada anak bisa berakibat terjadinya reaksi berat pada kelopak mata, yaitu munculnya tonjolan-tonjolan besar yang menggesek kornea sehingga menimbulkan luka dan mengakibatkan kebutaan. Jika terdeteksi ada benjolan seperti itu, dokter biasanya melakukan operasi agar tonjolannya hilang. Semua dokter mata, menurut dokter Bambang, bisa menangani kasus yang jarang terjadi seperti itu.

Rumah Sakit Mata Cicendo rata-rata dalam sehari menangani 15 pasien vernal, yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Kasus kebutaan di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Angkanya, menurut dokter Hikmat, mencapai 1,5 persen dari total penduduk Indonesia. Penyebab terbanyak adalah katarak, lalu kelainan refraksi khususnya pada anak, infeksi, kelainan retina, glaukoma, serta kelainan karena gangguan kornea.

Selain itu, kebutaan bisa muncul akibat pemakaian lensa kontak yang salah sehingga mengakibatkan infeksi. Kebutaan, menurut Hikmat, sebenarnya bisa dicegah dan ditangani. ”Tapi di Indonesia masih ada kendala, terutama karena kesadaran masyarakat yang masih kurang,” ujarnya. Pemerintah dinilai Hikmat masih belum maksimal memberikan penyadaran atau upaya promotif untuk mencegah kebutaan.

Ahmad Taufik, Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus