Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STEPHANIE Ganie, 17 tahun, kini memiliki hobi memakai rok mini dan celana pendek. Gadis Medan keturunan Cina ini tak ragu memamerkan sepasang tungkainya yang putih. ”Sekarang dia pede banget,” kata Lestari Mustafa, ibunya. Bagaimana tidak percaya diri, sepasang kakinya bak kaki peragawati.
Itu kini. Namun sebenarnya, sejak bayi, anak kedua dari tiga bersaudara itu memiliki kaki berbentuk O. Bertambah umur, kedua tungkainya pun makin membulat. Tak hanya merasa kerdil dan sulit berjalan, siswi kelas akhir SMA Methodist III Medan ini juga minder bergaul. Untuk menutupi kaki O-nya, ia selalu mengenakan rok panjang hingga melebihi mata kaki. Namun bentuk kakinya tetap tak bisa disembunyikan. Tak aneh jika ia sering menangis dan berkeluh di depan sang mama: ”Kenapa semua orang ngeliatin aku?”
Hingga pertengahan 2003, orang tuanya memutuskan memboyong Stephanie ke Singapura. Mereka bertemu dengan Sarbjit Singh, dokter ahli tulang yang ketika itu bekerja di Rumah Sakit Tan Tock Seng. Sebelumnya, Stephanie sudah pernah dibawa ke beberapa dokter. Aneka obat dan vitamin sudah ditenggaknya. Namun belum ada harapan untuk membetulkan kakinya yang kian melengkung akibat congenital renal hypophosphatemia—istilah medis untuk pemicu kelainan ini.
Maka, untuk pertama kalinya, Stephanie—waktu itu 12 tahun—menjalani operasi kaki. Pada pembedahan tahap pertama ini, kaki bagian atas—paha hingga lutut—disayat di tiga bagian. Masing-masing lebarnya sekitar empat sentimeter. Lalu diselipkanlah pelat kecil eightplate di setiap lubang.
Karena kelainan bentuk tungkainya sudah sangat parah, operasi sekali saja tak cukup. Maka, enam bulan kemudian, Stephanie kembali ke kamar bedah. Kali ini yang menjadi sasaran adalah kaki bagian bawah—lutut sampai mata kaki. Tulang kaki dipatahkan jadi tiga bagian. Lalu, bahan metal yang menyerupai jari-jari sepeda ditanam hingga menembus tulang. Lestari mengisahkan anaknya kala itu persis seperti robot.
Tujuh bulan berikutnya, metal yang ada di luar tubuh Stephanie dicabut. Satu tahun sesudahnya, remaja belia ini bisa berjalan normal dengan kaki lurus. Baru pada Juni tahun ini—lima tahun sesudah operasi pertama—pelat yang tertanam di dalam tulang diambil. Artinya, kakinya kini sudah normal. Ia tak ragu ikut senam, push-up, dan renang di sekolah—kegiatan yang dulu tak mungkin dilakoninya.
Stephanie adalah salah satu kisah sukses bedah ortopedi (penyembuhan tulang). Perempuan muda itu menjadi orang Indonesia pertama yang menggunakan eightplate. Kasus ini dipaparkan Sarbjit Singh dalam diskusi ”Inovasi Medis Atasi Deformitas Tungkai pada Anak dan Dewasa”, Jumat dua pekan lalu, di Hotel Gran Mahakam, Jakarta. Singh adalah konsultan senior bedah ortopedi dari Centre for Advanced Orthopaedics: Limb Reconstruction and Lengthening, Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura.
Metode terbaru untuk meluruskan tulang adalah dengan penanaman fitbone (untuk pasien 16-60 tahun) dan eightplate (untuk anak 3 hingga 14 tahun). Hingga saat ini, sayangnya, belum ada rumah sakit di Indonesia yang menerapkan metode ini lantaran keterbatasan fasilitas. ”Meski sekilas tampak ringan karena hanya disayat kecil, ini operasi besar yang tergolong berteknologi tinggi,” tutur Singh.
Pusat rehabilitasi di Singapura, menurut Singh, banyak menangani kasus kerusakan dan ketidakseimbangan bentuk tulang. Cacat bawaan lahir, infeksi, dan cedera karena kecelakaan menyebabkan tulang panjang pada kaki—tulang kering dan tulang paha—tumbuh tak proporsional. Perkembangan yang tak simetris ini kerap menyebabkan kelainan pada kedua kaki. Misalnya, kaki berbentuk X (valgus) dan O (varus).
Selain karena cacat bawaan, ada beberapa jenis cacat tulang. Pertama, kelainan panjang tungkai. Selama beberapa dekade, penyebab utamanya polio. Perbedaan tungkai kiri dan kanan ini juga bisa disebabkan oleh kecelakaan, terutama lalu lintas. Kedua, postur tubuh pendek. Bisa karena cacat, misalnya cebol, atau karena keturunan.
Yang ketiga adalah koreksi kelainan. Inilah proses meluruskan tungkai bengkok yang dialami anak-anak seperti Stephanie tadi, atau orang lanjut usia dengan kaki O karena artritis.
Keempat, tumor tulang dan cedera karena kecelakaan. Dalam kondisi ini, ahli bedah membuka tulang dengan lubang besar sehingga tumor dapat dikeluarkan. Celah bekas tumor ini ”diisi” lagi dengan metode Ilizarov.
Apakah itu? Ilizarov adalah metode memperbaiki bentuk yang tak simetris. Metode ini diambil dari nama G.A. Ilizarov, dokter bedah tulang asal Rusia, sang penemu terapi, pada 1954. Caranya, pin dimasukkan melalui tulang dan dikaitkan dengan penahan di luar tubuh. Dari luar, pin dibalik setiap hari oleh si pasien. Tujuannya menarik tulang di bagian yang patah dan menumbuhkan tulang baru di sela-sela ruang kosong itu, sekitar satu milimeter per hari.
Kelemahan model ini, selain proses dan pemulihannya lama, bekas sayatannya—di dalam dan di luar tubuh—dapat menyebabkan luka. Terkadang berujung infeksi serta cacat bekas luka, dan untuk merapikannya dibutuhkan bedah plastik.
Cara tersebut menjadi kuno bila dibandingkan dengan prosedur hemi-epiphysiodesis. Metode ini hanya membutuhkan bedah ringan untuk membetulkan kelainan lengkung kaki.
Pada anak-anak, karena tulang mereka masih berkembang, pelat hanya ditanam sementara hingga tulang yang asli tumbuh. Berbeda dengan orang dewasa, pelat mesti ditanam permanen karena pertumbuhan tulangnya sudah berhenti. Itu sebabnya, operasi ini sangat tak disarankan bagi orang di atas 60 tahun atau mereka yang menderita osteoporosis.
Operasi fitbone ini adalah implan tulang pertama dan satu-satunya di dunia yang dikendalikan komputer. ”Reparasi” ini tak cuma untuk kaki tapi juga lengan. Inilah solusi yang lebih nyaman bagi pasien ketimbang menggunakan pin eksternal dan peralatan logam, seperti pada metode Ilizarov. Fitbone dikendalikan sendiri oleh pasien dengan alat semacam pengendali jarak jauh (remote control). Di lokasi tempat pelat fitbone ditanam, tulang dan jaringan lunak, termasuk saraf, pembuluh darah, dan otot, akan tumbuh kembali di sekitar bagian tulang yang tertarik.
Dibandingkan dengan metode sebelumnya yang membuat pasien serupa robot, fitbone dan eightplate hanya memerlukan sayatan kecil sehingga komplikasi bisa dihindari. Banyak pasien yang langsung dapat berdiri dan beraktivitas pada hari yang sama atau esok setelah operasi.
Memang, seperti diakui Lestari, ibunda Stephanie, biaya operasi sangat membobol kantong. Namun, kata sang mama, ”Kalau memang anakku bisa sembuh, berapa pun akan saya usahakan. Uang bisa dicari, kesehatan kan enggak.”
Hingga kini dokter Singh sudah 60 kali melakukan prosedur fitbone dan 12 kali menanam eightplate. Stephanie adalah pasien pertamanya dari Indonesia. Pasien lainnya datang, antara lain, dari Malaysia, Korea, Cina, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Eropa. Rekor pemanjangan tulang yang pernah dilakukannya mencapai 14 sentimeter (8 sentimeter di kaki bagian atas, 6 sentimeter di bawah). Pertambahan tinggi pasien pun sangat terlihat.
Itu sebabnya, belakangan mulai berdatangan orang yang mendambakan badan tinggi dengan fitbone. Dokter Singh mengisahkan beberapa pasien yang datang karena merasa kurang tinggi dibandingkan dengan orang-orang di lingkungannya. Singh juga bercerita tentang peragawati asal Cina yang ingin mempertinggi tubuh. Sang model rela menempuh operasi penanaman fitbone agar lebih jangkung dan kariernya makin menjulang.
Andari Karina Anom
Pembedahan fitbone
- Sayatan sepanjang 2 cm dibuat pada lutut pasien, dan bingkai digunakan untuk membuat rongga yang cukup.
- Tulang dipatahkan kira-kira 14 cm.
- Pelat tahan karat dilubangi dan dipasangi dua sekrup. Bagian atas paku dipasang pada penerima radio.
- Pasien meletakkan pemancar pada antena yang memanjangkan 1 mm setiap hari. Pemanjangan akan berhenti apabila kaki mencapai tahap panjang yang dikehendaki dan tulang dibiarkan mengeras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo