Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HITUNG cepat (quick count) dalam pemilihan Gubernur Sumatera Selatan yang dilakukan oleh tiga lembaga survei ternyata mendapatkan hasil yang berlainan. Perbedaan ini membuat para pendukung kedua calon gubernur merasa menang, tak ada yang mengaku kalah. Akibatnya, penetapan siapa yang sejatinya menang berdasarkan hitungan final Komisi Pemilihan Umum Daerah setempat diwarnai protes. Bahkan kericuhan pecah karena massa memaksa menduduki gedung komisi daerah itu.
Hitung cepat sudah diperkenalkan sejak Pemilu 2004, namun hasilnya tak pernah dipakai sebagai rujukan oleh Komisi Pemilihan Umum untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Hitung cepat ini adalah suatu metode menghitung berdasarkan beberapa sampel di tempat pemungutan suara, bukan keseluruhannya. Tentu pemilihan sampel dilakukan dengan menimbang syarat tertentu agar kesalahan yang terjadi sekecil mungkin.
Dalam perjalanan kemudian, karena banyaknya pemilihan kepala daerah, lembaga survei kian canggih dalam memilih sampel. Didukung sarana komunikasi yang makin baik, hasil hitung cepat semakin akurat dan mencerminkan perolehan suara sesungguhnya. Namun, secanggih apa pun lembaga survei, masyarakat pemilih semestinya tahu bahwa hasil hitung cepat tak bisa dipakai sebagai rujukan final.
Di Sumatera Selatan hasil hitung cepat semestinya dianggap sementara. Tiga lembaga survei melakukan hitung cepat. Lembaga Survei Indonesia dan Lingkaran Survei Indonesia memenangkan Alex Noerdin dan Eddy Yusuf. Sementara Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis memenangkan pasangan Syahrial Oesman dan Helmy Yahya. Hasil berbeda ini menyebar terus ke masyarakat lewat pesan pendek dan tentu saja para pemilih meyakini jagonya menang berdasarkan lembaga survei yang memenangkannya. Helmy Yahya, sang calon wakil gubernur, bahkan langsung menggelar jumpa pers mengklaim kemenangan itu.
Ketegangan terjadi karena masyarakat terbelah, tak ada yang mau kalah. Peserta unjuk rasa nyaris bentrok dengan aparat keamanan. Melihat situasi yang tak sehat ini, langkah yang diambil oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Sumatera Selatan sudah tepat. Mereka mempercepat hasil penghitungan suara. Penetapan hasil pemilihan daerah yang direncanakan 16 September dimajukan lima hari menjadi 11 September. Yang menang dalam pemilihan itu adalah pasangan Alex-Eddy. Pendukung pasangan Syahrial-Helmy yang tak puas masih tetap protes, termasuk tidak menghadirkan saksi dalam pleno penghitungan itu.
Pada masa mendatang, pemilihan kepala daerah masih akan selalu terjadi. Bahkan tahun depan ada pemilihan anggota legislatif secara nasional, yang disusul pemilihan presiden. Pelajaran yang bisa diambil dari Bumi Sriwijaya itu: jangan menganggap hitung cepat sebagai sebuah keputusan final. Tunggulah hasil final dari komisi pemilihan daerah. Lembaga survei pun jangan bermain-main dengan hitung cepat ini. Kalau tak menguasai metode, kurang tenaga terlatih di lapangan, apalagi lembaga itu sifatnya partisan dan dibentuk oleh salah satu kontestan, jangan coba-coba mengumumkan hasil hitung cepat. Lembaga survei harus betul-betul independen.
Adapun pelajaran penting untuk komisi pemilihan, semakin cepat mengumumkan hasil final tentu semakin baik, sepanjang hasilnya valid. Jika kemajuan teknologi komunikasi bisa membantu menghitung lebih cepat, tidak perlu menunggu sampai dua minggu. Masyarakat pemilih membutuhkan kepastian segera. Jeda terlalu panjang memberikan peluang untuk munculnya ketegangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo