Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Ada yang lucu, yang norak, yang sedih

Pengalaman beberapa ibu perias pengantin di jakarta. apabila musim kawin tiba, akan sangat sibuk. selain merias pengantin, ada juga yang memberikan kursus. (sd)

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Jakarta, perayaan perkawinan sedang "ditradisikan." Upacara adat digali kembali setengah jorjoran untuk menggapai suasana daerah pada masa feodal. Pengantin berdandan secantik mungkin, sebab begitulah biasanya, dan upacara dilakukan menurut urutan kronologis pernikahan tempo dulu. Kalau bisa melebihi. Pernikahan ternyata tidak cukup dengan cinta. Sejumlah besar biaya harus ada untuk keramaian yang pada hakekatnya demi menegakkan gengsi -- atau: "kekeluargaan." Kegairahan ini, bagai suntikan hormon di tubuh para perias pengantin. Merekalah yang menyiapkan pasangan agar tampak seperti raja-raja zaman dulu. Perias Istana Ibu Sasongko, wanita Jawa yang merias pengantin selama 30 tahun, berkata: "Dulu perkawinan hanya untuk saingan. Rasa kedaerahannya kurang. Sekarang 'kan nggak, rasa kedaerahannya ada. Tapi itu karena ingin menonjolkan kebudayaan Indonesia." la juga menunjuk seringnya terdapat upacara di mana pengantin memakai pakaian daerah yang berbeda. Misalnya yang satu Jawa, yang satu lagi Palembang. Ini menyebabkan tampilnya 'ilmu tata rias' yang berbeda dengan perias yang berbeda, dalam satu saat. Demikianlah wanita 40 tahun yang masih kelihatan cantik ini berkesimpulan: pernikahan zaman sekarang jauh lebih praktis daripada dulu. "Selain uaacara bisa digabung jadi satu, warna-warni baju pengantin sekarang bisa macam-macam. Dahulu hanya hitam," katanya kepada TEMPO. Tidak kurang dari 3.000 pasang wajah sudah ditolong oleh perias pengantin yang memiliki 7 anak ini. Waktu ia memulainya pada tahun 1947, ia tidak membayangkan pekerjaan ini akan menjadi profesinya sampai tua. Ia hanya mencoba-coba - untuk seorang tetangga yang sedang dikawinkan. Sambil mengenangkan cara-cara rias Sala yang diterapkan pada wajahnya sendiri waktu ia masih gadis dahulu, ia bekerja dengan sangat hati-hati. Tertarik oleh kecermatannya, beberapa tetangga kemudian memintanya terus. Di sinilah ia mulai meletakkan dasar yang berbuah sampai sekarang. Waktu itu ia masih mempergunakan alat-alat sederhana sekali. Ramuan daun pepaya untuk memoles wajah pengantin wanita, misalnya. Memang tidak praktis. Baru tahun 1949 ia mulai mempergunakan pensil alis dan krim pembersih untuk pengantin Purnomo, alias Udel. Itu lho orang yang pernah main sebagai si Mamat dan sekarang dengan konyolnya menggantikan Kris Biantoro untuk acara 'Suka Hati' di TVRI. Ibu Sasongko mulai kerja rutin tahun 60-an. Suaminya pegawai kotapraja (sudah pensiun) ikut aktif merias, sehingga calon pengantin yang memesan tidak perlu terlalu repot karena proses yang lama. Apalagi di rumahnya tersedia pula baju-baju pengantin. Ia juga menjahit sendiri -- hanya untuk membordirnya ia kirim langsung ke Sala dengan biaya sampai Rp 100 ribu. Tak heran kalau namanya jadi selangit di Jakarta, bahkan tembus ke luar kota. Di Bandung ia malahan tersohor sebagai perias istana Soeharto. "Masak perias istana. Ya belum pantes dong, saya malu sekali," kata dukun manten Jawa ini merendahkan diri. Ia menjelaskan: waktu putera-puteri Presiden menikah dulu, bukan dia yang merias, karena yang dipakai adalah dodot. Dodot termasuk tradisi Jawa kuno yang tertinggi, karena itu perias dari Kratonyang diambil. "Tapi adik-adik, saudara Presiden yang lain, saya sendiri yang pegang," katanya. Cerewet Rumah Ibu Sasongko berbau wangi bunga melati. Selalu ramai. Satu hari bisa berpuluh orang bergantian datang. Ini memuncak pada musim kawin yang jatuh pada bulan haji. Ada yang muncul untuk bikin janji. Ada yang ingin coba pakaian. Beberapa datang bawa kopor, mengembalikan selop, tutup kepala, perhiasan pengantin yang dipinjam. Menik dan Menuk, puteri kembar Ibu Sasongko yang sesungguhnya sudah menikah, terpaksa tiap hari muncul untuk membantu kerepotan Ibu. Padahal mereka berdua tak berniat jadi perias pengantin di kemudian hari. "Tanggung jawab besar sekali," kata ibu ini memulai keluhannya. Ia menunjukkan betapa sedikitnya kemerdekaan yang tersisa untuk dipergunakan sebagai istirahat. Seringkali ia harus sudah berada di rumah calon pengantin pukul 5 pagi. Berarti paling lambat pukul 4 ia sudah harus terjaga. Mandi, berpakaian dan bersolek. Ia selalu memakai kain, bersolek serapi mungkin, untuk menghormati calon pengantin. Memang membosankan karena dilakukan tiap hari. Apalagi dalam satu hari sering lebih satu pesanan yang dilayani - pernah sampai tiga. Ini memerlukan pembagian waktu yang bisa bikin senewen -- apalagi kalau muncul halangan hujan. Satu ketika mobilnya mogok. Tiga pasang pengantin sudah menunggu sentuhannya. Terpaksa ia menempuh jarak Mayestik Jl. Radio, Jakarta, dengan becak. "Saat seperti itu terasa sekali kita punya tanggung jawab yang besar sekali," katanya mengenangkan hatinya yang dag-dig-dug sepanjang perjalanan. Beberapa hari setelah itu ia jatuh demam karena kehujanan. Waktu yang dipergunakan untuk membereskan pengantin wanita sebenarnya tidak lebih dari 2 jam. Sudah terhitung perjalanan. Apalagi ia punya seorang sopir yang yahud, dapat dipercaya dan tahu seluruh pelosok Ibukota - ditambah 6 orang pemuda sebagai asisten yang bertugas segala macam, termasuk menghias janur sikembar mayang Tapi toh bila kerjaan berbareng, tak urung ia bisa harus lembur sampai malam. Padahal untuk merias diperlukan hati yang sabar, sabar. Sering yang didandani cerewet bukan main, tidak mau ini, tidak mau itu, tidak suka dibeginiin, dibegituin, padahal maunya kelihatan lebih cantik dari aslinya. Maklum anak gedongan di Jakarta, ya nggak. Bukan pengantin kampung yang suka nurut. Jadinya dukun manten harus sabar, ikuti saja mau mereka, tapi diarahkan yang baik. Dimulai dengan menggelung rambut, memoles muka, terakhir mengenakan nakaian. Banyak orang beranggapan, perias pengantin mempunyai "pegangan khusus". Bahkan ada yang berpuasa terlebih dahulu supaya yang dirias jadi tambah cantik. Tapi ibu ini menyangkal keras. "Sungguh saya nggak pake apa-apa. Pegangan saya hanya pensil kok." Ia menerangkan bahwa yang terpenting adalah konsentrasi. Ketepatan untuk menyusun sanggul, mengikat konde sedemikian rupa sehingga yang memakainya betah. Tapi entah kenapa ya, banyak orang ngotot agar ibu ini yang menanganinya. Mereka menampik kalau hanya didandani oleh murid, meskipun sudah dipujikan ahli. Akibatnya ada satu keluarga yang dilayaninya komplit dari ibu mereka dulu sampai semua anak-anaknya kemudian. Dilihat dari angka, hidup dukun manten memang makmur. Satu hari Ibu Sasongko rata-rata menerima panggilan 2 sampai 3 kali. Tarifnya Rp 50 ribu. Untuk menteri, milyuner, orang gede, sengaja tak disebut berapa. Biasanya mereka itu jadi gengsi kalau bayar sedikit. Memasuki bulan-bulan tenang, seperti bulan puasa, ia tak hilang akal. Dibukanya kursus merias pengantin dengan ongkos Rp 25 ribu untuk 3 minggu. Muridnya sudah puluhan. Dua di antaranya bisa diandalkan untuk mewakili kalau ia benar-benar sibuk. Sampai di sini semuanya kedengaran enak. Toh ternyata tak selamanya segala sesuatu bisa beres. Pernah 2 kali ia tertipu oleh orang yang pinjam pakaian pengantin dengan pakai nama kartu sebuah salon. Beberapa minggu lewat, orang itu ternyata tidak nongol lagi. Bayangkan berapa harga pakaian macam itu. Tapi dasar Jawa, dukun manten ini sampai sekarang tetap tak pernah mengusut-usut identitas orang untuk menjamin keselamatan barang-barangnya. "Rasanya kok tidak enak," ujarnya. Sementara itu, sambil merias rupanya kuping juga harus dibiarkan mendengar ocehan calon pengantin. Barangkali di sini letak segi kemanusiaannya. Berbagai macam cerita sudah masuk ke telinganya, dari yang lucu, yang norak sampai yang menyedihkan. Ada yang dipaksa kawin padahal sudah punya ?acar. Ada yang hamil duluan dengan orang, kawinnya dengan orang lain lagi. Ada juga yang sableng, sudah punya pacar kok masih bimbang apa pilih yang pintar, apa pilih yang kaya, apa yang baik. Tiba-tiba ditawari kawin dengan orang lain lagi -- eh -- kok malah langsung setuju. Al Qur'an Sebegitu dulu Ibu Sasongko. Sekarang model yang lain, Ibu Ida Tadjuddin Yusuf. Perias pengantin Minangkabau ini, juga di Jakarta, mengatakan pernah juga merias pengantin yang tak direstui orangtua. Akibatnya upacara dilakukan setengah-setengah. Keluarga tidak menyediakan apa yang diperlukan. Pasangan pengantinlah yang mengusahakan sendiri, dan tak urung tentunya dari si tukang rias. Sedih, sangat sedih. Ida, 46 tahun, meneruskan profesi ibunya: Nur Ajelis (75 tahun), seorang merias yang sudah beken. Kedua anak beranak inilah yang telah membereskan pernikahan anak-anak orang penting seperti misalnya saja Yamin atau Adam Malik. Menurut mereka, dahulu ada peraturan yang boleh merias pengantin halya orang-orang "pucuk" alias ningrat. Tapi sekarang zaman kan sudah modern Segalanya berubah. Bahkan bukan haya bangsawan yang berhak memakai upacara adat. "Sekarang ada uang, uanglah yang nembuat orang bisa memakai adat apa aja. Biar bukan bangsawan bisa memakai adat bangsawan," ujar Uni Djelis, ibu Ida. Di samping itu "orang Padang iidak mengenal perhitungan hari. Menurut Padang, itu menurut Agama pula, semua hari adalah baik. Kalau Jawa tidak," kata Uni menjelaskan tentang waktu-waktu pernikahan. Uni Djelis dan Ida, bahkan di samping merias juga memimpin upacara. Upacara adat yang asli bisa berlangsung sampai 15 hari, jangan kaget. Makanya sekarang banyak orang ingin memakai pakaian adat Minang dan pelaminannya tapi tanpa upacara yang lengkap. Untuk jenis yang sederhana itu Ida dan Uni juga mendapat imbalan Rp 50 ribu. Kalau upacaranya lebih lengkap angka tersebut bisa bengkak sampai Rp 400 ribu, duilah. Bayangkan akan berapa besar biayanya kalau disertai juga dengan pembelian baju beserta sunting yang sebuahnya mencapai Rp 150 ribu. Sebagaimana diketahui, pelaminan adat Minang memang sedemikian mewahnya. Namun demikian Uni dan Ida tidak merasa uang yang diterimanya berkelebihan. Perias Minang ini menerima pesanan paling tidak sekali dalam satu bulan. Inipun sudah harus janji 3 bulan sebelumnya. Dalam merias, Ida mengaku memang ada peraturannya tersendiri. Ada pantangan, sajen (beras secupak, pisang sesisir, rokok, kelapa, dan sirih) diletakkan di kamar rias pengantin wanita. Menurut Uni, supaya wanita tidak pusing didandani dengan sunting yang begitu berat. Bacaannya pun ada - diambilkan dari ayat Qur'an, juga kalimat syahadat. Kabarnya ada keluarga yang bandel. Kurang percaya. Eh, akibatnya fatal. Pengantin mendadak tidak kuat, pusing, dan sebagainya. "Kita jangan menganggap remeh kepercayaan itu," kata Uni dengan serius. Uni Djelis belajar dari orangtuanya pula, dan berpraktek sejak tahun 1948. Sekarang ia memiliki beberapa orang asisten yang menjalankan tugas sementara ia mengawasi. Ia amat keki pada orang-orang yang terlalu sadar telah membayar. Mereka jadi bertindak seenaknya saja pada juru rias. Padahal "tak setetes air minum kami dapat, apalagi makan," ujar perias adat ini. Ditambahi oleh Uni Djelis: "Itulah orang yang tidak tahu adat! "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus