Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Jakarta, perayaan perkawinan sedang "ditradisikan." Upacara
adat digali kembali setengah jorjoran untuk menggapai suasana
daerah pada masa feodal. Pengantin berdandan secantik mungkin,
sebab begitulah biasanya, dan upacara dilakukan menurut urutan
kronologis pernikahan tempo dulu. Kalau bisa melebihi.
Pernikahan ternyata tidak cukup dengan cinta. Sejumlah besar
biaya harus ada untuk keramaian yang pada hakekatnya demi
menegakkan gengsi -- atau: "kekeluargaan." Kegairahan ini, bagai
suntikan hormon di tubuh para perias pengantin. Merekalah yang
menyiapkan pasangan agar tampak seperti raja-raja zaman dulu.
Perias Istana
Ibu Sasongko, wanita Jawa yang merias pengantin selama 30 tahun,
berkata: "Dulu perkawinan hanya untuk saingan. Rasa
kedaerahannya kurang. Sekarang 'kan nggak, rasa kedaerahannya
ada. Tapi itu karena ingin menonjolkan kebudayaan Indonesia." la
juga menunjuk seringnya terdapat upacara di mana pengantin
memakai pakaian daerah yang berbeda.
Misalnya yang satu Jawa, yang satu lagi Palembang. Ini
menyebabkan tampilnya 'ilmu tata rias' yang berbeda dengan
perias yang berbeda, dalam satu saat. Demikianlah wanita 40
tahun yang masih kelihatan cantik ini berkesimpulan: pernikahan
zaman sekarang jauh lebih praktis daripada dulu. "Selain
uaacara bisa digabung jadi satu, warna-warni baju pengantin
sekarang bisa macam-macam. Dahulu hanya hitam," katanya kepada
TEMPO.
Tidak kurang dari 3.000 pasang wajah sudah ditolong oleh perias
pengantin yang memiliki 7 anak ini. Waktu ia memulainya pada
tahun 1947, ia tidak membayangkan pekerjaan ini akan menjadi
profesinya sampai tua. Ia hanya mencoba-coba - untuk seorang
tetangga yang sedang dikawinkan. Sambil mengenangkan cara-cara
rias Sala yang diterapkan pada wajahnya sendiri waktu ia masih
gadis dahulu, ia bekerja dengan sangat hati-hati.
Tertarik oleh kecermatannya, beberapa tetangga kemudian
memintanya terus. Di sinilah ia mulai meletakkan dasar yang
berbuah sampai sekarang. Waktu itu ia masih mempergunakan
alat-alat sederhana sekali. Ramuan daun pepaya untuk memoles
wajah pengantin wanita, misalnya. Memang tidak praktis. Baru
tahun 1949 ia mulai mempergunakan pensil alis dan krim pembersih
untuk pengantin Purnomo, alias Udel. Itu lho orang yang pernah
main sebagai si Mamat dan sekarang dengan konyolnya menggantikan
Kris Biantoro untuk acara 'Suka Hati' di TVRI.
Ibu Sasongko mulai kerja rutin tahun 60-an. Suaminya pegawai
kotapraja (sudah pensiun) ikut aktif merias, sehingga calon
pengantin yang memesan tidak perlu terlalu repot karena proses
yang lama. Apalagi di rumahnya tersedia pula baju-baju
pengantin. Ia juga menjahit sendiri -- hanya untuk membordirnya
ia kirim langsung ke Sala dengan biaya sampai Rp 100 ribu.
Tak heran kalau namanya jadi selangit di Jakarta, bahkan tembus
ke luar kota. Di Bandung ia malahan tersohor sebagai perias
istana Soeharto. "Masak perias istana. Ya belum pantes dong,
saya malu sekali," kata dukun manten Jawa ini merendahkan diri.
Ia menjelaskan: waktu putera-puteri Presiden menikah dulu, bukan
dia yang merias, karena yang dipakai adalah dodot. Dodot
termasuk tradisi Jawa kuno yang tertinggi, karena itu perias
dari Kratonyang diambil. "Tapi adik-adik, saudara Presiden yang
lain, saya sendiri yang pegang," katanya.
Cerewet
Rumah Ibu Sasongko berbau wangi bunga melati. Selalu ramai. Satu
hari bisa berpuluh orang bergantian datang. Ini memuncak pada
musim kawin yang jatuh pada bulan haji. Ada yang muncul untuk
bikin janji. Ada yang ingin coba pakaian. Beberapa datang bawa
kopor, mengembalikan selop, tutup kepala, perhiasan pengantin
yang dipinjam. Menik dan Menuk, puteri kembar Ibu Sasongko yang
sesungguhnya sudah menikah, terpaksa tiap hari muncul untuk
membantu kerepotan Ibu. Padahal mereka berdua tak berniat jadi
perias pengantin di kemudian hari.
"Tanggung jawab besar sekali," kata ibu ini memulai keluhannya.
Ia menunjukkan betapa sedikitnya kemerdekaan yang tersisa untuk
dipergunakan sebagai istirahat. Seringkali ia harus sudah berada
di rumah calon pengantin pukul 5 pagi. Berarti paling lambat
pukul 4 ia sudah harus terjaga. Mandi, berpakaian dan bersolek.
Ia selalu memakai kain, bersolek serapi mungkin, untuk
menghormati calon pengantin. Memang membosankan karena dilakukan
tiap hari. Apalagi dalam satu hari sering lebih satu pesanan
yang dilayani - pernah sampai tiga. Ini memerlukan pembagian
waktu yang bisa bikin senewen -- apalagi kalau muncul halangan
hujan.
Satu ketika mobilnya mogok. Tiga pasang pengantin sudah menunggu
sentuhannya. Terpaksa ia menempuh jarak Mayestik Jl. Radio,
Jakarta, dengan becak. "Saat seperti itu terasa sekali kita
punya tanggung jawab yang besar sekali," katanya mengenangkan
hatinya yang dag-dig-dug sepanjang perjalanan. Beberapa hari
setelah itu ia jatuh demam karena kehujanan.
Waktu yang dipergunakan untuk membereskan pengantin wanita
sebenarnya tidak lebih dari 2 jam. Sudah terhitung perjalanan.
Apalagi ia punya seorang sopir yang yahud, dapat dipercaya dan
tahu seluruh pelosok Ibukota - ditambah 6 orang pemuda sebagai
asisten yang bertugas segala macam, termasuk menghias janur
sikembar mayang Tapi toh bila kerjaan berbareng, tak urung ia
bisa harus lembur sampai malam. Padahal untuk merias diperlukan
hati yang sabar, sabar. Sering yang didandani cerewet bukan
main, tidak mau ini, tidak mau itu, tidak suka dibeginiin,
dibegituin, padahal maunya kelihatan lebih cantik dari aslinya.
Maklum anak gedongan di Jakarta, ya nggak. Bukan pengantin
kampung yang suka nurut. Jadinya dukun manten harus sabar, ikuti
saja mau mereka, tapi diarahkan yang baik. Dimulai dengan
menggelung rambut, memoles muka, terakhir mengenakan nakaian.
Banyak orang beranggapan, perias pengantin mempunyai "pegangan
khusus". Bahkan ada yang berpuasa terlebih dahulu supaya yang
dirias jadi tambah cantik. Tapi ibu ini menyangkal keras.
"Sungguh saya nggak pake apa-apa. Pegangan saya hanya pensil
kok." Ia menerangkan bahwa yang terpenting adalah konsentrasi.
Ketepatan untuk menyusun sanggul, mengikat konde sedemikian rupa
sehingga yang memakainya betah. Tapi entah kenapa ya, banyak
orang ngotot agar ibu ini yang menanganinya. Mereka menampik
kalau hanya didandani oleh murid, meskipun sudah dipujikan ahli.
Akibatnya ada satu keluarga yang dilayaninya komplit dari ibu
mereka dulu sampai semua anak-anaknya kemudian.
Dilihat dari angka, hidup dukun manten memang makmur. Satu hari
Ibu Sasongko rata-rata menerima panggilan 2 sampai 3 kali.
Tarifnya Rp 50 ribu. Untuk menteri, milyuner, orang gede,
sengaja tak disebut berapa. Biasanya mereka itu jadi gengsi
kalau bayar sedikit. Memasuki bulan-bulan tenang, seperti bulan
puasa, ia tak hilang akal. Dibukanya kursus merias pengantin
dengan ongkos Rp 25 ribu untuk 3 minggu. Muridnya sudah puluhan.
Dua di antaranya bisa diandalkan untuk mewakili kalau ia
benar-benar sibuk.
Sampai di sini semuanya kedengaran enak. Toh ternyata tak
selamanya segala sesuatu bisa beres. Pernah 2 kali ia tertipu
oleh orang yang pinjam pakaian pengantin dengan pakai nama kartu
sebuah salon. Beberapa minggu lewat, orang itu ternyata tidak
nongol lagi. Bayangkan berapa harga pakaian macam itu. Tapi
dasar Jawa, dukun manten ini sampai sekarang tetap tak pernah
mengusut-usut identitas orang untuk menjamin keselamatan
barang-barangnya. "Rasanya kok tidak enak," ujarnya.
Sementara itu, sambil merias rupanya kuping juga harus dibiarkan
mendengar ocehan calon pengantin. Barangkali di sini letak segi
kemanusiaannya. Berbagai macam cerita sudah masuk ke telinganya,
dari yang lucu, yang norak sampai yang menyedihkan. Ada yang
dipaksa kawin padahal sudah punya ?acar. Ada yang hamil duluan
dengan orang, kawinnya dengan orang lain lagi. Ada juga yang
sableng, sudah punya pacar kok masih bimbang apa pilih yang
pintar, apa pilih yang kaya, apa yang baik. Tiba-tiba ditawari
kawin dengan orang lain lagi -- eh -- kok malah langsung setuju.
Al Qur'an
Sebegitu dulu Ibu Sasongko. Sekarang model yang lain, Ibu Ida
Tadjuddin Yusuf. Perias pengantin Minangkabau ini, juga di
Jakarta, mengatakan pernah juga merias pengantin yang tak
direstui orangtua. Akibatnya upacara dilakukan
setengah-setengah. Keluarga tidak menyediakan apa yang
diperlukan. Pasangan pengantinlah yang mengusahakan sendiri, dan
tak urung tentunya dari si tukang rias. Sedih, sangat sedih.
Ida, 46 tahun, meneruskan profesi ibunya: Nur Ajelis (75 tahun),
seorang merias yang sudah beken. Kedua anak beranak inilah yang
telah membereskan pernikahan anak-anak orang penting seperti
misalnya saja Yamin atau Adam Malik. Menurut mereka, dahulu ada
peraturan yang boleh merias pengantin halya orang-orang "pucuk"
alias ningrat. Tapi sekarang zaman kan sudah modern Segalanya
berubah. Bahkan bukan haya bangsawan yang berhak memakai upacara
adat.
"Sekarang ada uang, uanglah yang nembuat orang bisa memakai adat
apa aja. Biar bukan bangsawan bisa memakai adat bangsawan,"
ujar Uni Djelis, ibu Ida. Di samping itu "orang Padang iidak
mengenal perhitungan hari. Menurut Padang, itu menurut Agama
pula, semua hari adalah baik. Kalau Jawa tidak," kata Uni
menjelaskan tentang waktu-waktu pernikahan.
Uni Djelis dan Ida, bahkan di samping merias juga memimpin
upacara. Upacara adat yang asli bisa berlangsung sampai 15
hari, jangan kaget. Makanya sekarang banyak orang ingin memakai
pakaian adat Minang dan pelaminannya tapi tanpa upacara yang
lengkap. Untuk jenis yang sederhana itu Ida dan Uni juga
mendapat imbalan Rp 50 ribu. Kalau upacaranya lebih lengkap
angka tersebut bisa bengkak sampai Rp 400 ribu, duilah.
Bayangkan akan berapa besar biayanya kalau disertai juga dengan
pembelian baju beserta sunting yang sebuahnya mencapai Rp 150
ribu. Sebagaimana diketahui, pelaminan adat Minang memang
sedemikian mewahnya. Namun demikian Uni dan Ida tidak merasa
uang yang diterimanya berkelebihan. Perias Minang ini menerima
pesanan paling tidak sekali dalam satu bulan. Inipun sudah harus
janji 3 bulan sebelumnya.
Dalam merias, Ida mengaku memang ada peraturannya tersendiri.
Ada pantangan, sajen (beras secupak, pisang sesisir, rokok,
kelapa, dan sirih) diletakkan di kamar rias pengantin wanita.
Menurut Uni, supaya wanita tidak pusing didandani dengan sunting
yang begitu berat. Bacaannya pun ada - diambilkan dari ayat
Qur'an, juga kalimat syahadat. Kabarnya ada keluarga yang
bandel. Kurang percaya. Eh, akibatnya fatal. Pengantin mendadak
tidak kuat, pusing, dan sebagainya. "Kita jangan menganggap
remeh kepercayaan itu," kata Uni dengan serius.
Uni Djelis belajar dari orangtuanya pula, dan berpraktek sejak
tahun 1948. Sekarang ia memiliki beberapa orang asisten yang
menjalankan tugas sementara ia mengawasi. Ia amat keki pada
orang-orang yang terlalu sadar telah membayar. Mereka jadi
bertindak seenaknya saja pada juru rias. Padahal "tak setetes
air minum kami dapat, apalagi makan," ujar perias adat ini.
Ditambahi oleh Uni Djelis: "Itulah orang yang tidak tahu adat! "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo