SEORANG mahasiswa ITB ketika berKKN (kuliah kerja nyata) ke
desa, mendapat ide yang orisinil. Memanfaatkan kerangka,
roda-roda gigi dan pedal sepeda, dibuatnya mesin pemarut kelapa
yang dikayuh oleh kaki pengendaranya. Itulah satu contoh
pemanfaatan tenaga sepeda di luar bidang transpor. Atau
tepatnya: pemanfaatan tenaga kaki manusia untuk memindahkan
putaran roda gigi (gir) besar ke roda gigi kecil, untuk
meringankan kerja tangan. Contoh kemungkinannya masih banyak
lagi.
Bertolak dari cita-cita 'teknologi madya' dari almarhum EF
Schumacher, satu lembaga di Inggeris baru-baru ini
memperkenalkan mesin giling tepung yang dirakit pada sepeda
standar. 'Sepeda penggiling tepung' ciptaan Tropical Products
Institute (TPI) itu, memungkinkan orang menggiling 80 Kg tepung
sehari. Sementara dengan teknik gilingan batu yang hingga kini
masih populer di Dunia Ketiga, maksimal hanya 35 Kg sehari.
Mudah dilayani dan mudah dirakit oleh bengkel sepeda yang
sederhana sekalipun, mesin itu harganya hanya sekitar 130
ringgit Malaysia (Rp 16 ribu). Operatornya dapat duduk di atas
sadel menggenjot pedal seperti mengendarai sepeda biasa. Hanya
saja, gir belakangnya tak dipakai memutar roda belakang. Tapi
melalui sumbu mendatar, putaran gir sepeda dipindahkan ke rotor
dalam mesin giling mini yang dirakit pada goncengan sepeda itu.
Berputardengan kecepatan 5 ribu pusingan per menit, rotor itu
menggiling butiran padi-padian atau kacang-kacangan sampai cukup
halus, dan lolos melalui saringan.
Di samping tergantung pada otot kaki, stamina, dan semangat
'pengendara'nya, kapasitas kerja mesin giling itu ter
gantung pula pada jenis butiran yang digiling. Percobaan
menggiling kacang kedele, jagung, dan jagung cantel sorghum)
menunjukkan hasil yang memuaskan. Percobaan lapangan selama 12
bulan di Nepal, di kaki pegunungan Himalaya yang dingin--di sana
orang memang gemar sport buat cari panas - juga menunjukkan
bahwa onderdil sepeda itu tak cepat aus, dan hanya butuh
perawatan minim.
Setelah sukses di Nepal, TPI bermaksud memperkenalkan sepeda
istimewa itu pula ke Zambia, Kenya, Sudan, Malawi (semuanya di
Afrika), serta Bangladesh. Pengenalannya ke negara-negara Asia
Tenggara tak disinggung oleh koran Malaysia, New Sunday Times,
dalam edisi 11 Desember lalu.
Mungkin saja, TPI belum tertarik memperkenalkannya ke
negeri-negeri yang banyak makan nasi ini. Sebab berbeda dengan
gandum yang harus digiling dulu jadi terigu sebelum dibakar jadi
roti, beras dapat langsung dimasak tanpa digiling. Sehingga yang
lebih diperlukan di sini mungkin mesin pengelupas kulit padi
(huller) yang dirakit pada sepeda.
Betapapun, ide orang Inggeris itu adalah ide yang dirasuki
gagasan Schumacher, untuk mencari bentuk teknologi yang tepat
dan bisa menghapus kemiskinan dan ketidakadilan. Ide yang sama,
jika diberi peluang, bisa muncul di negeri berkembang sendiri.
Misalnya Unit Teknologi Desa di Nairobi, ibukota Kenya. Di sana,
dengan bantuan Unicef, ahli Afrika merancang pompa irigasi yang
digerakkan oleh dua pengendara sepeda. Pompa bikinan Kenya itu
mampu merlgangicat 10 gallon (hampir 40 liter) air tiap menit
dari sumur dangkal.
Tak kalah adalah pemikiran Charles Seven dalam majalah Sweden
Now, (No. 3/1977). Dia melihat bagaimana sepeda statistik alias
ergocyale sudah populer di kalangan pekerja kantoran yang kurang
sport. Tapi sayangnya, itu hanya membuang enerji saja. Karena
itu, dianjurkannya agar sepeda statis itu digandengkan dengan
generator listrik yang dapat menghidupkan TV, alat-alat listrik
lain. Yang seperti ini di Indonesia zaman perjuangan dulu biasa
dilakukan. Dalam film Enam Jam Di Yogya ada adegan bagaimana
pihak Republik kirim berita ke luar negeri: D. Djajakusuma
menggenjot sepeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini