Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Musyawarah Adem Sarjana Hukum

Dalam munas perhimpunan sarjana hukum indonesia di lembang. ketua ma, oemar seno adji menyerukan untuk memikirkan kritik terhadap para hakim dan lembaga pengadilan yang kurang memancarkan kewibawaan. (hk)

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI pada bagian tertentu dari pidatonya, Ketua Mahkarnah Agung Profesor Oemar Seno Adji yang bertubuh tinggi besar itu tiba-tiba agak tersendat-sendat. Yaitu ketika ia mengajak para ahli hukum (peserta Munas Persahi, Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia, 19 sampai 22 Desember di Lembang) untuk memikirkan satu hal: telah terjadi penghinaan terhadap badan peradilan. Kritik terhadap para hakim & pengadilan, seperti dilontarkan terang-terangan oleh banyak advokat, menurut Seno Adji "sudah melampaui batas-batas kritik terhadap pengadilan dan keputusannya." Seno Adji tak memberi contoh "penghinaan" macam apa yang dilempar orang ke wajah pengadilan. Hanya belakangan, seperti kita ketahui, ada yang mengatakan lembaga peradilan dewasa ini kurang memancarkan kewibawaan. Ada juga yang lebih terus terang: "Sulit bagi pengadilan melepaskan diri dari pengaruh duit" (TEMPO, 15 Oktober). Itu, "kalau di luar negeri dapat dituntut," kata Seno Adji. Di sini tidak. Sebab "tak ada undang-undang." Tetapi bukankah yang nuntut bisa repot sendiA, seperti ujar seorang pengacara senior sambil tertawa? Sebab "ketidak beresan pengadilan dan hakimnyasudah menjadi rahasia umum," katanya. Seorang sarjana hukum dari Sumatera, di luar acara musyawarah, bercerita. Di daerahnya ada kasus korupsi. Yang terlibat antara lain seorang perwira ABRI. Di luar pengadilan rupanya sudah terjadi perundingan antara atasan tertuduh, jaksa, hakim, dan pembela. Atasan tertuduh menyanggupi membagi sejumlah uang kepada para penegak hukum. Sebab, begitu ceritanya, hamba hukum sudah berjanji hukuman bisa ringan, asal "tahu sendiri." Lalu sehari sebelum vonis, ada panitera pengadilan yang nyelonong ke tempat tahanan. Kepada tertuduh ia menagih sesuatu. Yang ditagih, anehnya, menolak. Ia merasa lebih baik dihukum berat daripada harus menyuap. Panitera berang, lalu mengancam: "Lihat saja keputusan kau besok!" Benar saja. Keesokan harinya putusan hakim dibacakan. Terhukum tetap tenang dan menerima baik putusan yang memang berat. Tapi belakangan ia membuat perhitungan. Dibeberkannya segala perlakuan penegak hukum, melalui berpucuk-pucuk surat kepada para atasan. Si terhukum puas. Ia tahu bahwa oditur, jaksa penuntut yang mengatur permainan dengan hakim, ditindak tegas: dipindahtugaskan, turun pangkat dan kedudukannya. Itu karena si tertuduh kebetulan bertindak - dan ditanggapi. Hanya itu yang menarik. Selebihnya, hasil musyawarah para ahli hukum kali ini tak ada yang mengejutkan. Dihadiri 75 peserta, dari 45 cabang Persahi sc Indonesia, suasana pertemuan boleh dibilang kikuk. Paling tidak llal itu tergambar pada hasil dan keputusan Munas. Harap dimengerti: yang hadir berbagai kalangan hukum yang berbeda profesi dan kepentingan: para advokat, jaksa, hakim polisi tentara dan ilmiawan. Agar sama-sama merasa puas - dan aman - maka pernyataan, deklarasi dan keputusan adem saja. Pernyataan Persahi misalnya, tak lebih dari "menyambut baik kebijaksanaan Pemerintah dalam membebaskan para tahanan G-3-S/PKI." Dan yang disebut Deklarasi Lembang. asal tahu saja, sesuatu yang harusnya sudah lama dipraktekkan bukan di canangkan: "Para sarjana hukum Indonesia adalah sarjana hukum pengemban kebenaran, keadilan dan kemanusiaan berdasarkan Pancasila." Keputusan lainnya? Tentang Hak-hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana misalnya, dibahas soal soal yang tak asing lagi: Asas presumption of innocence (pra-anggapan tak bersalah bagi tersangka), bantuan hukum bagi tersangka, campur tangan luar terhadap pengadilan, soal penahanan dan cara pemeriksaan pendahuluan, pembelokan perkara perdata jadi pidana dan beberapa lagi. Yang 'lumayan' ialah soal "Hak Asasi Hakim" dan apa yang disebut tnal by the press (peradilan oleh pers). Jika seorang pembela memperoleh kekebalan untuk bicara apa saja di pengadilan dalam rangka membela perkara, perlu inga diatur agar "hakim mendapat kekeba]an terhadap tuntutan hukum mengenai hal-hal yang dilakukannya dalam persidangan .... " Rupanya selama ini para sarjana hukum terganggu oleh kerja pers atas pemb'eritaan sesuatu perkara. Jadi Munas para sarjana hukum perlu memutuskan: agar pemberitaan pers mengenai sesuatu perkara, "baik perkara tersebut masih dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan. maupun selama dan setelah persidangan selesai," dibatasi saja. Bahkan mereka juga menganggap perlu "penyiaran tersebut dilarang, karena sudah merupakan pemeriksaan oleh pers, bahkan dapat dirasakan sebagai 'penghukuman'." Yang bicara banyak dalam Munas Persahi memang para advokat. Suara mereka terhitung panas terhadap praktek penegakan hukum. Soewidji, peserta dari Sala, berseloroh mengusulkan: baiknya papan nama kantor kejaksaan ditulis begini: "Kantor Kejaksaan dan Inkasso." Sebab kejaksaan, yang harusnya cuma berurusan dengan perkara pidana, prakteknya mengurus soal utang-piutang segala. Dan masih banyak lagi ungkapan yan senada. Hanya saja tentu bukan bagian yang "tajam dari suara advokat yang tertampung dalam keputusan musyawarah yang bukan diselenggarakan Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) itu. "Bukan karena rasa takut," ujar Harjono Tjirosubono SH, "tapi khawatir ada yang salah tafsir." Jenderal EY Kanter, Kepala Badan Pembinaan Hukum Hankam, terpilih kembali sebagai Ketua Umum Persahi secara aklamasi. Wakilnya, Albert Hasibuan dan Harjono. Mereka bertugas, antara lain, menghidupkan organisasi di daerah. Sebab selama ini, menurut beberapa orang daerah, "Persahi cuma untuk arisan saja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus