Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMPAI pada bagian tertentu dari pidatonya, Ketua Mahkarnah
Agung Profesor Oemar Seno Adji yang bertubuh tinggi besar itu
tiba-tiba agak tersendat-sendat. Yaitu ketika ia mengajak para
ahli hukum (peserta Munas Persahi, Perhimpunan Sarjana Hukum
Indonesia, 19 sampai 22 Desember di Lembang) untuk memikirkan
satu hal: telah terjadi penghinaan terhadap badan peradilan.
Kritik terhadap para hakim & pengadilan, seperti dilontarkan
terang-terangan oleh banyak advokat, menurut Seno Adji "sudah
melampaui batas-batas kritik terhadap pengadilan dan
keputusannya."
Seno Adji tak memberi contoh "penghinaan" macam apa yang
dilempar orang ke wajah pengadilan. Hanya belakangan, seperti
kita ketahui, ada yang mengatakan lembaga peradilan dewasa ini
kurang memancarkan kewibawaan. Ada juga yang lebih terus terang:
"Sulit bagi pengadilan melepaskan diri dari pengaruh duit"
(TEMPO, 15 Oktober). Itu, "kalau di luar negeri dapat dituntut,"
kata Seno Adji. Di sini tidak. Sebab "tak ada undang-undang."
Tetapi bukankah yang nuntut bisa repot sendiA, seperti ujar
seorang pengacara senior sambil tertawa? Sebab "ketidak beresan
pengadilan dan hakimnyasudah menjadi rahasia umum," katanya.
Seorang sarjana hukum dari Sumatera, di luar acara musyawarah,
bercerita. Di daerahnya ada kasus korupsi. Yang terlibat antara
lain seorang perwira ABRI. Di luar pengadilan rupanya sudah
terjadi perundingan antara atasan tertuduh, jaksa, hakim, dan
pembela. Atasan tertuduh menyanggupi membagi sejumlah uang
kepada para penegak hukum. Sebab, begitu ceritanya, hamba hukum
sudah berjanji hukuman bisa ringan, asal "tahu sendiri."
Lalu sehari sebelum vonis, ada panitera pengadilan yang
nyelonong ke tempat tahanan. Kepada tertuduh ia menagih sesuatu.
Yang ditagih, anehnya, menolak. Ia merasa lebih baik dihukum
berat daripada harus menyuap. Panitera berang, lalu mengancam:
"Lihat saja keputusan kau besok!" Benar saja. Keesokan harinya
putusan hakim dibacakan. Terhukum tetap tenang dan menerima baik
putusan yang memang berat. Tapi belakangan ia membuat
perhitungan. Dibeberkannya segala perlakuan penegak hukum,
melalui berpucuk-pucuk surat kepada para atasan. Si terhukum
puas. Ia tahu bahwa oditur, jaksa penuntut yang mengatur
permainan dengan hakim, ditindak tegas: dipindahtugaskan, turun
pangkat dan kedudukannya. Itu karena si tertuduh kebetulan
bertindak - dan ditanggapi.
Hanya itu yang menarik. Selebihnya, hasil musyawarah para ahli
hukum kali ini tak ada yang mengejutkan. Dihadiri 75 peserta,
dari 45 cabang Persahi sc Indonesia, suasana pertemuan boleh
dibilang kikuk. Paling tidak llal itu tergambar pada hasil dan
keputusan Munas. Harap dimengerti: yang hadir berbagai kalangan
hukum yang berbeda profesi dan kepentingan: para advokat, jaksa,
hakim polisi tentara dan ilmiawan.
Agar sama-sama merasa puas - dan aman - maka pernyataan,
deklarasi dan keputusan adem saja. Pernyataan Persahi misalnya,
tak lebih dari "menyambut baik kebijaksanaan Pemerintah dalam
membebaskan para tahanan G-3-S/PKI." Dan yang disebut Deklarasi
Lembang. asal tahu saja, sesuatu yang harusnya sudah lama
dipraktekkan bukan di canangkan: "Para sarjana hukum Indonesia
adalah sarjana hukum pengemban kebenaran, keadilan dan
kemanusiaan berdasarkan Pancasila."
Keputusan lainnya? Tentang Hak-hak Asasi Manusia Dalam Hukum
Acara Pidana misalnya, dibahas soal soal yang tak asing lagi:
Asas presumption of innocence (pra-anggapan tak bersalah bagi
tersangka), bantuan hukum bagi tersangka, campur tangan luar
terhadap pengadilan, soal penahanan dan cara pemeriksaan
pendahuluan, pembelokan perkara perdata jadi pidana dan beberapa
lagi.
Yang 'lumayan' ialah soal "Hak Asasi Hakim" dan apa yang disebut
tnal by the press (peradilan oleh pers). Jika seorang pembela
memperoleh kekebalan untuk bicara apa saja di pengadilan dalam
rangka membela perkara, perlu inga diatur agar "hakim mendapat
kekeba]an terhadap tuntutan hukum mengenai hal-hal yang
dilakukannya dalam persidangan .... "
Rupanya selama ini para sarjana hukum terganggu oleh kerja pers
atas pemb'eritaan sesuatu perkara. Jadi Munas para sarjana hukum
perlu memutuskan: agar pemberitaan pers mengenai sesuatu
perkara, "baik perkara tersebut masih dalam tingkat pemeriksaan
pendahuluan. maupun selama dan setelah persidangan selesai,"
dibatasi saja. Bahkan mereka juga menganggap perlu "penyiaran
tersebut dilarang, karena sudah merupakan pemeriksaan oleh pers,
bahkan dapat dirasakan sebagai 'penghukuman'."
Yang bicara banyak dalam Munas Persahi memang para advokat.
Suara mereka terhitung panas terhadap praktek penegakan hukum.
Soewidji, peserta dari Sala, berseloroh mengusulkan: baiknya
papan nama kantor kejaksaan ditulis begini: "Kantor Kejaksaan
dan Inkasso." Sebab kejaksaan, yang harusnya cuma berurusan
dengan perkara pidana, prakteknya mengurus soal utang-piutang
segala. Dan masih banyak lagi ungkapan yan senada.
Hanya saja tentu bukan bagian yang "tajam dari suara advokat
yang tertampung dalam keputusan musyawarah yang bukan
diselenggarakan Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) itu.
"Bukan karena rasa takut," ujar Harjono Tjirosubono SH, "tapi
khawatir ada yang salah tafsir."
Jenderal EY Kanter, Kepala Badan Pembinaan Hukum Hankam,
terpilih kembali sebagai Ketua Umum Persahi secara aklamasi.
Wakilnya, Albert Hasibuan dan Harjono. Mereka bertugas, antara
lain, menghidupkan organisasi di daerah. Sebab selama ini,
menurut beberapa orang daerah, "Persahi cuma untuk arisan saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo