SAKIT itu semakin mahal. Terutama untuk mereka dari golongan ekonomi lemah. Apalagi mulai tahun depan rumah sakit pemerintah menjadi lembaga swadana. Ini berarti rumah sakit pemerintah dapat hak mengelola keuangannya sendiri. "Termasuk menghimpun dana dan menaikkan tarif," kata dr. Brotowasisto, Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Sudah menjadi rahasia umum, pendanaannya yang buruk itu membuat rumah sakit pemerintah selama ini menghadapi banyak masalah. Apalagi pelayanannya bolak-balik dikeluhkan oleh masyarakat. Perlengkapan dan peralatannya telantar. Bahkan, angka infeksi nasokomial akibat pencemaran kuman di rumah sakit rata-rata tinggi. Maka, sudah saatnya rumah sakit pemerintah dibenahi. Menurut Dirjen, otonomisasi adalah sebagai jalan keluar. "Sekarang ini rumah sakit pemerintah sangat bergantung pada dana pemerintah, sehingga sulit mengembangkan diri," katanya dalam ceramahnya, Rabu pekan silam, di RS Hasan Sadikin, Bandung. Di masa datang setiap rumah sakit pemerintah bisa mengelola dana dan anggarannya masing-masing. Dengan demikian, rumah sakit pemerintah dapat menyusun strateginya untuk mengikuti keadaan sekeliling. Konsekuensinya, tarif rumah sakit pemerintah tidak harus sama di seluruh Indonesia. Menurut Brotowasisto kepada Iwan Qodar dari TEMPO, rencana menjadikan rumah sakit pemerintah lembaga swadana sebetulnya sudah lama. Namun, baru pada 1987 kemungkinannya benar-benar dipikirkan. Dan sejak tahun itu Departemen Kesehatan (Depkes) melakukan berbagai survei dan proyek percobaan. Penerapannya, kata Brotowasisto, akan bertahap antara 1991 dan 1992. Yang didahulukan adalah rumah sakit yang sudah sehat keuangannya. Menurut observasi Depkes, sekitar 60% rumah sakit di Pulau Jawa, dan beberapa rumah sakit di luar Jawa, mempunyai tingkat pendanaan yang cukup sehat. Dasar kebijaksanaan baru itu, tambah Dirjen, karena semakin tidak imbangnya pendanaan rumah sakit pemerintah dalam total pengeluaran Depkes. Pada tahun 1989-1990, dari anggaran rutin Depkes sekitar Rp 219 milyar, sekitar Rp 80 milyar dianggarkan untuk rumah sakit. Ternyata, itu pun tak mencukupi. Dan tahun ini Depkes masih harus menyuntik lagi dana Rp 50 milyar. Padahal, sebagian rumah sakit pemermtah sebenarnya sudah bisa mengatasi kekurangan dana itu, khususnya rumah sakit tipe A dan B. Kedua tipe rumah sakit ini tergolong terbaik dalam tenaga dokter dan tingkat ilmu kesehatannya. Pengobatan yang berat dan sulit umumnya harus dilaksanakan di rumah sakit tipe A dan B ini. Tapi karena terikat peraturan, misalnya standar tarif, penghimpunan dana di rumah sakit ini tak bisa dilakukan. Tentang kekhawatiran rumah sakit pemerintah menjadi komersial, Brotowasisto menegaskan, fungsi sosial rumah sakit pemerintah tak akan diubah. Operasinya tetap menitikberatkan pelayanan masyarakat. Otonomisasi, dasarnya, membuka peluang menerapkan kaidah ekonomi dan dalam pengelolaan, misalnya efisiensi. Untuk melayani masyarakat yang tidak mampu, menurut Dirjen, setiap rumah sakit diwajibkan menjalankan subsidi silang. Secara sederhana diuraikan begini: yang kaya membantu yang miskin. Idealnya, prinsip ini dikelola melalui sistem asuransi kesehatan. Dalam ekonomi kesehatan dikenal dua asuransi, yaitu asuransi kesehatan pribadi dan asuransi kesehatan sosial. Nilai asuransi kesehatan pribadi ditentukan jumlah nominal. Karena itu, premi yang dibayar setiap bulan bisa berbeda-beda, dan nilainya tak berlimit. Dengan kata lain, bisa komersial. Sedangkan asuransi kesehatan sosial itu terbatas. Preminya bersifat relatif, misalnya persentase tertentu dari gaji. Kini yang sudah dijalankan adalah asuransi kesehatan sosial (Askes) di kalangan pegawai negeri. Setiap pegawai negeri dan keluarga mendapat perawatan cuma-cuma, sampai dengan pengobatan rawat-inap di rumah sakit. Dananya berasal dari pemotongan gaji pegawai negeri secara rata 2%, tanpa pandang bulu. Maka, subsidi silang (dari yang bergaji tinggi untuk yang bergaji rendah) telah terjadi dengan sendirinya. Tapi, subsidi silang yang dimaksud Dirjen bukan hanya asuransi kesehatan sosial. Seandainya di rumah sakit pemerintah bisa "dipasarkan" asuransi kesehatan pribadi, keuntungannya bisa sekali lagi digunakan untuk subsidi silang. Menurut Dr. Ascobat Gani, kerja sama antara badan asuransi dan badan perawatan kesehatan (rumah sakit) memang dikenal. Dalam ekonomi kesehatan itu disebut Health Maintenance Organization (HMO) . "Di sini terbuka peluang keuntungan untuk digali," kata ahli ekonomi kesehatan itu yang baru-baru ini diangkat menjadi konsultan ekonomi kesehatan Departemen Kesehatan. Dalam HMO, rumah sakit jadi lebih aktif. Tidak hanya mengurusi pasien rawat-inap, tapi juga pemeliharaan kesehatan secara menyeluruh. Sejauh ini rumah sakit pemerintah memang tidak lagi hanya tempat merawat pasien yang menginap. Membesarnya fungsi klinik (seperti praktek dokter) telah membuat rumah sakit menjadi pusat kesehatan masyarakat yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh. Berhasilnya usaha menjaga kesehatan dalam HMO bisa mengakibatkan menurunnya peserta asuransi yang harus dirawat di rumah sakit. Dengan demikian, HMO (asuransi dan rumah sakit) mendapat surplus atau keuntungan dari premi yang dibayarkan pesertanya. Maka, keuntungan rumah sakit tidak harus dihitung hanya dari banyak pasien rawat-inap yang dasar perhitungannya bed occupation rate, alias tingkat penggunaan tempat tidur. Keuntungan itulah, menurut Brotowasisto, yang bisa digunakan untuk membantu secara langsung kaum miskin. Khususnya pasien yang tak dapat dijangkau asuransi. Kelompok ini, yang umumnya berasal dari sektor informal, mencapai rata-rata 10% dari pengunjung rumah sakit pemerintah. Kepada mereka biasanya diberikan perawatan cuma-cuma. Paham, mereka memang tak mampu bayar. Menurut Ascobat Gani, kelompok informal dari sektor ekonomi rendah memang masalah yang harus diperhatikan. Dari mereka ini sulit dikutip iuran asuransi karena mereka tak terikat pada suatu lembaga. Di samping itu, kesadaran asuransi berkaitan dengan kebudayaan. Masyarakat kita, yang masih menganut sistem extended family, menurut Gani, tidak merasa terancam ketika menghadapi penyakit. Kalau ada yang sakit, keluarga besar selalu siap membantu. Termasuk menyubsidi, kini Pemerintah harus berhati-hati dalam mendistribusikan anggaran pembangunan di sektor kesehatan. "Karena dana pembangunan memang sudah mulai berkurang," kata Dr. Prijono Tjiptoherianto kepada Leila Chudori dari TEMPO. Menurut ahli ekonomi kesehatan ini, kendati anggaran untuk sektor kesehatan naik terus, persentasenya terhadap keseluruhan pengeluaran pembangunan mengecil dari tahun ke tahun. Turunnya peran pemerintah ini membuat investasi di sektor kesehatan pada tahun anggaran 1989/1990 tak sampai 2% dari PDB (produk domestik bruto). Padahal, idealnya, menurut WHO (organisasi kesehatan sedunia), investasi di sektor kesehatan sebaiknya 5% dari PDB. Menurut Ascobat Gani, dalam Jumlah total seluruh pengeluaran kesehatan, peran pemerintah hanya 40%. Sisanya yang 60% itu dikeluarkan oleh masyarakat sendiri. Ini menunjukkan terdapat kelompok masyarakat yang mampu membiayai pengeluaran kesehatannya. Peran masyarakat ini masih bisa ditingkatkan. Dalam deregulasi ekonomi di bidang kesehatan Mei lalu, tampak Pemerintah berusaha meningkatkan peran investasi swasta itu. Khususnya di bidang industri farmasi. Sekarang, usaha itu juga dicobakan di lingkungan rumah sakit pemerintah. Masuknya dana masyarakat ke sektor rumah sakit bukan mustahil. Terdapat dua kemungkinan untuk menarik dana masyarakat ke sektor rumah sakit. Yaitu mengembangkan peran rumah sakit swasta atau menyerap dana masyarakat ke rumah sakit pemerintah. Departemen Kesehatan agaknya memilih yang kedua. Ada sebabnya. "Kita harus melihat yang datang ke rumah sakit pemerintah," kata Gani. Bukan cuma masyarakat bawah, tapi juga mereka yang mampu membayar. "Karena rumah sakit pemerintah di kota besar memiliki kualitas dokter dan pengobatan yang relatif lebih tinggi," katanya. Maka, mengembangkan ramah sakit pemerintah berarti mengembangkan kualitas. Sementara itu, mengembangkan rumah sakit swasta secara umum hanya berarti mengembangkan servis atau pelayanannya. Keadaan itu menunjukkan yang menikmati subsidi pemerintah melalui rumah sakit pemerintah bukan cuma masyarakat bawah, melainkan juga yang mampu membayar. Inilah yang akan dikurangi karena mereka tergolong mampu. Kemampuan membayar bahkan ditingkatkan menjadi subsidi silang. Bila dibandingkan di rumah sakit swasta, subsidi silang lebih sulit terjadi. Rumah sakit swasta jarang didatangi masyarakat bawah, sebab bercitra mahal. Kalau rumah sakit pemerintah sesungguhnya bisa menyehatkan keuangannya, ke mana subsidi pemerintah akan dialihkan? "Tidak seluruh subsidi ditarik," kata Brotowasisto. Gaji pegawai, misalnya, akan tetap jadi tanggung jawab pemerintah. Di samping itu, dari 500 rumah sakit pemerintah tidak semua mampu swadana. Misalnya rumah sakit di Indonesia Bagian Timur. Rumah sakit semacam ini tetap mendapat subsidi. Ascobat Gani melihat perlunya subsidi pemerintah dialihkan ke usaha pencegahan penyakit (preventif). Juga, penerangan tentang kesehatan (promotif). Dalam program kuratif (pengobatan), ada 5.500 puskesmas tersebar di seluruh Indonesia yang perlu dikembangkan. "Inilah pusat kesehatan bagi masyarakat tidak mampu yang layak mendapat subsidi," ujarnya. Tapi Brotowasisto mengakui otonomisasi rumah sakit pemerintah menghadapi berbagai masalah. Maka, pengawasan pemerintah harus lebih ketat menghadapi kemungkinan kebocoran. Juga pendapat serupa. Otonomisasi itu membuat rumah sakit pemerintah tunduk pada hukumhukum ekonomi dalam profit making. Keadaan ini biasanya membuat sesuatu jadi usaha yang menguber keuntungan. Investasi dan pengembangan terus menerus dilakukan. "Akhirnya jadi konglomerat," kata Ascobat Gani. Fungsi sosial rumah sakit berubah kabur, dan bisa-bisa hilang sama sekali. Ini tantangan terberat bagi Departemen Kesehatan. Jim Supangkat dan Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini