RIBA adalah sebuah gejala universal. Demikian pula larangan dan sikap anti-riba yang sudah terdapat dalam semua peradaban kuno. Islam, seperti tercermin dalam pandangan formalnya, adalah satu-satunya agama dunia yang paling gigih mempertahankan sikap itu hingga kini, walaupun beroperasinya lembaga perbankan, dengan sistem bunga, sudah merupakan realita di Dunia Islam. Larangan riba sebenarnya sudah terdapat dalam Kode Hukum Musa yang dianggap sebagai ajaran anti-riba tertua. Dalam masyarakat Yunani Kuno, Plato dan muridnya Aristoteles dengan keras enentang praktek riba. Riba, yag disebut rokos, artinya turunan makhluk organik, dikatakan oleh Aristoteles bertentangan dengan hukum alam, karena uang adalah "alat pertukaran dan sekali-kali bukan obyek organik yang dapat melahirkan mata uang baru". Ajaran agama dan pemikiran para filsuf memang sudah jelas. Tapi praktek riba sulit dilarang. Karena itu, para penguasa bertindak pragmatis. Raja-raja Yunani, Solon dan Justinian umpamanya, mengeluarkan peraturan yang membatasi besarnya atau menetapkan perbedaan suku bunga di antara sektor-sektor kegiatan ekonomi. Solon mengurangi tingkat bunga sektor pertanian. Undang-undang Roma mengenal Dua Belas Tabel suku bunga sampai tingkat maksimum 10% per bulan. Pada tahun 342 S.M. keluar Lex Genucia yang melarang riba. Adanya pengecualian, misalnya kredit untuk perdagangan maritim, memberi peluang terhadap penyimpangan UU tersebut. Akhirnya Justinian hanya bisa mengatur dengan pembatasan saja, misalnya 6% untuk kredit umum, 8% untuk perajin dan pedagang, 5% untuk orang yang berpangkat tinggi, dan 12% untuk perdagangan maritim yang sangat menguntungkan pada waktu itu. Pada Abad Pertengahan larangan anti-riba dihidupkan kembali berdasarkan kombinasi ajaran agama Kristen (lihat Kitab Perjanjian Baru, Lukas VI: 34, 35) dan pemikiran para filsuf. Hampir seribu tahun berlaku pengertian dan paham bahwa setiap tambahan terhadap modal yang dipinjamkan adalah riba yang dilarang. Larangan itu tidak hanya berdasarkan moral agama, tetapi juga karena kenyataan sosial bahwa, dalam perekonomian sederhana, pinjaman umumnya dipergunakan untuk konsumsi oleh orang miskin. Akibatnya, pinjaman tidak pernah menolong orang miskin dari kesulitan, malah sebaliknya. Seseorang bisa kehilangan kemerdekaannya karena gagal membayar utang. Di lain pihak, dalam situasi di mana kesempatan usaha sangat terbatas pada masa Abad Pertengahan di Eropa, pembungaan uang adalah bisnis yang sangat menguntungkan dan mudah dijalankan. Bisnis kredit, ternyata, adalah spesialisasi orang-orang Yahudi. Padahal, doktrin larangan riba mula-mula berasal dari syariat Musa sendiri. Syariat ini memang khusus berlaku di kalangan Bani Israil, sendiri. Hukum itu sebenarnya berlaku umum. Tapi kenyataan yang terjadi adalah bahwa larangan membungakan uang itu hanya diberlakukan di kalangan Yahudi sendiri. Ironi sejarah telah terjadi, bangsa Yahudi adalah pelopor bisnis pembungaan uang di Eropa. Tak ada keterangan yang jelas mengenai sebab-sebabnya. Yang terang, Bani Israil adalah bangsa yang tak punya tanah air. Karena itu, perdagangan adalah mata pencarian yang paling cocok dan bukannya pertanian, industri, atau bekerja di pemerintahan. Pada abad ke-8, jati diri Yahudi adalah pedagang. Sebagai pedagang, mereka memiliki surplus yang besar. Tapi dengan tumbuhnya pedagang pribumi yang mendesak kedudukan orang-orang Yahudi lewat tekanan politis, bidang yang terbuka adalah membungakan uang. Maka, pada abad ke-12, identitas mereka berkembang menjadi pembunga uang dan bankir. Praktek pembungaan uang itu akhirnya merambat ke orang-orang Kristen. Biara-biara pada abad ke-10 sebenarnya sudah menjalankan peminjaman kepada petani kecil di sekitarnya, dengan uang hasil derma dan sewa tanah. Tapi bisnis perkreditan berskala besar di lingkungan Kristen dimulai oleh pedagang besar Italia dari keluarga Lombardia dan Caorsini. Walaupun ia tetap dikutuk sebagai pembunga uang, tak urung mereka mendapat tempat terhormat sebagai bangsawan, bahkan di lingkungan gereja. Kredit memang dibutuhkan, tidak hanya oleh rakyat kecil tetapi juga keluarga bangsawan, gereja, bahkan oleh negara terutama untuk membayar tentara sewaan dan membeli persenjataan. Berkembangnya kesempatan usahalah yang menjadi sebab mengapa bisnis kredit tak bisa dibendung, sehingga modal sendiri tak mencukupi. Dana pun harus dihimpun dari orang lain. Dari situlah institusi perbankan mulai timbul sebagai lembaga perantara keuangan. Namun, ajaran anti-riba tetap berlaku secara resmi. Mujadid Agung Kristen, yang posisinya sering disamakan dengan al-Ghazali, Thomas Aquino (1225-1274), sangat memperkuat doktrin itu dengan argumentasi teologis dan filosofis. Yang menarik adalah bahwa dia menyarankan cara alternatif untuk membantu orang lain dengan modal, yaitu lewat kemitraan usaha (partnership) atas dasar bagi hasil, untung atau rugi (modus itu dikenal dengan nama qirad, mudharabah, atau musyaraqah dalam fikih Islam, yang kini dipakai sebagai dasar beroperasinya "Bank Islam" yang bebas bunga itu). Di sini telah mulai timbul pengakuan di lingkungan gereja tentang kebutuhan dan arti pentingnya peranan kredit dalam kehidupan ekonomi. Doktrin anti-riba itu secara berangsur-angsur baru diperlemah kemudian oleh teori-teori sosial paham Liberalisme. William Petty (1682), umpamanya, menganjurkan adanya kebebasan dalam menjalankan bisnis perkreditan. Dan Jeremy Bentham (1787) berargumentasi bahwa kredit adalah transaksi perdagangan uang yang tak berbeda dengan perdagangan komoditi dan karena itu perlu diberi kebebasan. Dalam proses konseptualisasi itu, mulai dibedakan antara riba (usury) sebagai suku bunga yang eksesif dan bunga bank (interest) sebagai harga modal yang wajar. Sungguhpun begitu, penghapusan hukum larangan riba baru terjadi di berbagai negara Eropa Barat antara 1854 dan 1867. Pada waktu yang sama, sebagian besar negara bagian di AS masih mempertahankan hukum anti-riba. Dengan latar belakang historis seperti di atas, dapat dipahami bahwa proses pengakuan atas perbedaan antara konsep riba dan bunga memang sangat alot, yang memakan waktu lebih dari seribu tahun di Barat sendiri. Di Indonesia, sejarah perbankan masih sangat muda. Tapi, dewasa ini, paling sedikit sudah ada tiga pendapat di Dunia Islam. Pertama, yang berpaham bahwa "riba", sebagai bunga yang berlipat ganda (ad'afan mudha'afan), tetap haram (Q.S. Ali Imran. 30), tapi bunga bank, sebagai harga modal yang wajar dan operasinya diatur oleh UU Perbankan, adalah halal, bahkan merupakan keharusan dunia modern dan dibutuhkan oleh umat Islam guna mencapai kemajuan ekonomi. Paham ini diwakili oleh pandangan Ustad A. Hassan (Bangil), Syafruddin Prawiranegara Kasman Singodimedjo, atau Mohammad Hatta. Kedua, mereka yang menganggap bunga bank sebagai soal mutasyabihat (daerah kelabu), karena itu hukumnya masih meragukan dan, kalaupun diperbolehkan, sifatnya sementara dan dalam keadaan darurat, sampai ditemukan sistem dan kondisi perekonomian yang memungkinkan diberlakukannya hukum larangan riba. Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah (Muktamar Sidoarjo, 1968) yang berlaku hingga kini mewakili pandangan ini. Demikian pula pandangan resmi MUI. Umat Islam awam, termasuk dari kalangan NU, banyak yang mengikuti sikap hati-hati ini. Ketiga, mereka yang berpaham teguh bahwa bunga atas pinjaman, dalam bentuk apa pun, misalnya disembunyikan dalam perjanjian atau transaksi dagang, hukumnya sudah jelas, yaitu haram. Namun, sesuai dengan tradisi fikih, terdapat berbagai jalan untuk melakukan transaksi kredit yang bebas riba. Pandangan seperti ini terdapat pada ulama tradisional maupun modern yang mendasarkan diri pada hukum fikih. Pada tahun 1970-an, tampil sejumlah sarjana muslim lulusan universitas Barat yang mengembangkan paham di atas dengan konsep Bank Islam atas dasar prinsip-prinsip ekonomi modern, sebagai jawaban terhadap kebutuhan perkembangan ekonomi. Di Indonesia, tokoh seperti Ahmad Muflih Saefuddin atau Murasa Sarkanipura mewakili pandangan terakhir itu. Padangan mereka patut dihormati karena memiliki sejumlah argumen ilmiah setidak-tidaknya berguna untuk memberikan the benefit of the doubt terhadap konsep perbankan konvensional. Situasi status quo tiga pandangan di atas masih akan berlangsung lama. Tapi itu hanyalah pandangan formal. Dalam kenyataannya, masyarakat kaum muslim sudah hidup dalam sistem bunga, kalau belum mengambil kredit, mendepositokan uangnya, atau bekerja di bank. Faktor yang bisa mengubah pandangan formal konvensional yang tidak atau belum bisa menerima pembedaan antara riba dan bunga bank adalah realitas dan kebutuhan perkembangan ekonomi modern itu sendiri. Tapi pandangan secara pribadi sudah berubah karena melihat kenyataan bahwa bunga bank memang berbeda dengan riba yang diharamkan. Prof. Fazlul Rahman mengambil kesimpulan bahwa riba yang dilarang adalah: "Suatu tambahan yang berlebihan yang menyebabkan pokok utang bertambah secara berlibat ganda, karena penundaan pembayaran melampaui waktu yang telah ditentukan". Jadi, menurut dia, bunga yang dibayar pada waktunya sesuai dengan perjanjian bukanlah riba yang dilarang. Dalam sejarahnya di Indonesia, juga di Barat, proses institusionalisasi bank sebenarnya bertujuan untuk menghapuskan riba. Dalam proses itu, unsur yang merugikan masyarakat dikurangi, dengan UU dan peraturan dan berbagai upaya kebijaksanaan moneter yang menurunkan suku bunga. Langkah Patih Purwokerto, R. Bei Aria Wiryaatmaja, yang mendirikan Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bertuurs Ambtenaren (1895), yaitu bank simpan pinjam dari dan untuk rakyat, yang kemudian diperluas oleh Asisten Residen De Wolff van Westerrode, guna mencakup petani dengan nama Purwokertosche Hulp Spaar en Landbouw Crediet Bank (1897), dimaksud untuk memberantas praktek lintah darat yang melilit pegawai rendah dan petani dengan pinjaman berbunga berlipat ganda. Patih Aria mempergunakan uangnya sendiri dan kas masjid sebagai modal. Dan Van Westerrode, dalam mendirikan Lumbung Desa (1898), memanfaatkan dana zakat. Lembaga perbankan sekali-kali bukanlah pembunga uang, melainkan lembaga perantara keuangan. Pembunga uang perorangan akan sulit menyediakan modal yang berjumlah besar kepada banyak orang. Mereka harus menghimpun dana dan bersedia membayar opportunity cost (keuntungan atau manfaat yang hilang karena penggunaan alternatif) yang ditanggung oleh pemilik uang. Bank juga harus membayar gaji pegawai administrasi manajemen dan staf ahli serta menyediakan dana cadangan risiko. Sudah tentu, bank ingin juga laba, tapi labanya tidak sebesar bunga yang diterimanya. Peminjam, karena membutuhkannya, baik untuk produksi atau konsumsi, harus bersedia menanggung semua biaya pangadaan dana yang dibutuhkannya Fazlul Rahman mengatakan, umat Islam harus menerima lembaga perbankan, sebelum rekonstruksi masyarakat dan sistem finansial yang memungkinkan berlakunya syariat Islam terjadi, karena "penolakan berarti bunuh diri terhadap kesejahteraan masyarakat". Dalam masyarakat dan sistem finansial baru itu, bunga bank harus ditekan sampai ke titik nol. Pendapat Fazlul Rahman ini bukan hanya utopis (walaupun banyak yang dulu utopia, kini telah menjadi kenyataan), tapi juga mustahil karena bertentangan dengan hukum-hukum ekonomi. Soalnya, uang bukan lagi sekadar alat pembayar, alat tukar, dan alat penyimpan. Tapi uang yang telah ditransformasikan menjadi modal adalah suatu sumber daya ekonomi dan faktor produksi, dan karena itu ada harganya. Uang itu sendiri memang tidak bisa beranak, tapi jika diwujudkan menjadi mesin atau digunakan dengan keahlian, bisa menghasilkan pendapatan dan dapat berkembang menjadi modal yang lebih besar. Nabi Muhammad saw. sendiri memerintahkan agar, jika meminjam, seseorang harus mengembalikan seutuhnya, dan menganjurkan supaya secara sukarela menambah. Itu dijalankan sendiri oleh Nabi berkali-kali. Jadi, tambahan, atau "riba", itu bukan saja diperbolehkan, tapi dianjurkan. Kuncinya di sini adalah kesukarelaan. "Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali (untuk mencari keuntungan) dengan jalan perniagaan yang berlaku secara suka sama suka di antara kamu" (Q.S. an-Nisa': 29). Kesukarelaan ini bisa dilembagakan dalam akad atau perjanjian. "Apabila kamu membuat perjanjian utang-piutang untuk jangka waktu tertentu, maka tuliskanlah itu" (Q.S. al-Baqarah: 282), kalau perlu diperkuat dengan jaminan yang tertulis pula (Q.S. al-Baqarah: 283). Maka, kesukarelaan tersebut dapat dilembagakan oleh UU dan peraturan. Dalam surat al-Baqarah: 275 dikatakan pula, "Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba (pemerasan)." Ini merupakan jawaban terhadap soal: "Mereka berpendapat bahwa perdagangan itu sama dengan riba", dalam kalimat sebelumnya. Ayat ini memberi peluang untuk mengubah sifat transaksi itu. Sebuah perjanjian yang formalnya perdagangan bisa ribawi sifatnya yang mengandung unsur pemerasan. Ini tetap haram. Tapi perjanjian utang-piutang bisa bersifat perdagangan yang halal, asalkan sifatnya sukarela dan dilindungi oleh UU yang menjaga kepentingan semua pihak. Pembicaraan mengenai hukum bunga bank akan tetap macet bila tidak ada perubahan dalam usul al fiqh, yakni filsafat hukum dan metodologi analisa syariah muamalah. Perubahan itu terletak pada pendekatan empiris, dengan melihat realitas yang membedakan secara hakiki, gejala riba dan bunga bank tersebut. Dengan itu, dimungkinkan dilakukannya interpretasi kontekstual terhadap ayat-ayat Quran dan hadis, yang menjadi dasar dilakukannya upaya perundang-undangan yang menghilangkan unsur negatif riba dan mentransformasikannya menjadi perjanjian dagang, berdasar asas sukarela, sesuai dengan jiwa dan semangat syariat Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini