Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Agar Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Bisa Berobat Lebih Dekat

Keberhasilan pengobatan tuberkulosis resisten obat, perlu dukungan para pihak. Dekatnya layanan kesehatan bisa memberikan manfaat lebih bagi pasien.

19 Juli 2022 | 16.52 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - J (35 tahun) sedang duduk di kursi roda didampingi sang kakak, NH (48 tahun). Mereka menunggu di ruang tunggu Klinik Aster, Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan akhir Juni 2022. Pagi itu adalah pekan keduanya mengambil obat rutin tuberkulosis (TBC) untuk sepekan ke depan.

J terlihat sangat kurus. Menurut NH, berat J saat ini adalah 26 kilogram. Dengan tinggi sekitar 150an, wanita berjilbab itu terlihat sangat kurus. Berat badan J menyusut setengah dibanding akhir tahun 2021. Kala itu, J masih terlihat cukup segar dengan berat 56 kilogram.

J adalah pasien Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO). Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis. TBC dibagi menjadi Tuberkulosis Sensitif Obat (TBC SO) dan Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO).  TBC RO merupakan perkembangan dari TBC SO, sehingga pasien TBC RO kebal akan obat tertentu dan beberapa jenis obat lainnya. Fokus utamanya adalah kebal terhadap obat Bakteriosid, Rimfampisin dan Isoniazid. Akibatnya, ketika pasien TBC SO bisa berobat dalam jangka waktu 6-9 bulan, pasien TBC RO harus menjalani pengobatan 9-24 bulan lamanya.

Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock

J sulit diajak berkomunikasi ketika Tempo mengajaknya berbicara. Suara kami harus cukup lantang ketika bertanya, dan jawaban yang diberikan J pun tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. "Memang sering enggak nyambung," kata NH yang membantu menerjemahkan penjelasan J kepada Tempo.

NH bercerita bahwa penyakit yang dialami J ini berawal pada Maret 2022. J yang bekerja sebagai asisten rumah tangga sering demam hingga akhirnya pingsan. Pada awalnya J ditangani Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso karena ternyata positif Covid-19. Namun setelah menjalani pengobatan, J tetap mengalami berbagai gejala tersebut. Saat ia sakit parah itu, kulitnya yang tadinya mulus malah timbul koreng dan rasanya gatal sekali. J pun mengalami batuk yang cukup parah. J akhirnya diminta melakukan tes kesehatan menyeluruh, di RS Bhakti Mulia. Dokter mendiagnosis dia mengalami penyakit HIV dan juga TBC RO. "Kami pikir itu awalnya tifus, tapi ternyata kata dokter itu HIV dan tuberkulosis," kata NH.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RS Bhakti Mulia menyarankannya untuk menjalani pengobatan Tuberkulosis di RS Islam Jakarta Cempaka Putih, namun akhirnya tenaga kesehatan di RSIJ Cempaka Putih menyarankannya untuk menjalani terapi TBC RO di rumah sakit yang memiliki klinik TBC RO terdekat dari rumahnya, yaitu RSUD Tarakan.

NH menduga J mendapatkan penyakit HIV dari suaminya yang saat ini tinggal di rumah mertua J. J memiliki dua anak, satu tinggal bersama sang suami di tempat mertuanya, satu lagi tinggal bersama J bersama keluarga NH. Sejak didiagnosis memiliki penyakit tuberkulosis, J tidak lagi bekerja sebagai asisten rumah tangga, ia bergantung pada keluarga NH. "Saya tidak sanggup mengurus dua orang sakit, jadi suaminya diambil mertua J," kata NH berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Menjalani proses pengobatan TBC RO cukup sulit bagi J. Menurut NH, pada awal pengobatan, J memuntahkan kembali berbagai makanan dan obat yang sudah diminumnya. Ia pun susah sekali makan sehingga berat badannya terus saja menyusut. Melihat kesulitan itu, pihak keluarga menyetop pengobatan Tuberkulosis dari dokter dan akhirnya mengalihkan pengobatan J dengan alternatif. J diminta meninggalkan obat dokter demi mengkonsumsi berbagai ramuan herbal. Sayang, hasilnya nihil. Kondisi J terus saja memburuk. Akhirnya NH pun kembali membawa J menemui tim medis. 

TBC RO dan HIV

Tim Ahli Klinis TBC RO RSUD Tarakan, Dokter Spesialis Paru dr. Rantih Intani Afrilia Damita Sp.P menjelaskan ada beberapa faktor seseorang bisa alami TBC RO. Salah satu penyebabnya karena tertular droplet pada batuk atau bersin pasien TBC RO lainnya. "Kita kan tidak tahu ketika di tempat umum, seperti bis atau kereta, orang batuk apakah menularkan kuman TBC RO atau tidak," katanya.

TBC RO juga bisa dialami seseorang karena tidak teratur menelan obat anti TBC sesuai panduan petugas kesehatan. Faktor lainnya adalah karena menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya. TBC RO juga bisa dialami pasien karena tidak mematuhi anjuran tenaga kesehatan serta gangguan penyebaran obat.

Tim Ahli Klinis TB RO RSUD Tarakan Jakarta Pusat, Dokter Spesialis Paru dr Rantih Intani Afrilia Damita Sp.P pada 29 Juni 2022/Tempo-Mitra Tarigan



Walau begitu, perlu diluruskan juga bahwa TBC RO tidak akan menular dengan menjabat tangan, penggunaan baju bersama yang bersih, atau penggunaan alat makan bersama yang bersih.

Rantih mengingatkan bahwa saat ini Indonesia endemi penyakit tuberkulosis. Bahkan data menyebutkan Indonesia adalah negara ketiga dengan kasus TB terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Indeks kasus tuberkulosis di Indonesia mencapai 824 ribu kasus per tahun dengan jumlah kematian mencapai 93 ribu per tahun. "Artinya ada banyak sekali kuman TBC yang beredar dan seorang pasien HIV lebih rentan lagi terinfeksi kuman TBC," kata Rantih.

Rantih menjelaskan bahwa penyakit HIV menyerang daya tahan tubuh seseorang. Ketika kuman Tuberkulosis mendekat ke tubuh pasien HIV yang daya tahan pasien lemah, maka kuman TBC akan diterima dengan suka cita. "Penyakit tuberkulosis  merupakan infeksi oportunistik yang banyak atau sering ditemukan pada pasien dengan HIV positif," kata Rantih. 

Yang sering menjadi masalah, kata Rantih, adalah tingkat kepatuhan pasien dalam meminum obat setiap hari. Selain jumlah obat TBC RO yang banyak, dampaknya pun tergantung individu masing-masing. "Toleransi orang terhadap obat TBC berbeda-beda. Ada yang tidak kuat sehingga muntah setelah minum obat," kata Rantih.

Dalam memastikan agar para pasien meninum obat TBC RO yang diberikan, ia dan tenaga kesehatan di rumah sakit itu melakukan pemantauan minum obat kepada setiap pasien tuberkulosis. “Jadi pasien harus mengirimkan video kepada kami sebagai bukti dia sudah menelan obat TBC RO,” katanya.

Mendekatkan Layanan Kesehatan TBC RO

Rantih menjelaskan bahwa di RSUD Tarakan terdapat Klinik Aster (Atasi Tuberkulosis Resisten). Layanan rawat jalan ini baru diresmikan pada Desember 2021. Dulu pasien TBC RO harus menempuh jarak jauh demi mendatangi rumah sakit tertentu untuk mengambil obat harian mereka. Namun pemerintah akhirnya menetapkan lebih banyak rumah sakit untuk mendekatkan layanan TBC RO ke masyarakat.

Di Provinsi DKI Jakarta sendiri, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 350 Tahun 2017 tentang Rumah Sakit dan Balai Kesehatan Pelaksana Layanan Tuberkulosis Resisten Obat, sudah ada 18 rumah sakit yang bisa melayani pasien kasus TBC RO. 3 rumah sakit di antaranya ada di Jakarta Pusat, yaitu RSUD Tarakan dan RSI Jakarta Cempaka Putih serta RSUD Kemayoran.

Pasien Tuberkulosis Resisten Obat , J (35) yang duduk di kursi roda, dan kakanya NH (48) pada 29 Juni 2022/Tempo-Mitra Tarigan

Walau begitu hingga 2022, masih ada 11 rumah sakit lagi yang diharapkan segera membuka layanan untuk pasien TBC RO di antaranya adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RSPAD Gatot Subroto, RSAL dr Mintohardjo.  "Layanan kesehatan yang jauh berhubungan dengan ongkos yang harus dikeluarkan pasien. Masalah ekonomi ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi pasien dalam proses penyembuhannya," katanya.

Benar saja. NH bercerita awalnya ia harus membawa J berobat TBC RO di RS Islam Jakarta Cempaka Putih. Ongkos yang harus dia keluarkan dari kawasan Palmerah itu 100 ribu untuk bolak-balik dengan taxi atau go-car. Maklum ia tidak bisa lagi memboyong J dengan angkutan umum seperti Transjakarta karena kondisi adiknya sangat lemah. NH pun senang ketika diarahkan berobat rutin ke RSUD Tarakan karena jaraknya yang lebih dekat dari rumah, sehinga ia hanya perlu mengeluarkan ongkos setengahnya dibanding ke Cempaka Putih. "Berat sekali pengeluaran ongkos ini," kata NH.



Kepala Bidang Layanan RSUD Tarakan, dr. M. Bal'an K. Rangkuti MARS, MICM mengatakan timnya berinvestasi cukup besar dalam memberikan layanan klinik khusus tuberkulosis ini. Dan di klinik Aster itu, semuanya layanan kesehatan pasien TBC RO terintegrasi dari mulai rontgen, pengambilan darah, juga dahak, konsultasi dokter, hingga obat. "Kami juga siapkan ruangan dengan tekanan negatif segingga alur udara kotor dan freshnya terpisah," katanya.

Bal'an mengatakan dalam beberapa bulan terakhir, pasien yang datang ke tempatnya lebih banyak dari Kecamatan Gambir. "Belum semua rumah sakit memiliki layanan TBC RO, dengan adanya kami, harapannya layanan ini bisa mempermudah pasien dengan domisili terdekat kami dalam mengakses layanan kesehatan," katanya.

Kepala Bidang Pelayanan RSUD Tarakan Jakarta Pusat dr M. Bal'an K Rangkuti MARS pada 29 Juni 2022/ Tempo-Mitra Tarigan

Bal'an menambahkan bahwa di RSUD Tarakan, ada pula layanan psikologis. Layanan ini bisa diberikan kepada pasien yang mungkin merasa down ketika mendapatkan diagnosis tuberkulosis dari dokter. "Kita tahu penyakit tuberkulosis ini masih menjadi stigma di lingkungan masyarakat. Sehingga penguatan psikologis penting juga diberikan," katanya.

Edukasi Tuberkulosis kepada Keluarga

Edukasi juga penting untuk diberikan, tidak hanya bagi pasien tuberkulosis, namun juga bagi keluarganya. Bal'an mengatakan timnya memberikan edukasi secara inklusif, orang - per orang. Sehingga para pasien bisa lebih leluasa berkonsultasi tentang apa tantangan yang dialami dan solusi yang bisa diberikan. "Edukasi tuberkulosis ini tidak bisa digabung (kepada sesama pasien). Akan sulit bila dilakukan bersama-sama, karena setiap pasien biasanya memiliki kasus yang berbeda. Belum lagi penyakit ini masih dianggap memalukan bagi sebagian masyarakat. Jadi harus one by one," katanya.

Rantih menambahkan bahwa dengan adanya layanan rawat jalan Klinik Aster yang terintegrasi, diharapkan pasien TBC RO tidak perlu keliling rumah sakit karena bisa menularkan droplet kuman TBC RO ke pasien lain. "Jadi pasiennya tidak perlu jalan-jalan, selesai di satu tempat saja. Walau begitu edukasi pencegahan penyebaran tetap penting agar saat di tempat umum, pasien TBC RO tidak buka masker sembarangan, karena bisa membahayakan yang lain," katanya.

Dibantu oleh NH, J masih terus berusaha mengkonsumsi obat TBC RO yang diberikan tim dokter. Pengobatan itu pun disertai dengan terapi obat HIV agar virus dalam tubuhnya tetap bisa terkontrol. "Saya ingin sembuh," kata J berharap bisa melihat anaknya yang baru 12 tahun bertumbuh.

Baca: Atasi Penyakit Tuberkulosis dengan Disiplin Tinggi Berobat

 

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus