Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Agar Siswa Menapis Kabar Bohong

Program literasi dibuat agar orang tua dan guru bekerja sama membimbing siswa di era digital.

31 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Literasi digital menjadi kepedulian banyak pihak, menyusul bertebarannya kabar bohong atau hoaks (hoax) di media sosial. Kemampuan dalam mencerna dan menelaah tiap kabar yang didapat dari media sosial menjadi fokus dari literasi digital ini. Situs media sosial ternama Facebook, misalnya, dalam dua tahun terakhir mempopulerkan program literasi melalui "Think Before You Share" di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Central Connecticut State University, Amerika Serikat, pada 2016 pernah merilis hasil penelitian berjudul "World’s Most Literate Nations". Dari riset ini terungkap bahwa literasi di Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara-persis di bawah Thailand dan di atas Botswana. Berbagai program peningkatan minat baca pun kemudian dibuat oleh pemerintah dan lembaga swasta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Facebook dan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB Foundation), pada tahun ketiga pelaksanaan program literasi, memperluasnya dengan menyasar guru dan orang tua murid. Tujuannya, menciptakan ekosistem yang mendukung siswa, baik di sekolah maupun di rumah. Caranya, dengan mengenalkan modul baru bagi guru dan orang tua.

Sekretaris Jenderal YCAB Foundation, Muhammad Farhan, mengatakan dalam modul itu diajarkan bagaimana seorang siswa harus bersikap dalam menghadapi berbagai macam isu. Sang anak juga diajarkan mengedepankan empati sebelum membagikan suatu informasi. Jika anak-anak belajar berempati dan berpikir, kata Farhan, orang tua juga harus memiliki akuntabilitas sebelum membagikan informasi. "Apakah dia bisa mempertanggungjawabkan informasi yang dimiliki," kata dia saat ditemui di Ruang Komunal Indonesia, One Pacific Place Jakarta, pekan lalu.

Farhan memberi satu contoh tentang informasi tak kredibel saat kejadian gempa dan tsunami di Palu beberapa waktu lalu. Seorang kawannya di Facebook, kata dia, membagikan informasi tentang bangunan yang ambles dengan menyebutkan bahwa tempat itu ambles karena merupakan tempat judi. "Saya bilang ke dia, coba dicek dulu kebenarannya," kata Farhan.

Menurut Farhan, orang tua harus lebih dulu terbiasa memeriksa kebenaran informasi sebelum membagikan kepada anaknya. "Orang tua dan guru adalah bagian dari ekosistem untuk anak-anak. Sekarang mereka harus bekerja sama," ucap dia.

Facebook dan YCAB Foundation berencana mengunjungi 150 sekolah dan memberikan pelatihan kepada 21 ribu siswa, guru, dan orang tua. Program ini akan dilaksanakan di tujuh provinsi di Indonesia, yakni Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Tujuh provinsi ini dipilih karena menjadi prioritas YCAB Foundation yang didasarkan pada indeks pembangunan manusia dan performa siswa di sekolah.

Pada tahun pertama, program ini telah memberikan literasi digital kepada 1.400 remaja melalui kegiatan diskusi grup di tujuh kota. Adapun di tahun kedua, program ini telah melatih lebih dari 11 ribu siswa melalui roadshow ke 100 sekolah di Jakarta. "Tujuannya, jika mereka (siswa) mengunduh sebuah konten, ia bisa berpikir kritis dan menggunakan empatinya. Apa pun platform media sosialnya," ujar Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia, Ruben Hattari.

Ruben menuturkan, pihaknya menyasar siswa SMA karena platform media sosial memang didesain untuk mereka yang berumur 13 tahun ke atas. Usia 16–24 tahun, kata Ruben, merupakan usia yang paling sering terekspose oleh konten media sosial. Soal kegiatan, mereka akan mendatangi sekolah-sekolah untuk bekerja sama menyediakan waktu selama dua jam di tiap sesi. "Lalu didalami isi modul-modul itu," kata dia.

Pada pelaksanaan tahun ini, dua lembaga tersebut membidik lebih banyak lembaga pendidikan menengah atas seperti madrasah dan sekolah kejuruan. Mereka juga menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Imam Safei, mengatakan para pelaku sistem pendidikan Islam seperti guru dan murid di madrasah serta pesantren saat ini tak bisa lepas dari dunia digital. Kementerian Agama pun mencoba memasuki wilayah ini dengan, antara lain, membuat pengajian digital. "Terlebih semangat kementerian saat ini adalah merawat keberagaman," kata dia. "Bahan-bahan syiar memakai perangkat media sosial sedang kami galakkan."

Mohamad Yaser, seorang di SMKN 18 Jakarta, menyambut positif program tersebut. "Kadang siswa mendapat informasi yang belum tentu benar, segera disebar, akhirnya ada konflik," kata dia, pekan lalu.

Yaser mengatakan kemampuan setiap anak berbeda dalam mencerna informasi, sementara penggunaan media sosial sangat tinggi. Pihak sekolah pun coba menekan penggunaan gawai ketika jam pelajaran. "Biar mereka tak buang-buang kuota membaca hoaks di media sosial," kata dia. DIKO OKTARA


Cermat Sebelum Berbagi

Sebelum menyebar informasi di media sosial, pastikan Anda melakukan hal ini:
1. Berhati-hati dengan judul provokatif.
2. Mencermati alamat situs informasi itu.
3. Memeriksa fakta dari informasi tersebut.
4. Cek keaslian foto yang terlampir dengan keterangan foto.

SUMBER: DIOLAH | DIKO OKTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus