Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
WHO menyuarakan tanda bahaya akan ancaman resistansi antimikroba atau AMR.
AMR merupakan kondisi saat virus, bakteri, dan jamur pembawa penyakit di dalam tubuh menjadi kebal terhadap obat.
Kementerian Kesehatan dan WHO meluncurkan Strategi Nasional Pengendalian Resistansi Antimikroba.
RESISTANSI antimikroba atau AMR muncul sebagai pandemi sunyi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjuk AMR sebagai satu dari sepuluh ancaman kesehatan terbesar abad ini. Resistansi antimikroba merupakan kondisi saat mikroba, seperti bakteri, virus, dan jamur, atau parasit menjadi kebal terhadap obat-obatan yang seharusnya bisa mengatasi infeksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir artikel jurnal "The Overlooked Pandemic of Antimicrobial Resistance" yang terbit pada 2022, proses AMR terjadi karena mutasi genetik yang memungkinkan mikroorganisme bertahan dan berkembang biak meskipun dihadapkan dengan antimikroba. AMR mengakibatkan pengobatan menjadi kurang efektif, durasi infeksi memanjang, serta risiko komplikasi dan biaya perawatan meningkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Tempo, Tjandra Yoga Aditama selaku mantan AMR Focal Point WHO Asia Tenggara menjelaskan bahwa dampak AMR dapat lebih besar dibanding wabah Covid-19. Kondisi ini, dia melanjutkan, sudah diprediksi para ahli pada 2015, ketika para anggota WHO mengeluarkan Resolusi World Health Assembly tentang AMR. "Ribet-ribet tentang pandemi Covid memang kelihatan, tapi sebenarnya jumlah orang yang meninggal gara-gara AMR bisa jauh lebih besar," ujarnya pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Dokter yang juga pernah menjabat Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu mengatakan AMR membuat penyakit infeksi tidak bisa diobati karena kuman, virus, atau jamur yang menjadi penyebabnya tidak bisa dibunuh. Resistansi antimikroba tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga ekonomi. Pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit, biaya perawatan meningkat, bahkan proses pemulihan lebih lambat.
Selain itu, tindakan medis seperti transplantasi organ atau operasi yang biasanya dilindungi antibiotik menjadi tidak efektif. Kondisi ini mengakibatkan tingkat keberhasilan operasi menurun dan masa perawatan menjadi lebih lama.
Ilustrasi mengonsumsi antibiotik. Shutterstock
Penyebab utama resistansi antimikroba adalah penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan aturan, baik pada manusia maupun hewan. Tjandra menjelaskan, antibiotik, yang ditemukan Alexander Fleming pada 1928, menjadi senjata utama dalam memerangi infeksi bakteri. Namun pada 1945 Fleming memperingatkan bahwa penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan resistansi. "Sekarang orang bisa dengan bebas membeli obat-obat antibiotik dan antimikroba lain, yang akhirnya menimbulkan kekebalan," ujar Tjandra.
AMR juga dipicu oleh penggunaan antibiotik pada hewan ternak. Bukan untuk pengobatan, melainkan pemicu pertumbuhan. "Kalau ayam mendapat antibiotik dalam makanannya, manusia akan memakan ayam goreng yang ada antibiotik," ucapnya.
Tjandra juga merujuk pada penelitian terbaru Badan Riset dan Inovasi Nasional yang menemukan kontaminasi bahan aktif obat di Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu, Jawa Barat. Peneliti mendapati penggunaan paracetamol yang mencapai 460 ton per tahun dan amoxicillin sebanyak 336 ton per tahun. Sumber kontaminasi bahan aktif obat di Sungai Citarum kemungkinan besar adalah aktivitas manusia. Penyebab utamanya adalah kegiatan peternakan, yang sering menggunakan obat-obatan dan hormon untuk meningkatkan produktivitas ternak.
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu mencontohkan kasus di luar negeri. Ada rumah sakit yang diduga membuang limbah mereka ke sungai. Akibatnya, orang yang mengkonsumsi air di ujung sungai tersebut tanpa disadari menenggak antibiotik dan menyulut AMR.
Di tengah ancaman besar ini, Tjandra melanjutkan, resistansi antimikroba masih kerap disalahartikan publik. "AMR bukan penyakit seperti flu atau cacar, melainkan kondisi saat antibiotik atau antimikroba tidak lagi efektif mengobati penyakit infeksi," katanya.
Lebih lanjut, AMR tidak semata merujuk pada resistansi antibiotik, tapi juga antivirus dan antijamur, termasuk obat tuberkulosis serta obat human immunodeficiency virus atau HIV. Karena itulah, AMR tidak diartikan sebagai resistansi antibiotik, melainkan resistansi antimikroba.
Akibat perbedaan kondisi pasien, penanganan AMR pun berbeda. Tjandra mencontohkan kasus yang terjadi pada pasien tuberkulosis multidrug-resistant (TB MDR). TB MDR merupakan bentuk tuberkulosis yang tidak merespons pengobatan standar karena ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat. "Jumlahnya ribuan orang di Indonesia. Orang-orang ini adalah pasien tuberkulosis yang diobati dengan obat anti-tuberkulosis. Tapi, karena penggunaannya tidak teratur, akhirnya menjadi kebal," ujarnya.
Menurut Tjandra, resistansi obat anti-tuberkulosis dapat menyebabkan kebutuhan pengobatan menjadi lebih lama dan mahal. "Kalau obatnya diganti, penggunaannya harus lebih lama. Tuberkulosis biasanya diobati dengan obat selama enam bulan. Tapi, jika terjadi resistansi, pengobatannya bisa menjadi satu tahun atau bahkan satu setengah tahun. Harganya juga lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak," ucapnya.
Berpendapat senada, Ari Fahrial Syam, guru besar Fakultas Kedokteran UI, turut menyoroti terlalu terbukanya akses masyarakat terhadap obat-obatan resep, termasuk antibiotik, baik di apotek maupun melalui saluran online. "Pengawasan obat dan makanan kita sangat lemah," katanya kepada Tempo.
Menurut Ari, kepatuhan terhadap pengobatan juga merupakan isu besar. Banyak orang menghentikan penggunaan antibiotik sebelum waktu yang ditentukan. "Disuruh minum obat sampai habis lima hari, ternyata masih ada sisa karena kondisi badan sudah enak setelah dua atau tiga hari," ujarnya. Praktik tersebut turut menyebabkan bakteri menjadi resistan.
Soal pengaruh daging hewan ternak terhadap resistansi antimikroba, Ari punya pendapat berbeda dengan Tjandra. Menurut Ari, antibiotik biasanya hancur dalam proses memasak. "Jadi masih butuh penelitian soal hubungan konsumsi daging hewan ternak dengan AMR," ucapnya.
Dekan Fakultas Kedokteran UI periode 2017-2021 itu menyoroti banyaknya dokter yang jorjoran meresepkan antibiotik. "Jika pasien hanya flu atau batuk biasa tanpa tanda-tanda infeksi bakteri, mungkin tidak perlu antibiotik. Ini hal yang harus diperhatikan oleh dokter," tuturnya. Sebaliknya, pasien berhak menanyakan alasan dokter memberikan antibiotik.
Menanggapi ancaman kesehatan global tersebut, Kementerian Kesehatan bersama WHO baru saja meluncurkan Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba untuk periode 2025-2029. Inisiatif ini diharapkan dapat mengurangi angka kematian yang disebabkan oleh resistansi antimikroba.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menilai resistansi antimikroba di Indonesia mengkhawatirkan. Tercatat lebih dari 400 ribu kematian akibat sepsis, dengan 34 ribu kasus di antaranya terkait dengan resistansi antimikroba. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit, 25 persen kematian sepsis terjadi pada pasien rawat inap di 2023 dan Provinsi Jawa Timur melaporkan jumlah kasus tertinggi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya mengungkapkan bahwa secara global AMR menyebabkan 1,27 juta kematian pada 2019. Angka ini diperkirakan terus meningkat dan dapat menyebabkan hingga 10 juta kematian pada 2050.
Ilustrasi pemeriksaan resistensi antimikroba (AMR). Shutterstock
Dante menyebutkan peluncuran Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba sebagai momentum penting untuk memperbaiki pendekatan pencegahan resistansi AMR. "Strategi nasional ini dibangun dengan empat pilar, yaitu pencegahan penyakit infeksi, akses terhadap layanan kesehatan esensial, diagnosis tepat waktu dan akurat, serta pengobatan yang tepat dan terjamin kualitasnya," ujarnya di Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024.
Strategi nasional tersebut memuat 14 intervensi utama, dari advokasi AMR hingga penerapan larangan pembelian antibiotik tanpa resep dokter. Dia berharap strategi nasional bisa menyelamatkan banyak nyawa di masa mendatang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo