Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketika jalan rusak, kita menuntut pemerintah memperbaiki dan memuluskannya.
Ketika jalan jadi mulus, anak-anak mengebut sehingga orang tua memasang polisi tidur.
Ketidakpatuhan pada aturan, norma, dan etika menuntut biaya tak sedikit.
DI gang yang menghubungkan Pasar Palmerah di Jakarta Selatan dengan stasiun kereta tak jauh dari situ, kini terpasang “polisi tidur”. Masih baru: warna karetnya masih kuning bergaris hitam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak jelas apa fungsinya. Mungkin untuk mencegah ojek dan sepeda motor ngebut. Padahal gang ini lebarnya hanya 1,5 meter. Di kiri-kanannya warung dan kaki lima berdesakan. Pada jam sibuk—jam kerja dan turun-naik penumpang kereta—gang ini penuh sesak. Tak mungkin ada sepeda motor yang mengebut. Tapi, katakanlah, ada pemotor melaju kencang, misalnya pada tengah malam, tetap saja polisi tidur itu tak dibutuhkan jika pengendara patuh pada aturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita menghamburkan uang untuk membiayai ketidakpatuhan. Jika pengendara sepeda motor tertib, tidak saling serobot, Dinas Perhubungan tak perlu memasang polisi tidur seharga Rp 3 juta itu. Kita melihat pemandangan yang sama di pintu masuk-keluar bus Transjakarta. Di sana terpasang portal dengan dua petugas berjaga untuk mencegah sepeda motor dan mobil lalu-lalang. Jika gaji petugas itu Rp 5 juta per bulan, sesuai dengan upah minimum Jakarta, plus ongkos membuat satu portal Rp 40 juta, seberapa itulah biaya mencegah ketidakpatuhan para pengendara.
Kita tampaknya belum terbiasa, atau menolak terbiasa, mematuhi aturan dan hukum yang diwakili tanda, garis, marka. Barangkali karena sejak awal kita salah pikir memperlakukan jalan raya atau memaknai fungsi jalan raya. Bisa jadi: kita tak siap berkomitmen mematuhi aturan bersama.
Di era Gubernur Ali Sadikin pada 1970-an, jalan di Jakarta dibangun untuk menampung mobil dan motor. Saat itu modernitas kota-kota besar ditandai dengan keberadaan kendaraan bermotor. Maka pemerintah menghalau pejalan kaki agar tak mengganggu mereka. Caranya membuat jembatan penyeberangan yang tinggi, alih-alih membuat zebra cross di titik-titik yang ramai. Sejak saat itu, di Indonesia, pejalan kaki menempati kasta terendah para pengguna jalan raya.
Biaya membuat jembatan penyeberangan bervariasi: dari ratusan juta hingga miliaran rupiah. Bandingkan dengan biaya membuat jalur penyeberangan pejalan kaki Rp 2 juta per meter persegi. Pemerintah menganggap jalan bukan untuk pejalan kaki, sementara pengendara mobil dan motor tak percaya kesaktian garis dan marka. Hasilnya ongkos ketidakpatuhan yang luar biasa besar.
Dengan segala centang perenang itu pun pemerintah tetap menyokong agar orang punya mobil. Industri mobil dan sepeda motor memang harus dilindungi karena sektor itu menyerap tenaga kerja dan investasi, meski emisi karbon yang dilepas produk akhirnya merusak lingkungan dan mengotori ruang udara kita.
Tapi, setelah memberikan kemudahan kepemilikan mobil, mengaspal dan melicinkan jalan, negara lupa membuat trotoar yang nyaman. Transportasi publik yang aman dan nyaman dan terkoneksi ke segala titik baru belakangan dipikirkan.
Para politikus tampaknya memilih mengeluarkan ongkos dan biaya ketidakpatuhan ketimbang menyediakan dan mendorong orang banyak taat aturan. Kita pun setuju saja uang pajak dipakai untuk biaya-biaya tak perlu itu, dengan cara tetap tidak patuh pada marka saat berkendara.
Ketidakpatuhan itu juga menjalar ke mana-mana.
Di kompleks perumahan, jalanan yang mulus dirusak oleh “polisi tidur” untuk mencegah orang mengebut. Seorang teman bercerita, di kompleks perumahannya para orang tua cemas ada yang celaka akibat para remaja suka mengebut. Dalam sebuah rapat lingkungan, mereka mengusulkan dibuat polisi tidur di tiap tikungan. Teman saya menolak ide itu. Menurut dia, jika ingin mencegah kecelakaan, caranya bukan dengan merusak jalan, tapi mengingatkan para remaja itu agar tak mengebut.
Di kompleks itu ada rambu agar semua kendaraan melaju tak lebih dari 20 kilometer per jam. Daripada menambah biaya membuat polisi tidur, kata teman saya yang suka berpikir kritis itu, lebih baik semua orang taat pada kesepakatan itu. Tapi pikiran seperti ini, katanya, malah dipandang aneh. Ia dianggap tak setuju usaha menciptakan ketertiban di perumahan. “Kalau begitu, biarkan saja jalan-jalan rusak agar tak ada orang yang mengebut?” katanya.
Mungkin kita belum sampai pada kesadaran kolektif soal perlunya taat pada kesepakatan bersama—prasyarat peradaban yang bisa menghilangkan biaya ketidakpatuhan.
Polisi tidur, portal, petugas yang berjaga di bawah rambu adalah cara-cara berpikir karbitan. Pangkal soalnya adalah asumsi bahwa jika tak diawasi atau diancam, orang tak akan patuh pada aturan. Tidak keliru juga: kebanyakan orang memang hanya takut pada sanksi langsung, misalnya tilang atau terjengkang karena ngebut saat melintasi polisi tidur. Tapi itulah: kemalasan, kecemasan, dan ketidakpatuhan menuntut biaya.
Di Jepang, orang patuh pada rambu-rambu, marka, tanda. Di jalanan jarang terlihat ada polisi. Pelanggar ada, tapi sedikit. Di sebuah perempatan di Tokyo, sepasang anak muda tersipu malu karena melenggang di zebra cross padahal lampu menyeberang untuk pejalan kaki belum hijau. Atau di dekat kantor Gubernur Kyoto. Para pejalan merekam seorang pengendara yang ditilang. Di Jepang, orang ditilang sebuah peristiwa langka.
Dengan begitu, di Jepang, pajak dipakai secara efektif, bukan untuk mengongkosi ketidakpatuhan penduduknya, tapi untuk mengatur hak bersama. Orang Jepang setuju tertib (mereka mau saja diatur memisahkan sampah hingga sembilan jenis dengan bungkus plastik yang mesti dibeli). Kita mungkin setuju tidak tertib dan memilih menghamburkan uang untuk membiayainya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo