Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meri Hastuti ekstra-hati-hati menggendong anak bungsunya, Indah Maharani. Salah sedikit saja, tulang bocah sembilan bulan itu bisa patah, di kaki, tangan, atau tulang lainnya. Indah menderita osteogenesis imperfecta atau tulang rapuh. "Hanya saya, ayahnya, dan tantenya yang bisa menggendong Indah, tidak bisa orang lain," kata Meri di bangsal anak Rumah Sakit Djamil, Padang, Selasa pekan lalu.
Di rumah sakit itu, Indah ditangani dokter Eka Agustia Rini dari Subdivisi Endokrinologi Anak. Kata Eka, osteogenesis imperfecta tidak disebabkan oleh kekurangan kalsium, seperti pada orang tua yang tulangnya keropos (osteoporosis). Ini merupakan kelainan bawaan yang dipicu mutasi pada gen yang memproduksi kolagen. Mutasi ini membuat produksi kolagen sebagai bahan perekat tubuh berkurang.
"Karena pembentukan kolagennya tidak sempurna, tulang menjadi rapuh dan tidak bisa merekat. Ini kan lemnya," kata dia. Di Indonesia, angka kejadian penyakit ini belum ada, tapi literatur internasional menyebutkan osteogenesis imperfecta dialami 1 : 20 ribu kelahiran hidup. Hingga saat ini, menurut data sementara Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, di Padang tercatat ada 4 pasien, Semarang 7, Solo 3, Bali 3, Manado 1, Makassar 1, dan Jakarta 10 pasien. Ini jumlah yang terdeteksi. Jumlah sesungguhnya bisa jauh lebih besar.
Kerapuhan tulang Indah diketahui sejak dia lahir, yakni kedua tangan melengkung, kedua kaki bengkok ke dalam, dan tulang kepalanya lunak. Namun, lantaran tak ada duit, Meri hanya merawat Indah di rumah. Sebagai alternatif, ia sempat membawa Indah ke tukang urut bayi dengan harapan tulangnya bisa diluruskan. Tapi, bukan penyembuhan yang didapat, Indah justru menangis tiada henti siang-malam. "Mungkin ada tulangnya yang patah. Kami pun menghentikan pengurutan," ujar Meri. Eka mengingatkan, anak yang tulangnya rapuh tak boleh diurut, karena bisa patah.
Kelainan ini bisa dideteksi sejak awal dan juga bisa disembuhkan. Obatnya adalah obat penguat tulang pamidronate yang dimasukkan lewat infus. Saat Tempo membesuk Indah, di pergelangan tangan kirinya masih terpasang selang infus. Indah masih harus mendapatkan infus pamidronate sekali lagi dari tiga kali yang direncanakan.
Pamidronate akan diberikan dua bulan sekali. Lantaran obat pamidronate masih diimpor, harganya mahal, Rp 1,4 juta per botol. Setiap kali terapi, Indah butuh tiga botol. Artinya, dua bulan sekali orang tuanya harus menyediakan sedikitnya Rp 4,2 juta. Terapi akan dilakukan sampai Indah berusia 18 tahun.
"Ada tanggungan Jaminan Kesehatan Daerah, tapi obat dan peralatan kami yang bayar. Enggak tahu, untuk pengobatan berikutnya nanti, duit didapat dari mana," kata Meri. Untuk pengobatan kali ini, bersama suaminya, Syafri Deni, ia harus berakrobat untuk mengumpulkan dana, antara lain dengan meminjam ke bos Syafri.
Masalah pengobatan yang sampai jutaan rupiah itu, apalagi dalam jangka panjang, juga dikeluhkan Yulisni, orang tua Ryan Hidayat, pasien osteogenesis imperfecta asal Rokan Hulu, Riau. "Asuransi kesehatan enggak bisa karena obatnya dari luar," ujar pegawai kecamatan ini (lihat "Aku Ingin Jadi Dokter").
Hingga saat ini, pamidronate masih diimpor secara sembunyi-sembunyi karena belum terdaftar sebagai obat yang diizinkan beredar di Indonesia. "Sekarang obatnya susah. Kami hanya membeli sesuai dengan kebutuhan pasien yang mampu membeli atau ada donatur," kata dokter Aman B. Pulungan, Ketua UKK Endokrinologi IDAI. Selain pamidronate, suplementasi vitamin D dan kalsium diperlukan oleh penderita osteogenesis.
Menurut Aman, dalam rapat terbaru UKK Endokrinologi IDAI, Rabu pekan lalu, mereka sepakat memulai terapi pamidronate pada umur pasien dua pekan, seperti yang sudah lazim dilakukan di negara-negara lain. "Itu jika obatnya ada," katanya.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Lucky Oemar Said berjanji akan mencari jalan keluar terbaik untuk masalah ini. Bisa saja pamidronate masuk orphan drugs (obat langka) karena osteogenesis termasuk penyakit langka (orphan disease). Bila ini terwujud, ketersediaan pamidronate di Tanah Air lebih terjamin.
Dwi Wiyana, Febrianti (Padang)
Aku Ingin Jadi Dokter
Aku ingin jadi dokter," kata Ryan. Suara bocah 8 tahun itu lantang. Untuk mengejar cita-citanya yang masih jauh itu, penderita osteogenesis imperfecta ini rajin menimba ilmu di kelas I SDIT Inayah, Rokan Hulu, Riau. "Ryan masuk Âranking 10 besar," kata Yulisni, ibu Ryan, kepada Tempo, Selasa malam pekan lalu.
Kelainan tulang Ryan diketahui lewat roentgen, dua hari setelah ia dilahirkan. Hal itu dilakukan karena paha kirinya bengkak dan membiru. Rupanya, ada tulang yang patah di sana. Dokter memberikan kalsium cair untuk menguatkan tulang Ryan. Saban sepekan, sebotol kalsium dihabiskan Ryan.
Namun pemberian ratusan botol kalsium tak berefek banyak. Hingga Ryan berusia tujuh tahun, tulang kaki kiri anak sulung ini bolak-balik patah. Bisa sepekan atau dua pekan sekali. Tak hanya di paha, patah kerap terjadi di tulang betis kiri. "Jatuh sedikit patah, salah gendong pun bisa patah," ujar Yulisni.
Cerita mulai berubah setelah Ryan ditangani dokter Bambang Tridjaja dari bagian endokrinologi anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, setahun lalu. Ryan mendapat terapi pamidronate untuk menguatkan tulangnya. Pemberian dilakukan tiga hari saban tiga bulan lewat infus. Sejauh ini sudah tiga kali. Hasilnya, kini tulangnya tak lagi gampang patah.
"Setahun mendapat terapi pamidronate, cuma patah sekali," kata Yulisni. Namun kaki kiri Ryan belum sekuat kaki kanannya. Karena itu, ia belum bisa berjalan, masih ngesot. Ryan pun suka iri kepada dua adiknya, yang sudah bisa berjalan. "Kapan saya bisa jalan, Bu?" ujar Ryan.
Bila tulang Ryan sudah sekuat anak kebanyakan sehingga ia dapat terus menuntut ilmu, bukan tak mungkin cita-citanya menjadi dokter bisa terkabul.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo