Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBUSANA kurung dengan juntaian ulos, Miranda Swaray Goeltom turun dari Alphard hitamnya. Menenteng tas merah marun Sergio Rossi, perempuan 62 tahun ini bergegas memasuki halaman jembar rumahnya di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan. Rambutnya berwarna black cherry. "Yang berwarna itu rambut yang beruban," kata dia terkekeh ketika ditemui Tempo, Jumat malam pekan lalu.
Sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka perkara suap pada pemilihannya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda berusaha tampak tenang. Kesedihan tak terlihat pada wajah nenek dua cucu ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi menuduh guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu ikut membantu Nunun Nurbaetie, tersangka lain perkara ini, menyuap 41 anggota Komisi Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004. Nunun disangka menebar uang guna memenangkan Miranda pada pemilihan Deputi Gubernur Senior awal Juni 2004.
Komisi antikorupsi tidak menahan perempuan sosialita ini. Tapi, sejak awal Desember lalu, Imigrasi telah memperpanjang pencegahan dia ke luar negeri. "Pasti ditahan kalau berkasnya maju ke penuntutan," kata Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Miranda menyatakan baru mengetahui status barunya setelah dihubungi seorang kerabat, tak lama setelah media massa memuat pengumuman KPK. Siang itu, ia sedang menuju rumahnya. Penyuka orkestra ini baru saja mendarat setelah menghadiri undangan Bank Indonesia Yogyakarta. "Saya terkejut, awalnya tidak percaya," kata dia. "Tapi saya tidak boleh panik. Ini realita yang harus saya hadapi."
LAYAR putih berukuran setengah meja pingpong terpacak di ruang gelar perkara lantai tiga gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Di layar itu, tertera matriks perkembangan penyelidikan dugaan keterlibatan Miranda Swaray Goeltom dalam kasus suap cek pelawat. Rabu malam pekan lalu itu, Komisi tengah "menguliti" peran Miranda dalam kasus ini.
Dihadiri empat pemimpin KPK, minus Adnan Pandupraja, gelar perkara itu juga melibatkan deputi dan para direktur di bidang penindakan, penasihat, dan sejumlah jaksa KPK. Selama satu setengah jam Pelaksana Harian Direktur Penyelidikan Cahyono Wibowo dan satuan tugas kasus itu mendedar fakta dan pengakuan saksi. Mereka menyimpulkan: Miranda layak menjadi tersangka.
Kendati dua alat bukti sudah dikantongi, menurut sumber Tempo yang ikut pertemuan, usul kasus itu maju ke tahap penyidikan tidak langsung disetujui peserta rapat. Direktur Penuntutan Warih Sadono dan sejumlah jaksa mempertanyakan belum adanya bukti Miranda menjanjikan uang ke Nunun atau anggota Dewan. "Alasan mereka, supaya di persidangan tuduhannya tidak mudah dipatahkan," kata seorang sumber.
Ekspos perkara malam itu, kata sumber lain, dinilai sebagian peserta rapat belum beranjak dari pembahasan sebelumnya. Pada dua pembahasan itu, penyidik dan pemimpin KPK belum yakin benar dan menunda penetapan Miranda sebagai tersangka. Perannya dalam penyuapan dianggap belum begitu terang. Akhirnya, dalam ekspos Rabu dua pekan lalu, diputuskan untuk kembali memeriksa Nunun Nurbaetie.
Hasil pemeriksaan Nunun pada Selasa pekan lalu juga tak membuahkan keterangan penting. Karena mengeluh sakit, Nunun tidak bisa diperiksa berlama-lama. Baru enam pertanyaan, itu pun lebih ke soal kesehatan, penyidik tidak melanjutkan pemeriksaan. Dalam dua pemeriksaan sebelumnya, Nunun mengaku tidak pernah ditawari atau dititipi cek pelawat Miranda.
Walhasil, penyidik memilih tuduhan "turut bersama melakukan penyuapan" buat Miranda. Dasar yang dipakai antara lain inisiatif Miranda dalam beberapa pertemuan dengan anggota Dewan sebelum pemilihan. Ia melakukan serangkaian pertemuan buat menyisihkan dua pesaingnya: Budi Rochadi dan Hartadi Sarwono.
Penyidik menyebutkan pertemuan Miranda dengan 15 anggota Komisi Perbankan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Hotel Dharmawangsa beberapa hari sebelum pemilihan. Miranda mengakui merancang pertemuan, termasuk mendanainya. Ibu dua putri ini juga membenarkan mengundang Udju Djuhaeri dan tiga koleganya, anggota Fraksi TNI/Polri, ke Niaga Tower, Sudirman, Jakarta Selatan.
Kesaksian Nunun bahwa Miranda pernah memintanya dipertemukan dengan anggota Komisi Perbankan DPR periode itu–Paskah Suzetta, Hamka Yandhu, dan Endin A.J. Soefihara–di rumah Nunun di Cipete, Jakarta Selatan, juga dipakai penyidik. Kepada penyidik, Nunun mengatakan Miranda meminta para politikus itu memilihnya. Kedekatan Miranda dengan Nunun dinilai penyidik menguatkan tuduhan.
Kesimpulan penyidik itu hanya disetujui Abraham Samad. Tiga pemimpin lain KPK–Busyro Muqoddas, Zulkarnain, dan Bambang Widjojanto–meminta satu gelar perkara lagi agar lebih meyakinkan. Usul itu disetujui rapat.
Keesokan harinya, Kamis pekan lalu, tanpa didampingi koleganya, Abraham mengumumkan Miranda menjadi tersangka. Pengumuman ini, kata seorang sumber, membuat kaget tiga pemimpin KPK yang hadir pada saat gelar perkara.
Baik Abraham, Busyro, maupun Bambang tidak memberikan konfirmasi soal ini. Adapun juru bicara KPK, Johan Budi S.P., menyatakan tak mengetahui informasi itu. "Sejauh ini, pemimpin kami kompak," ujarnya.
MIRANDA Swaray Goeltom terus disebut sejak perkara ini terbongkar "tak sengaja" pada 2008. Ketika itu, anggota Dewan dari PDI Perjuangan periode 1999-2004, Agus Condro Prayitno, diperiksa dalam perkara lain. Ia kemudian mengaku pernah menerima cek pelawat pada saat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.
Pada awalnya, KPK menetapkan empat anggota DPR, yaitu Hamka Yandhu dari Golkar, Endin A.J. Soefihara dari Partai Persatuan Pembangunan, Dudhie Makmun Murod dari PDI Perjuangan, dan Udju Djuhaeri dari Fraksi TNI/Polri, sebagai tersangka. Mereka dituding menjadi koordinator fraksi yang menerima dan membagi-bagikan cek pelawat.
Dari empat orang ini, nama Nunun muncul. Kecuali Dudhie, ketiga tersangka mengaku menerima cek di kantor Nunun, PT Wahana Esa Sejati, melalui Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo. Sedangkan Dudhie menerima cek dari Arie di Restoran Bebek Bali, Senayan.
Di pengadilan empat orang itu, Arie mengaku diperintah Nunun, bosnya di Wahana Esa, membagikan cek. Kepada penyidik, Nunun membantah menyerahkan atau menyuruh Arie membagikan cek. "Seharusnya KPK mendalami siapa sebenarnya yang nyuruh Arie," kata pengacara Nunun, Ina Rahman.
Keempat tersangka kompak menyebut cek itu sebagai "bingkisan" atas kemenangan Miranda. Kini mereka bebas setelah selesai menjalani masa hukuman perkara itu. Hamka Yandhu, misalnya, mengaku cek senilai Rp 7,35 miliar untuk fraksinya terkait dengan pemilihan Miranda. Kala itu, Miranda sendiri sudah diperiksa sebagai saksi dan memberi keterangan di persidangan. "Saya tidak pernah menjanjikan atau menginstruksikan pemberian uang," ujar Miranda.
Dari "nyanyian" empat penerima cek itu, plus dukungan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dari 480 lembar cek senilai Rp 24 miliar, sebagian besar mengalir ke 41 anggota DPR periode 1999-2004 dari empat fraksi: Golkar, PPP, TNI/Polri, dan PDIP. Sisanya ke pihak lain.
Sebanyak 20 lembar cek senilai Rp 1 miliar, antara lain, dicairkan sekretaris Nunun, Sumarni. Duit itu oleh Sumarni ditransfer ke rekening bosnya. Duit diduga merupakan fee atas jasa Nunun menebar cek. Kepada penyidik, Nunun mengaku tak pernah menerima duit itu. Alasannya, uang di rekeningnya sudah banyak. "Perusahaan klien saya banyak. Dia tidak sempat ngurusi hal seperti itu," kata pengacara Nunun yang lain, Mulyarahardja.
Awal September 2010, KPK kembali menetapkan 25 anggota DPR periode itu sebagai tersangka. Di antaranya Ketua Fraksi PDIP Panda Nababan dan politikus Partai Golkar, Paskah Suzetta. Sisanya, selain belum tersentuh, ada yang meninggal. Semua penerima cek telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Sebagian pada masa akhir hukuman mereka. Vonisnya rata-rata satu-dua tahun penjara.
Delapan bulan berselang, saat rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR, Ketua KPK saat itu, Busyro Muqoddas, melansir perihal penetapan Nunun sebagai tersangka. Istri bekas Wakil Kepala Kepolisian RI Adang Daradjatun itu dijerat pasal penyuapan. Sesungguhnya penyidik sudah menetapkan Nunun sebagai tersangka pada 24 Februari 2011. Dengan dalih strategi penyidikan, menurut Busyro, statusnya baru diumumkan belakangan.
Persoalannya, Nunun tak ada di Indonesia. Sehari setelah dicekal, 25 Maret 2010, ia terbang ke Singapura dengan alasan berobat. Melalui pengacaranya, KPK meminta Nunun kembali ke Tanah Air untuk diperiksa. Karena dia tiga kali mangkir, Maret tahun lalu KPK menetapkan Nunun sebagai buron Interpol. Setelah wira-wiri ke sejumlah negara Asia selama menjadi buron, awal Desember lalu, ia ditangkap Polisi Kerajaan Thailand, selanjutnya diserahkan ke KPK.
Tertangkapnya Nunun memberi harapan baru penuntasan kasus itu. Cek pelawat dibeli PT First Mujur Plantation & Industry dari Bank Internasional Indonesia melalui Bank Artha Graha. Di persidangan, pemimpin First Mujur menyatakan cek dipakai buat membeli 5.000 hektare kebun sawit di Sumatera. Berdasarkan penelusuran Tempo sebelumnya, transaksi ini diduga fiktif.
Sumber ini memastikan KPK tidak kehabisan langkah. Dengan penetapan Miranda sebagai tersangka, penyidik bisa mengorek sponsor cek pelawat. Bekas Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein menuding sponsor Miranda adalah "bank bermasalah".
Abraham Samad memastikan Miranda bukan ujung dari kasus ini. Ia berjanji akan menggali sedalam-dalamnya cukong penyandang dana cek pelawat. Adapun Miranda menyatakan tidak pernah meminta orang menjadi sponsor. Jumat malam pekan lalu, setelah menerima Tempo, ia merangkul dua cucunya.
Anton Aprianto, Febriana Firdaus, Tri Suharman
Rame-rame Menuding Miranda
Sejumlah politikus penerima cek pelawat menunjuk Miranda Swaray Goeltom dalam perkara suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Juni 2004. Begitu juga tersangka lain kasus ini.
Agus Condro Prayitno
(Anggota Fraksi PDI Perjuangan 1999-2004, 26 Oktober 2010)
”Di ruang fraksi, Juni 2004, Ketua ngomong Miranda mau ngasih kami Rp 300 juta. Tapi, kalau kita minta Rp 500 juta, dia enggak keberatan.”
Danial Tanjung
(Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan 1999-2004, 23 Oktober 2009)
”Endin (A.J. Soefihara, ketua fraksinya) mengatakan: ini ada rezeki dari Miranda.”
Izederik Emir Moeis
(Ketua Komisi Keuangan DPR 2004, sebagai saksi pada 18 Mei 2011)
”Pada 9 Juni 2004, saya sempat pegang cek 10 menit, tapi saya bilang: Pan (Panda Nababan, koleganya), gue enggak mau terima duit-duit dari Miranda.”
Udju Djuhaeri
(Anggota Fraksi TNI/Polri 1999-2004, 4 Februari 2010)
”Saat menerima cek, saya tidak menyangka bahwa pemberian tersebut terkait dengan pemilihan. Adang menelepon saya meminta Fraksi TNI/Polri mendukung Miranda.”
Nunun Nurbaetie (melalui pengacara Mulyaharja), kepada penyidik KPK, 27 Desember 2011:
”MG (Miranda) pernah meminta Ibu Nunun agar diperkenalkan dengan anggota DPR untuk pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia.”
Lobi Sebelum Pemilihan
Dengan bantuan Nunun Nurbaetie–istri Wakil Kepala Kepolisian RI ketika itu, Adang Daradjatun–Miranda aktif bertemu dengan sejumlah politikus sebelum pemilihan.
Tiupan Peluit
Ketika diperiksa untuk perkara lain di Komisi Pemberantasan Korupsi pada 4 Juli 2008, Agus Condro menyatakan menerima cek pelawat senilai Rp 500 juta untuk memenangkan Miranda Goeltom pada 2004. Sejak itulah nama perempuan sosialita ini terus menghiasi media massa.
1 April 2010
Miranda menjadi saksi pada sidang dengan terdakwa Dudhie Makmun Murod. Ia mengakui pertemuan di Hotel Dharmawangsa.
25 Oktober 2010
Miranda mulai dilarang ke luar negeri. Pencegahan berlaku setahun.
25-26 Oktober 2010
Miranda diperiksa sebagai saksi.
26 Oktober 2010
Miranda diperiksa KPK. Hendak ke Singapura menggunakan paspor biasa, ia gagal berangkat.
21 September 2011
Miranda kembali diperiksa di KPK sebagai saksi.
13 Desember 2011
KPK memperpanjang pencegahan Miranda, berlaku sampai 12 Juni 2012.
10 Januari 2012
Miranda kembali diperiksa.
26 Januari 2012
Miranda ditetapkan sebagai tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo