PAGI itu ruang tunggu di lantai lima Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta, masih berbau karbol wangi. Ada dua belas orang duduk di sana, beberapa di antaranya tepekur, menanti sesuatu. Mereka menunggu anggota keluarganya yang dirawat di ruang Unit Perawatan Intensif (ICU) RS itu. Di antara penunggu tampak tiga orang kulit putih, asal Kanada. Mereka menengok kawannya, sesama warga Kanada yang sedang dirawat di situ. Dan sungguh malang, pasien itu menderita AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), penyakit menyeramkan yang belum ada obatnya. Di salah satu pojok tampak seorang wanita Indonesia berkulit sawo matang, yang tak lain adalah istri penderita. Ia tentu tidak menduga bencana AIDS akan menimpa suaminya. Wajahnya tetap manis, tapi tegang, gundah, dan agak pucat. Kondisi penderita asal Kanada itu sendiri, agaknya, belum terlalu parah. Tak jelas apakah sudah timbul bercak-bercak sarcoma kaposi (semacam panu berwarna ungu) dikulitnya, yakni satu gejala AIDS yang paling kentara. Kendati demikian, "dari hasil pemeriksaan selama ini bisa dipastikan bahwa ia menderita AIDS," kata Prof. A.A. Loedin, Ketua Panitia Nasional Penanggulangan AIDS, seusai memberi ceramah tentang penanggulangan AIDS di Indonesia. Seperti sudah diatur, ceramah bagi remaja yang diadakan lembaga sosial "Sahabat Remaja" di wisma Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Jakarta, Jumat lalu itu, jadi semakin hangat sehubungan dengan berita tadi. Adapun pasien Kanada itu ternyata sering mondar-mandir ke Indonesia -- konon pindahan dari RS lain -- dan sebenarnya sudah beberapa pekan dirawat di RSPP. "Mulanya hanya mengeluh batuk-batuk," kata dr. H. Amal Sutopo, Kepala Medis RSPP, pada TEMPO. Ternyata, batuk dan sesak itu bandel juga: beberapa minggu tak mau sembuh. Hingga, para dokter mestl memeriksa lebih teliti. Soalnya, memang salah satu gejala tersering akibat infeksi virus HIV (Human Immune Deficiency Virus) adalah sejenis radang paru-paru yang disebut pneumonta pneumocyts carmiu. Kini sesak dan batuk yang diderita orang Kanada itu kian parah hingga perlu dipasang selang oksigen lewat hidung, untuk membantu pernapasannya. Tapi yang agak mengkhawatirkan adalah sulitnya melindungi penderita yang kekebalan tubuhnya sangat anjlok itu. Amal Sutopo, misalnya, meski tak mau memberi keterangan terinci, menilai kondisi di RSPP belum memungkinkan isolasi yang intensif. "Kami memang belum punya tempat khusus untuk penderita dengan kekebalan rendah begitu," katanya. Dan tidak pula ada rencana untuk segera mengirim warga Kanada itu pulang ke negerinya. Toh sampai kini para dokter bertindak maksimal. Selain mencegah penularan penyakit -- baik dari maupun kepada penderita -- mereka juga melakukan beberapa pemeriksaan kepada keluarga terdekatnya. Istri penderita pun kabarnya sudah diperiksa dengan teliti. "Tapi hasilnya masih ditunggu." Dengan kasus Kanada ini, berarti jumlah penderita AIDS yang ditemukan di Indonesia ada empat (tiga asing dan seorang pribumi) -- sementara hasil laboratorium positif (seropositif) ditemukan pada tiga orang pribumi -- dua di Jakarta dan seorang di Bali. Adapun pasien AIDS yang sebelum ini bikin gempar adalah Edward Hop, turis dari Betanda yang meninggal di Bali, April lalu. Tak salah lagi, jumlah penderita AIDS di Indonesia masih terlalu kecil dibandingkan jumlah pasien AIDS di AS yang tahun ini mencapai 34.000 orang. Mungkin karena itu Loedin menganjurkan untuk tidak terlalu kuatir. "Selama kelakuan kita tetap wajar, maka tak perlu panik atau resah. Yang penting adalah kesadaran dan kewaspadaan kita," ujar pegawai tinggi Depkes ini. Dan kewaspadaan itu, misalnya, bisa dilakukan lewat ceramah bagi remaja di kota-kota yang banyak didatangi turis seperti Jakarta, Yogya, dan Bali. "Soalnya, dari gambaran penderita AIDS di Asia, ternyata keterlibatan dengan orang asing merupakan faktor berisiko paling tinggi," ujar Loedin. Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini