Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka malaria pada 2017 dilaporkan sekitar 219 juta kasus dan 435.000 orang di antaranya meninggal. Penyakit malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles. Sementara pada kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), penularan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti, diperkirakan 390 juta kasus per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahli dari Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Jakarta mengatakan kelambu yang sering digunakan masyakat Indonesia sebagai perlengkapan tidur masih memiliki kekurangan dalam memproteksi masyarakat dari ancaman gigitan nyamuk anopheles yang membawa parasit malaria. Peneliti utama sekaligus Site Principal Investigator di Indonesia, Profesor Syafruddin, dari LBM Eijkman di Jakarta, mengungkapkan bahwa perlindungan dari kelambu hanya memberikan proteksi bagi orang yang berada di dalam ruangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kelambu hanya memproteksi nyamuk yang datang ke rumah. Sedangkan orang Sumba sukanya sore-sore duduk di luar rumah, itu yang kurangi efek dari kelambu," kata Syafruddin.
Namun, dia tidak menyangkal bahwa kelambu berinsektisida yang dibagikan oleh pemerintah di sejumlah wilayah yang masih endemis malaria efektif menurunkan angka penularan akibat gigitan nyamuk. Syafruddin juga memberikan catatan untuk menyosialisasikan kepada masyarakat untuk menggunakan kelambu dengan benar.
"Kadang kelambu dipakai untuk jala ikan, atau hanya dilipat disimpan dalam lemari, tidak dipasang," kata Syafruddin.
Ilustrasi kelambu. AP/Felipe Dana
Syafruddin, bekerja sama dengan peneliti dari Universitas Notre Dame di Amerika Serikat, melakukan uji klinis terhadap alat penghalau nyamuk bernama Spatial Repellent (SR) di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Alat tersebut dirancang untuk melepaskan senyawa aktif ke udara untuk menghalau nyamuk sehingga kontak manusia dan nyamuk terputus.
Senyawa yang dilepaskan dari repelen spasial akan membuat nyamuk kebingungan dan kehilangan kemampuan untuk mendeteksi manusia dan mencari darah. Menurutnya, penanggulangan atau upaya eliminasi penyakit malaria yang ditargetkan pada 2030 tidak akan bisa dicapai jika hanya melakukan hal biasa saja tanpa ada inovasi.
Syafruddin beranggapan alat SR memiliki potensi untuk membunuh nyamuk penular penyakit malaria, yaitu anopheles, beserta dengan parasit yang ada di dalam tubuhnya hingga benar-benar mencapai eliminasi. Namun, kurangnya bukti epidemiologis yang mendukung alat SR sebagai rekomendasi WHO telah menjadi masalah dalam usaha mengembangkan alat tersebut sebagai produk yang dapat diterima masyarakat.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin merupakan langkah awal untuk mcndukung WHO dalam membuat rekomendasi yang tepat untuk tatalaksana strategi baru pengendalian vektor.