Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Ketika Anak Muda Gandrung Musik 1990-an

Pentas musik '90-an marak dan digemari anak-anak muda belakangan ini. Dari musik Indonesia hingga Barat, juga lagu-lagu anime.

1 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pengunjung pusat belanja The Park Pejaten, Jakarta Selatan, menyemut di area atrium sejak sore. Mereka menyaksikan atraksi sirkus yang digelar mal tersebut tepat pada hari ulang tahun ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia, Sabtu, 17 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seusai atraksi sirkus, tak banyak pengunjung yang beranjak. Lantai dasar mal tersebut justru makin penuh, terutama di area panggung yang diisi seperangkat alat musik. Tepat pada pukul 19.00 WIB, para pengunjung sontak bersorak ketika sosok personel grup musik Kahitna muncul di atas pentas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denting keyboard yang dimainkan Yovie Widianto kemudian mengalunkan intro lagu “Soulmate”. Vokalis Mario Ginanjar lalu tiba-tiba muncul dari tirai hitam di belakang panggung. Tempik sorak penonton kian membahana begitu Mario menyanyikan tembang yang dirilis pada 2006 itu.

“Ketika engkau datang. Mengapa di saat ku tak mungkin menggapaimu. Meskipun tlah kau semaikan cinta. Di balik senyuman indah. Kau jadikan seakan nyata. Seolah kau belahan jiwa.”

Para penonton kemudian diajak bernostalgia ketika Hedi Yunus dan Mario Ginanjar menyanyikan “Cerita Cinta”. Para penonton pun ikut menyanyikan lirik lagu yang dirilis pada 1994 tersebut. Hedi Yunus menyodorkan mikrofon ke arah penonton.

Selain membawakan “Cerita Cinta”, Kahitna menyuguhkan lagu dari 1995, yakni “Andai Dia Tahu” dan “Cinta”. Meski kedua tembang itu cukup lawas, para penonton yang datang dari berbagai kalangan usia kompak dan fasih menyanyikannya.

Tak hanya bernyanyi, Hedi Yunus berinteraksi dengan para Soulmate—sebutan untuk penggemar Kahitna. Setelah membawakan lagu “Rahasia Cinta”, Hedi berseloroh: “Biasanya yang tahu lagu ‘Rahasia Cinta’ itu kalangan usianya 20-an ke bawah. Tapi 25-30 pada tahu juga, kok. Ha-ha-ha....”

•••

SEKITAR satu setengah jam sebelum penampilan Kahitna, Nabiila dan Shadrin bersiaga di sisi kiri panggung. Posisi dua perempuan yang sama-sama berusia 23 tahun itu tepat di samping drum. Tak sekali pun mereka beranjak meski harus menahan lapar dan haus. “Kami enggak pindah-pindah. Diam saja di situ,” ujar Nabiila.

Mereka tak ingin melewatkan penampilan Kahitna. Selama satu jam keduanya ikut mendendangkan 11 tembang grup musik itu sambil merekam penampilan sang idola.

Shadrin menjadi salah satu penggemar yang beruntung. Di pengujung acara, saat warga Condet, Jakarta Timur, itu tengah berswafoto dengan latar panggung, drummer Kahitna, Budiana Nugraha, menghampirinya. Budiana ikut berswafoto dengan pose finger heart ala Korea bersama Shadrin.

Nabiilah (kanan) dan Shadrina setelah menonton konser Kahitna di Atrium The Park Pejaten, Jakarta, 17 Agustus 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Bagi Shadrin dan Nabiila, menonton konser Kahitna adalah salah satu keinginan yang akhirnya terwujud. Nabiila mulai menggemari Kahitna karena pengaruh Shadrin, yang lebih dulu mengidolakan grup musik yang dibentuk pada 1986 itu. "Lagunya enak-enak dan pembawaannya bahagia gitu,” kata Nabiila.

Adapun Shadrin mengenal Kahitna berkat orang tuanya. Ibunya kerap mendengarkan tembang-tembang Kahitna di radio. “Andai Dia Tahu” menjadi lagu pertama yang membuat Shadrin mengidolakan Kahitna. “Ini genre gue banget, sih. Walau lagu lama-lama banget dan kami gen Z, kami lebih suka dengerin lagu Kahitna. Lebih masuk,” ujarnya.

Lirik yang mudah diingat dan tembang yang easy listening menjadi alasan Shadrin dan Nabiila hafal lagu-lagu lawas Kahitna. “Malah lagu-lagu barunya belum terlalu hafal,” tutur Nabiila.

Keduanya kerap mendengarkan musik Kahitna dalam perjalanan pulang kerja. Bahkan mereka sampai membuat daftar putar khusus Kahitna di salah satu aplikasi musik digital. 

Shadrin menuturkan, ketika dia menggemari Kahitna di masa sekolah menengah pertama, tak banyak teman sebayanya yang mengetahui grup musik tersebut. Kini, karena tren musik 1990-an kembali naik, Shadrin bisa merasakan keseruan menonton konser Kahitna. “Jadi seru. Bisa ajak teman,” ucapnya.

•••

MUSIKUS dan penyanyi Barat dari 1990-an juga mendapat tempat di hati anak-anak muda Indonesia. Antusiasme mereka menggelora ketika digelar perhelatan musik The 90’s Festival 2024 di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, pada 10-11 Agustus 2024.

Salah satu anak muda yang menantikan acara festival musik '90-an tersebut adalah Diah Tri Febrianti. Perempuan yang lahir pada 1984 itu sangat menikmati berbagai lagu yang dibawakan penyanyi idolanya, Ronan Keating, yang tampil pada Sabtu, 10 Agustus 2024. Diah ikut bersenandung ketika penyanyi asal Irlandia itu membawakan lagu andalan “Baby Can I Hold You”. 

Diah pun berjingkrak-jingkrak saat Keating menyanyikan tembang penutup yang bertempo cepat, “Life Is a Rollercoaster”. “Penampilan Ronan Keating bagus sekali. Walau sudah tak muda lagi, goyangannya masih oke, lho,” kata Diah.

Diah memang sangat menyukai penampilan penyanyi itu. Diah mengungkapkan, lagu-lagu Keating dan grupnya, Boyzone, menemaninya sejak dia duduk di bangku sekolah menengah pertama. “Lagu-lagunya itu membekas sekali buat aku,” ujarnya, semringah melihat sang idola. 

Diah Tri Febrianti di The 90's Festival, Jakata. Tempo/Mitra Tarigan

Astri Ratna Dewi juga menyatakan penampilan Ronan Keating bagus. Seperti halnya Diah, Astri adalah penggemar berat penyanyi 47 tahun tersebut. Ia selalu menonton penampilan sang idola setiap kali berpentas di Jakarta. 

“Aku nonton Ronan Keating setiap tahun. Tahun lalu aku nonton dia nyanyi dengan Putri Ariani di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara,” kata Astri. “Suara dia enggak pernah berubah, tetap stabil dan sama. Keren sekali penampilannya.”

Stevvei, 36 tahun, dan Renata, 33 tahun, juga menyebutkan penampilan Keating mengesankan. Keduanya tidak menyangka penyanyi itu masih sangat energetik menari dan mendendangkan lagu dengan ketukan cepat. “Stage act-nya keren, bikin kami teriak-teriak,” ujar Stevvei. 

Adapun Renata menilai Keating dan timnya melakukan riset yang bagus dengan menambahkan aksi kekinian dalam penampilan malam itu. “Servis penampilannya kekinian. Sampai bikin love heart jari segala. Jadi lebih playful,” kata Renata. 

Pentas Ronan Keating dalam gelatan The 90's Festival, di Jakarta, Agustus 2024. Tempo/Mitra Tarigan

Keating menunjukkan tanda hati makna rasa sayangnya kepada para penggemar melalui tangannya. Gayanya menunjukkan hati itu ia lakukan dengan menyatukan jempol dan telunjuk seperti gestur khas pria Korea di layar kaca. Hal itu menjadi salah satu upayanya menggaet perhatian para pendengar yang masih muda.

Malam itu, Keating memang berhasil mengajak penontonnya bernostalgia dengan berbagai tembang andalannya. Di antaranya “If Tomorrow Never Comes” dan “When You Say Nothing At All”. Mengenakan singlet hitam dengan balutan jas putih, Keating kadang ikut berjoget mengikuti irama. 

Keating mengatakan, setiap kali ke Indonesia, dia selalu senang karena mendapat energi yang sangat positif dari para penggemarnya. Dalam pentasnya di JIExpo, ia menilai para penontonnya di festival tersebut adalah orang-orang yang sangat muda dan tidak mungkin mengikuti perjalanan karier musiknya dalam 30 terakhir. “Kamu sepertinya terlalu muda. Kamu tidak akan ingat grup saya dulu, Boyzone,” ucapnya. 

Dengan antusias Keating menjelaskan saat dia tergabung dalam kelompok Boyzone hingga akhirnya memutuskan berkarier solo. “Coba kalian tanya orang tua kalian tentang aku, ya,” tutur Keating, yang tampak khawatir penontonnya tidak terlalu mengenalnya dengan baik.

Penampilan panggung band Suede sebagai penutup konser The 90's  Festival 7th Edition di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, 12 Agustus 2024. Tempo/Ilham Balindra

Selain menghadirkan Ronan Keating, The 90’s Festival 2024 menampilkan grup musik mancanegara A1, Steelheart, dan Frente. Sejumlah musikus Indonesia, antara lain Slank, Jamrud, dan Elfa’s Singers, turut memeriahkan festival tersebut.

Perhelatan musik '90-an itu juga menyuguhkan penampilan band legendaris asal Inggris, Suede. Boleh dibilang grup musik yang dikenal sebagai salah satu pelopor Britpop itu menjadi penampil yang sangat spesial dalam rangkaian festival musik tersebut.

•••

BUKAN hanya musik Indonesia dan Barat dari 1990-an yang meraih kembali popularitasnya. Musik Jepang juga digemari anak-anak muda belakangan ini, terutama di kalangan pencinta anime. Salah satu komunitas yang menghidupkan lagu-lagu anime '90-an adalah Orutaku Club. 

Terbentuk pada 2018, Orutaku Club mengajak otaku (istilah untuk menyebut orang-orang yang fanatik pada anime, manga, atau gim Jepang) bernostalgia. Mengusung konsep “old school otaku party”, acara dimeriahkan dengan penampilan disjoki (DJ) yang memutarkan lagu-lagu anime lawas.

Salah satu pendiri Orutaku Club, Triska Sarwono, menjelaskan, ketika mendirikan komunitas itu, banyak acara karaoke yang membawakan lagu-lagu 1980-1990. “Tapi biasanya lagu Barat atau Indonesia. Terus kami kepikiran aja, kenapa enggak ada lagu Jepang, ya?” kata Triska.

Perempuan 32 tahun itu menilai lagu-lagu Jepang, khususnya musik latar anime atau kartun, lebih akrab dengan masa kecil generasi milenial. “Ya sudah, kami bikin saja acaranya sendiri,” tuturnya.

Pengisi acara dan penonton Orutaku Fest 2023, di Jakarta. Dok. Orutaku

Acara pesta dansa dan karaoke pertama digelar pada 8 November 2018. Triska mengungkapkan, jumlah pendaftar hampir 200 orang. Seiring dengan waktu, jumlah peserta terus bertambah dalam tiap acara dan pernah mencapai sekitar 900 orang. 

Pendiri lain Orutaku Club, Michelle Elizabeth, menambahkan, ada juga peserta yang datang bersama keluarga, bahkan membawa anaknya yang duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. “Anaknya Triska juga dibawa,” ucap perempuan yang akrab disapa Mia itu.

Setiap acara yang digelar Orutaku Club berdurasi empat-lima jam dengan tarif Rp 150 ribu. Anime yang lagunya sering diputar antara lain One Piece, Dragon Ball, Naruto, Doraemon, Crayon Shinchan, Chibi Maruko-chan, dan Captain Tsubasa. Tak hanya menampilkan tembang lawas, Orutaku juga sesekali memutarkan lagu-lagu anime terbaru.

Karena kesibukan masing-masing, pengurus Orutaku Club hanya mengadakan acara karaoke lagu anime lawas tersebut setidaknya dua kali dalam setahun. Lagi pula, Triska menerangkan, bila diadakan setiap bulan, rasanya acara tersebut menjadi tidak spesial. “Takut lagunya basi juga, sih. Karena lagu kami terbatas dari era tertentu saja,” ucapnya.

Di samping bernostalgia, Triska menuturkan, niat awal pendirian Orutaku Club adalah bersenang-senang. Tapi kini ia berharap komunitasnya bisa menjadi wadah kolaborasi bagi para old school otaku

Misalnya, dalam pembuatan poster acara Orutaku, pihaknya selalu merekrut ilustrator lokal. Triska juga pernah membuka pasar seni mini bagi ilustrator dan jenama lokal untuk menjajakan karya, khususnya yang berkaitan dengan anime atau budaya pop Jepang era lampau.

Penulis buku musik, Nuran Wibisono, menilai musik era '90-an memang sedang menjadi tren di kalangan anak muda, khususnya generasi Z. Sebab, kata Nuran, kelompok ini memiliki kebiasaan menarik. “Mereka banyak menggali musik lampau.”

Kebiasaan kalangan gen Z mengulik musik lawas dipengaruhi sejumlah faktor. Di antaranya film atau serial yang memakai musik latar 1980-1990, seperti serial Netflix, Cobra Kai. Ada pula film Guardians of the Galaxy yang salah satu karakternya gemar mendengarkan musik dari walkman (pemutar kaset yang populer pada 1980 hingga 1990-an).

Menurut Nuran, ketertarikan anak muda pada masa lampau sebetulnya bukan hal baru. Fenomena ini menjadi tren yang berulang. Generasi '90-an, misalnya, juga kadang menengok musik 1970-an pada awal 2000.

Di sisi lain, Nuran mengungkapkan, musik '90-an bisa disukai lintas generasi karena menjadi perwujudan sempurna musik pasar. “Musik yang kalau buat aku generik, dalam arti industri musik sudah tahu apa yang dikehendaki pasar,” ujarnya.

Nuran menjelaskan, musik dari era tersebut mudah diterima pasar. Pendengarnya bisa sing-along atau bernyanyi bersama. Suara musiknya pun, Nuran menambahkan, punya karakter masing-masing, tapi bisa disatukan oleh benang merah yang sama. “Boleh dibilang kemasan musiknya ringan, mudah dicerna. Tapi tentu ini enggak bisa digeneralisasi, ya,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Mitra Tarigan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Musim Pentas Musik '90-an"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus