Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Potret Kali Hitam Berbusa di Bekasi

Fotografer Arie Basuki meraih Penghargaan Kehormatan untuk wilayah Asia Tenggara Oseania World Press Photo 2024. 

1 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI masih pagi, kurang-lebih pukul 09.00, hampir setahun lalu di Kali Cileungsi, tepatnya di Curug Parigi, hulu Kali Bekasi, Jawa Barat. Tapi, bagi fotografer Arie Basuki, itu sudah terlalu siang. Saat itu ia hanya dapat bertemu dengan seorang penjala ikan bertutup kepala merah. Jalanya tersangkut batu. Penjala itu tak melihat ada batu dengan jelas di balik buih putih yang tebal dan hitamnya air sungai di curug itu. Si penjala pun turun mengambil jalanya. Buih yang tebal menutup tubuhnya hingga dada. Saat itulah, Arie, 50 tahun, jurnalis foto portal Merdeka.com, menjepret dengan kamera tuanya, Nikon D3.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat itu Arbas—panggilan Arie Basuki—tengah melakukan riset setelah mendengar berita bahwa aliran air perusahaan daerah air minum di Bekasi mati karena polusi. Karena obyek di batang sungai di kota kurang menarik, dia mendatangi bagian hulunya. Sampai daerah eretan, dia masih belum menemukan sesuatu yang menarik. Jadilah ia ke curug di hulu, kurang-lebih 2 kilometer dari tempat itu. Sesampai di dekat curug, ia tak mendapati jalan yang bisa dilalui. Di dekat sungai, terdapat masjid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gue manjat tembok masjid, ke pinggir sungai itu,” ujar Arie kepada Tempo. Ia pun langsung beraksi dengan kameranya, mengambil banyak frame obyek sungai yang sangat tercemar itu. Sungai yang hitam dengan buih setebal kira-kira 50 sentimeter menutup seluruh badan sungai di dekat curug itu. Curug yang biasanya menjadi obyek wisata warga Bekasi karena keindahannya tersebut saat itu menampakkan polusi yang menjijikkan. Bagi Arie, ini momen yang langka dan cukup kuat untuk ia abadikan.

Menurut warga, pada waktu-waktu tertentu, ketika pabrik-pabrik membuang limbah mereka, pasti sungai akan menghitam dan berbuih. Arie mengungkapkan, tak jauh dari sana, ada beberapa pabrik yang diduga membuang limbah ke sungai. Ia mengaku tak mencari tahu lebih jauh pabrik apa saja yang ada di sana dan membuang limbah secara sembarangan.

"Polusi Di Sungai Cileungsi' karya fotografer Arie Basuki. Worldpressphoto.org

Foto itulah yang kemudian ia kirimkan ke panitia World Press Photo di Belanda. Organisasi yang berdiri pada 1953 ini mengajak jurnalis foto sedunia memilih dan memamerkan karya-karya terbaik mereka. Tak dinyana, foto itu memikat juri dan mendapat penghargaan kehormatan (Honorable Mention) dalam World Press Photo 2024 wilayah Asia Tenggara dan Oseania. Kini fotonya tengah dipajang dalam pameran World Press Photo di Erasmus Huis, Jakarta.

Arie bercerita, saat fotonya diumumkan masuk daftar kandidat pilihan, panitia mengecek ulang dan meminta bukti yang lebih dalam mengenai foto itu. “Diminta di-keep dulu, khawatir soal keaslian foto atau setting-an. Ada mungkin 12-15 kali kirim e-mail bolak-balik dalam sebulan,” ucapnya. Panitia, kata Arie, meminta titik koordinat lokasi pemotretan, juga satu bingkai foto utama serta masing-masing tiga bingkai foto sebelum dan setelah foto utama. “Kalau tidak urut, langsung didiskualifikasi,” tutur jurnalis foto yang berpengalaman meliput di medan konflik dan bencana di Indonesia ini.

Fotografer yang mulai gemar memotret saat duduk di bangku kuliah Jurusan Antropologi Universitas Udayana, Bali, ini sudah memenangi banyak penghargaan kompetisi fotografi. Arie mengakui sangat sulit lolos dari kualifikasi bahkan sampai terpilih dalam World Press Photo. Sebab, dia harus bersaing dengan ribuan karya dan fotografer dari seluruh dunia. Setiap tahun jurinya pun selalu independen dan berganti. Selain itu, isu atau temanya berubah. “Termasuk cukup prestisius, ya, ketat, sulit bisa masuk,” ujarnya.  

Arie sudah lebih dari sepuluh kali mengirimkan karya dengan berbagai tema ke World Press Photo. Selain foto polusi di curug ini, potret tenggelamnya Desa Timbul Seloko di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, ia kirimkan. Tapi rupanya karyanya itu masih kalah kuat dibanding foto tentang dampak perubahan iklim dan tenggelamnya suatu tempat dari Australia.


Arie Basuki

Pengalaman karier

  • 1998-2000: Fotografer Harian Nusa Tenggara, Denpasar
  • 2000-2001: Fotografer Majalah Wisata Bali Echo
  • 2001-2007: Fotografer Koran Tempo dan majalah Tempo         
  • 2008-2012: Koordinator foto Koran Tempo dan majalah Tempo
  • 2012-kini: Kepala Divisi Foto Merdeka.com

Prestasi internasional

  • Juara I Kompetisi Foto Jurnalistik Nasional 2001 di Jakarta
  • Asian Press Photo Award 2001 di Malaysia
  • Finalis Global Prize Photograpy4humanity 2021-United Nations and Fotograsika di New York, Amerika Serikat
  • Juara III APEC Photo Contest 2022 di Singapura
  • Juara I Environment Photographer of the Year 2022-Epoty di London
  • Juara I Asian Press Photo 2022-Asian Art Association of Singapore di Singapura
  • Honorable Mention World Press Photo 2024 di Belanda
  • Juara III CAJ Photo Contest 2024-Confederation of Thai Journalist di Thailand 

Arie pun diundang ke Amsterdam untuk menerima penghargaan. Dia juga dapat mengikuti semacam lokakarya atau kursus bagi jurnalis foto yang terpilih mengenai pembuatan buku foto dan proyek foto. Dia bertemu dengan editor foto dari berbagai media internasional, seperti The New York Times, Washington Post, dan The Guardian. Dia lantas mengambil kursus tentang proyek foto untuk belajar kepada fotografer yang sering mendapat proyek foto internasional di berbagai belahan dunia.

Dalam kursus itu, Arie mendapatkan ilmu dari 12 dari 14 editor yang hadir. Dia mengatakan sangat terkesan kepada editor foto senior The Guardian yang sangat komunikatif dan rendah hati. Karyanya pun dipajang dalam pameran bertaraf internasional di De Nieuwe Kerk, Amsterdam, pada Mei 2024. Dia mengaku senang bisa bertemu dengan para fotografer berbagai negara yang bersahaja dan sangat terbuka. Dia merasa mereka sudah seperti saudara dan dapat berbagi pengalaman tentang fotografi.

Arie mengaku mendapat banyak pengalaman. Menurut dia, foto yang membuat juri tertarik dan meraih penghargaan dalam banyak kontes foto dunia adalah yang sederhana tapi mempunyai pesan yang kuat. Aspek estetika dan teknik memotret menjadi poin penilaian. Tapi, ketika ada angle dan pesan yang bisa langsung ditangkap, itulah foto yang dipilih. Demikian juga keputusan para juri di World Press Photo yang memilih foto jurnalistik yang orisinal dengan angle sederhana dan tidak dibuat-buat. Dia melihat, di Indonesia, berbagai kompetisi masih menilai foto yang punya banyak angle dan komposisi.

Arie berpendapat banyaknya isu dan persoalan di Indonesia sangat potensial disuarakan para jurnalis foto. Tapi pembelajaran mengenai foto jurnalistik masih kurang. Hal ini membuat dia resah. Masih banyak pula fotografer yang memotret obyek yang dirancang sendiri atau setting-an. Saat ini pun dia melihat referensi foto dari wilayah pinggiran terbatas karena tak banyak jurnalis foto yang turun ke daerah-daerah. Arie mengatakan ingin memotret di daerah terpencil, misalnya kediaman suku Togutil di Maluku Utara yang tersingkir oleh industri. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kali Hitam Berbusa di Bekasi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus