Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Anak Muda dan Minuman Bergula

 

Berbagai produk minuman kekinian bercita rasa manis digemari anak-anak muda belakangan ini. Akankah berpotensi memicu diabetes di kalangan muda?

 

 

13 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Beberapa anak muda mengkonsumsi minuman manis sebagai teman bekerja dan berkegiatan.

  • Iklan minuman kekinian cukup efektif menebar minat dan rasa penasaran anak muda.

  • Banyak penyandang diabetes tak menyadari telah memiliki kadar gula darah di atas normal.

SEGELAS minuman manis kekinian jenis Milo macchiato bersanding dengan hidangan makan malam di atas meja makan berbahan kaca. Minuman perpaduan kopi dan susu itu bagian pesanan Nadira Waluyo, 21 tahun, dalam menu makanannya di sebuah restoran.

Bagi Nadira, Milo macchiato bukan sekadar penghilang dahaga. Salah satu jenis produk gerai minuman kekinian tersebut adalah pelengkap cita rasa santap malamnya.

“Saya minum minuman manis hampir setiap hari. Kalau makan harus ada minuman manis, itu wajib. Biasanya selalu ada kopi, cokelat, atau susu saat makan siang atau makan malam,” kata Nadira, mahasiswi Universitas Budi Luhur, Jakarta, kepada Tempo, Selasa, 8 November lalu.

Nadira menuturkan, dia sudah gemar dan rutin mengkonsumsi minuman manis sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu dia bersama teman-temannya kerap membeli salah satu varian minuman kombinasi es krim di gerai makanan cepat saji. Mereka pun kian mengembangkan minatnya dengan menjelajah berbagai menu di sejumlah kafe dan restoran.

Nadira mengimbuhkan, gaya hidup ini sangat terdukung oleh perkembangan bisnis makanan dan minuman manis kekinian. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah brand besar dan usaha kecil-menengah memiliki gerai yang mudah terjangkau, seperti di perumahan dan sekitar kampus.

Selain itu, dia mudah mendapatkan informasi tentang menu baru dan potongan harga dari iklan-iklan yang bertebaran di media sosial. Nadira pun tertarik mengikuti tren dan eksis dengan mengunggah foto minuman favorit kekinian di akun media sosial pribadinya.

Apalagi adanya layanan pemesanan daring ikut mempermudah akses dia mendapatkan produk minuman tersebut. “Jadinya, kalau saya lagi enggak ngapa-ngapain, terus terpikir ‘mesen kopi, ah’. Saat ada waktu luang, biasanya saya minum kopi manis,” ujar Nadira.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLEH dibilang tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan minuman manis cukup tinggi. Kementerian Kesehatan mencatat setidaknya 61,27 persen penduduk Indonesia berusia tiga tahun ke atas mengkonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari. Hanya 8,51 persen menikmati minuman manis kurang dari tiga kali per bulan. Adapun sebanyak 30,22 persen orang justru mengkonsumsi minuman manis sebanyak satu-enam kali per pekan.

Indonesia menempati posisi ketiga tertinggi konsumsi minuman berpemanis di Asia Tenggara. Setiap warga Indonesia tercatat rata-rata bisa menghabiskan minuman berpemanis hingga 20,23 liter per tahun.

Berdasarkan kajian Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ada beberapa faktor yang memicu tingginya konsumsi minuman berpemanis di Tanah Air. Kajian tersebut mencatat pemerintah belum memiliki regulasi yang kuat untuk mengontrol semua minuman berpemanis yang beredar. Hal ini termasuk kewajiban pencantuman semua bahan pada tiap kemasan.

Tingkat konsumsi juga cukup tinggi karena rata-rata harga jual minuman berpemanis relatif terjangkau. Selain itu, masyarakat bisa terpengaruh karena masifnya iklan produk tersebut di berbagai media, seperti media sosial.

Meylita Ruslina, 21 tahun, membenarkan peran iklan pada kegemarannya terhadap olahan minuman manis bercita rasa teh asal Jepang, yaitu matcha. Sejak 2019, tenaga medis di sebuah rumah sakit di Tangerang, Banten, ini kerap memburu gerai minuman kekinian yang menawarkan varian tersebut.

“Ke mana pun perginya saya selalu mencari tempat yang ada matcha. Saya memang selalu pesan matcha karena ada after taste yang selalu bikin nagih. Everything about matcha, I like it,” kata perawat yang akrab disapa Tata ini.

Selain cita rasa yang khas, Tata melanjutkan, minuman jenis matcha selalu memiliki tampilan visual yang sangat menarik. Hal ini juga yang membuat dia merasa tak bisa mengelak untuk memesan minuman manis tersebut.

Sebelumnya, Tata menambahkan, dia sempat keranjingan pada minuman manis bergaya khas Thailand, yaitu Thai tea. Pengalamannya tersebut membuat dia lebih menyukai minuman dengan aroma dan rasa teh dibandingkan dengan minuman lain, seperti kopi atau cokelat.

Meylita Ruslina/Dok Pribadi

Tata menjelaskan, dia bisa mengkonsumsi matcha dua-tiga kali per pekan. Dia biasanya memesan minuman manis tersebut ketika berkumpul dengan teman-temannya saat akhir pekan. Dia juga rutin memesan pada hari kerja dengan menggunakan jasa layanan daring.

“Tiap minum saya balance sama air putih dan berusaha buat ngurangin sekarang. Karena saya paham efek minuman ini ke depannya buat kesehatan,” tuturnya.

Hal yang sama juga mulai disadari Rizky Noor Aini, 22 tahun, yang selama beberapa tahun terakhir menyukai minuman manis berpelengkap boba—olahan tepung tapioka berbentuk bulat dan kenyal. Dia pun selalu mengikuti tren minuman populer yang memiliki varian boba. Dia mengklaim sebagai sweet tooth—orang dengan kecintaan pada rasa manis.

Dalam beberapa waktu terakhir, dia mulai membatasi konsumsi minuman boba dengan hanya membelinya ketika pergi ke mal atau pusat belanja. Dia pun membeli minuman tersebut sebagai teman selama berbelanja.

“Jujur, saya takut kena diabetes. Jadi mulai membatasi minuman manis itu. Satu atau dua kali seminggu sudah cukup,” ucap Rizky.

Pendiri Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) Muda, Anita Sabidi, mengatakan diabetes adalah penyakit mematikan yang minim gejala atau silent killer. Menurut dia, banyak orang terlambat mengetahui dirinya telah terkena diabetes karena tak merasa ada perubahan pada tubuh. Mereka baru mendeteksinya ketika kadar gula darah sudah jauh di atas batas normal.

Diabetes pun, Anita menambahkan, sudah tak lagi menjadi penyakit yang identik dengan usia tua atau kondisi metabolisme yang melemah. Dalam beberapa tahun terakhir, penyandang diabetes makin muda pada usia produktif awal hingga anak-anak.

Karena itu, jika kita tak mengontrol konsumsi, menurut Anita, berbagai jenis minuman manis dan kemudahan akses untuk menjangkaunya, bukan tidak mungkin bisa menjadi salah satu faktor pemicu banyak anak muda berpotensi terkena diabetes. Apalagi beberapa produk memiliki harga murah sehingga bisa dibeli kelompok usia pelajar dan mahasiswa.

Kondisi tersebut kemudian ikut mendorong munculnya kelompok Persadia Muda. Ini sebuah wadah bagi penyandang diabetes berusia 18-45 tahun. ”Sekarang anggota kami ada sekitar 200 orang. Itu yang terdaftar,” kata Anita.

FELIN LORENSA (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus