Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Mella Jaarsma dan Kostum-kostumnya

Mella Jaarsma, seniman asal Belanda, berfokus mengeksplorasi beragam material, dari tanduk, kulit hewan, bambu, cangkang bulu babi, sampai kulit pohon. Kritis terhadap efek praktik kolonialisme, tapi tak konfrontatif. 

13 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA penampil didandani seperti maneken berjalan. Mereka mengenakan kostum merah marun berbahan kulit, tanpa tangan. Berkaki empat, tangan penampil dalam kostum itu menjadi perpanjangan dua kaki mereka. Keduanya lalu-lalang di pintu masuk ROH. Kadang mereka mematung, lalu bergerak lagi dengan perlahan, tak menghiraukan pengunjung yang datang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak jauh dari kedua penampil itu, terlihat tiga penampil lain mematung. Mereka mengenakan kostum yang berbeda. Kali ini kostum yang cukup perlente, dengan setelan jas di bagian atas. Yang membedakan, kaki kostum tersebut merupakan kaki rusa, berbulu dan memiliki dua kuku besar. Di belakang mereka terpampang sejumlah sampul majalah fashion yang tersusun rapi. Mella Jaarsma memberi judul karya ini Animals Have No Religion – Indra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada pekan kedua, tampak dua laki-laki berdiri berhadapan di bawah sebuah instalasi yang berbentuk seperti lonceng. Kepala mereka terbenam di bawah instalasi yang terbuat dari roncean kerang bulu babi berjudul Until Time is Old (2014).

Karya Mella Jaarsma dalam pameran Performing Artifacts: Objects in Question, di ROH Gallery, Jakarta, 11 November 2022. TEMPO/Magang/Martin Yogi Pardamean

Karya-karya tersebut adalah dua dari puluhan karya Jaarsma yang tengah berpameran tunggal di ROH, Jakarta, pada 19 Oktober-20 November 2022. Alia Swastika mengkurasi pameran bertajuk “Performing Artifacts: Objects in Question” ini. Pameran kali ini boleh dikatakan sebagai refleksi penting dalam praktik kesenian Jaarsma sepanjang 2010-2022. Sebagian karya belum pernah ditampilkan. Karya-karya ini berangkat dari berbagai ide, pertanyaan, sejarah kolonial, dan isu sosial-budaya-politik sehari-hari.

Bagi Alia, karya Jaarsma membangkitkan berbagai pertanyaan tentang artefak, cara pandang kolonial, dan identitas Jaarsma sebagai orang Eropa. Alia menemukan Jaarsma menyadari adanya sejarah hitam kolonialisme, perampasan obyek kebudayaan lokal yang dijadikan milik museum di Eropa, dan penggunaan artefak sebagai material pijakan dalam praktik penciptaan karya kontemporernya. “Ketiga argumen tadi bisa memberikan konteks yang lebih luas dan jernih terhadap obyek, tidak berlandaskan asumsi atau kilasan kesan di permukaan,” kata Alia dalam pengantarnya.

Lihatlah karya instalasi alas kaki yang menyerupai kelompen atau bakiak khas Belanda seperti haluan kapal berwarna merah yang disemati kompas di atasnya. Ada pula dua selongsong kulit buaya utuh yang dipajang pada dinding. Pengunjung bisa berdiri di bawah kulit buaya, seolah-olah masuk ke lubang badan buaya dan mengikatnya seperti topi. Di sebelahnya terdapat video dua laki-laki sedang dikerok badannya. Dalam adegan berikutnya, dua laki-laki ini mengenakan tengkorak buaya. Ada juga beberapa set meja lengkap dengan ceret berlukis pemandangan indah, Mooi Indie, serta video perempuan pemetik teh dan kostum penuh merek teh. Sebuah karya kritis yang membongkar tradisi minum teh. Ia menemukan teh yang biasa diminum pada masa kecilnya di Belanda berasal dari perkebunan di dekat Bandung. “Sampai sekarang produk yang terbaik tak bisa dinikmati masyarakat lokal. Semua diekspor,” ujar Jaarsma.

Dalam karya lain, Jaarsma membuat kostum pakaian tanpa lengan. Pada bagian dada kostum itu tergantung dua selongsong kulit buaya yang lebih kecil. Kedua buaya itu seperti menggigit atau menyesap puting susu dalam kostum itu. Unik, lucu, menggelikan, dan erotik. Karya ini terinspirasi sosok Durga, juga ditujukan untuk mengenang I Gusti Ayu Kadek Murniasih, seniman asal Bali. Karya ini membincangkan tubuh perempuan, ketika citra visual ibu menyusui di ruang publik masuk ranah kesenian dan media massa. Konteks yang alami secara biologis, tapi orang memandangnya dalam konteks seksualitas perempuan yang penuh ketabuan.   

Kostum-kostum kulit kayu yang dimodifikasi dengan kertas dan penuh lukisan binatang juga dipajang. Karya-karya itu hasil kolaborasi Jaarsma dengan Agus Ongge. Dalam video dokumentasi, Agus menjelaskan pembuatan pakaian berbahan kulit pohon dan motif-motif lukisan tradisional berwujud binatang itu. Dari kolaborasi itu, Jaarsma menemukan proyek berikutnya, menemukan sebuah kehidupan yang hilang, tentang kepunahan ikan gergaji (Pristis microdon) di Sentani, Papua. Menurut Agus, ikan ini dulu banyak ditemukan di Danau Sentani, tapi kemudian punah karena pencemaran dan perburuan. Ikan terakhir ditangkap sekitar 1974.  

Ia menyampaikan isu dengan interpretasi yang diwujudkan dalam kostum ikan gergaji sepanjang hampir 2 meter, juga instalasi replika tulang ikan gergaji. “Perburuan ikan ini ada sejak era kolonial, jadi barang koleksi. Saya justru mengetahuinya ketika berkunjung ke museum di Eropa, tapi tidak ada di sini,” ucap Jaarsma kepada Tempo, Selasa, 8 November lalu. Ia mencoba mencari jejak ikan itu di pasar-pasar antik dan memvideokannya. “Saya dapat, tapi tidak beli. Itu membuktikan artefak ini ada, ikan ini dijadikan komoditas seperti gading gajah. Ada permintaan, kan, berarti,” tuturnya.

Kiprah seniman yang lahir pada 8 Oktober 1960 ini bermula ketika ia tinggal di Indonesia pada 1984. Sebelum datang ke Jakarta mengikuti orang tuanya, ia kuliah di Minerva Academy, Groningen, Belanda. Ia kepincut pada Institut Kesenian Jakarta dan sempat kuliah di sana sekitar enam bulan. Ia berguru kepada pelukis Nashar yang sangat akrab dengan para mahasiswa. “Asyik sekali waktu itu. Kami betah di kampus, tidak pulang karena ongkos mahal. Pak Nashar pun tidur di antara lukisan, bersama kami para mahasiswa,” katanya. Jaarsma lalu pindah ke Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Bersama suaminya, Nindityo Adipurnomo, ia kembali ke Belanda karena Nindityo bersekolah di negeri itu. Keduanya kemudian kembali ke Yogyakarta dan mendirikan Cemeti Institute sebagai ruang apresiasi karya bagi para seniman.

Karya Mella Jaarsma dalam pameran erforming Artifacts: Objectsin Question Di ROH Gallery, Jakarta, 11 November 2022. TEMPO/Magang/Martin Yogi Pardamean

Ia mulai tertarik mengeksplorasi dan menuangkan ide dengan kostum pada 1998. Saat itu ia membuat kostum dari kulit kodok dan melakukan performing art menggoreng kodok di area Malioboro, Yogyakarta. Idenya berkaitan dengan isu rasialisme terhadap warga Tionghoa dalam peristiwa 1998 dan dialog dengan publik. Sejak itu, Jaarsma tertarik mengembangkan karya dengan kostum. “Dengan kostum aku puas, ketemu bentuk antara obyek dan publik tanpa banyak penjelasan dan mendapat respons, reaksi dari mereka,” ujar penerima John D. Rockefeller 3rd Award di New York, Amerika Serikat, dan Adikarya Senirupa bersama suaminya ini. Ia sendiri ataupun bersama suaminya sudah unjuk karya dalam pameran atau acara internasional di luar negeri.

Ia terus mengeksplorasi material demi material hingga sekarang, dari kain, rambut, tanduk, kulit hewan, bambu, cangkang bulu babi, hingga kulit pohon. Dalam penggunaan material kulit pohon, ia bahkan melakukan penelitian sampai ke Sulawesi. Misalnya dalam karya berjudul I Owe You. Sebuah proses karya yang panjang dari saat ia menjalani residensi di Wina, Austria, hingga kembali ke komunitas ibu-ibu di Lembah Bada, Sulawesi, yang mengolah kulit kayu. Pembacaan etnografi atas kulit kayu yang menuntun pada kenyataan bahwa kulit kayu adalah bahan pakaian manusia Nusantara sejak beribu tahun lalu. Kemudian kulit kayu tergantikan oleh kain seiring dengan datangnya para misionaris dan kolonialisme. Selepas dari Sulawesi, ia bertemu dengan Agus Ongge dari Sentani di Papua. Ia mendokumentasikan pengolahan kulit kayu sebagai bahan pakaian para perempuan Sentani dengan motif binatang dan warna-warna yang penuh makna.

Bagi Jaarsma, isu dan material bisa mewujudkan gagasan untuk berkarya. Meski demikian, dia tak ingin karyanya menjadi kontroversi dan provokatif. Kehidupan di masyarakat membuatnya harus peka. “Aku harus sensitif, harus tahu situasi. Lebih baik aku menciptakan karya yang bisa didialogkan,” ujarnya. 

DIAN YULIASTUTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus